Part 8

Rai menghabiskan harinya di depan komputer yang layarnya tak lagi hidup. Entah kemana pikirannya terbang hingga ia tak lagi menyadari kondisi sekitarnya. Manajernya bahkan telah menghubunginya berkali-kali, namun tetap saja ponselnya terlantar bergetar tanpa ia sentuh sedikitpun. Takdir sebercanda itu padanya, kemarin dia hanyalah manusia tenar yang normal-normal saja, tentu tanpa adanya taring yang membuat kelihatan seperti setan. Jangankan taring, terpikir untuk meminum darah pun tak pernah mengingat dia adalah orang yang takut dengan darah.

Rai merasa perlu menguji kemampuannya, cowok itu meraih secangkir kopi yang tadi belum sempat diminumnya, perlahan-lahan ia meremas cangkir itu. Kepulan asap tipis muncul dari remasannya yang kontan membuat cangkir itu luruh menjadi butir-butir debu tak berarti. Rai tersentak, tanpa disadari seorang cleaning servis wanita memerhatikannya. Wanita itu tampak terkejut dengan kejadian yang baru saja dia lihat. Ia pun akhirnya berlari, meninggalkan ruangan Rai. Nahas, nasibnya cukup malang kala Rai hilang kendali akan dirinya dan menerkam wanita itu. Menghisap habi darahnya hingga tak tersisa sedikitpun dalam tubuh wanita itu.

Hal itu muncul dalam penerawangan Eryk yang segera bergegas menuju tkp, cowok itu membawa pergi Rai jauh, sebelum ia menimbulkan korban lain dikantornya. Rai sempat melawan, dan masih dalam keadaan hilang kendali, ia pun menyerang Eryk. Eryk dapat melawan Rai dengan lihainya sembari berusaha melumpuhkan Rai. Berbagai macam jenis persaltoan pun ia lakukan, bahkan hingga jungkir balik gak karuan yang hampir mirip topeng monyet tapi keren pun dia lakukan hingga pada satu titik dia dapat menjangkau tengkuk Rai dengan lompatan ala-ala harimaunya. Eryk memukul tengkuk Rai, hanya dengan sekali pukul Rai pun jatuh tak sadarkan diri. "Huh.. Merepotkan... Hidupmu masih benar-benar liar tampaknya... kurang didikan." Decahnya sambil memapah Rai melesat ke rumah.

Langkah Eryk terhenti di ambang pitntu rumah, tampak sesosok pria dengan jas dan kemeja yang serba hitam, begitupun rambutnya yang legam kontras dengan kulit pucatnya. Sosok pria itu adalah penyebab Eryk tak dapat menjamah pintu rumahnya lantas ia menatap tajam ke arah pria dihadapannya itu. "Kalau mau nyari mati ngga usah sekarang." Sarkas Eryk.

"Cih... Sombong."

"Sorry sorry aja ya... bangsa vampir ngga pernah diajarkan buat punya rasa rendah hati." Eryk meletakkan tubuh Rai dan menyandarkannya pada sebuah pot bunga yang cukup besar. Cowok itu melepas jasnya menampakkan kemeja biru langitnya, Dia tampan, dan kian kentara saat dia menggulung kedua lengan kemejannya hingga ke siku, bersiap untuk bertarung. "Jika bangsa vampir tak pernah di ajarkan rasa rendah hati, maka sudah sejak lama dunia manusia ini tak berbentuk."

"Tak bisakah kau dengarkan penjelasanku sedikit, Tuan Eryk Amethyst?" Sosok itu menyeringai "Hng... mendengar kata Amethyst dalam namamu, mengingatkanku pada sosok gadis itu?"

"Ga usah sok kenal sama gue." Tukas Eryk. "Eryk... Eryk.... vampir dewasa sepertimu juga masih bisa bersikap tak dewasa ya?"

Sosok itu memberikan sebuah kalung berliontin hati yang jika menampilkan foto sesosok anak laki-laki dan anak perempuan yang sedang saling merangkul lengap dengan action dua jarinya. Sekilas tampak tak aneh, tapi yang di dalam foto itu adalah Eryk dan.. "Tak mau mencarinya? Kakak manusiamu itu?" Sosok pria itu mendekati Eryk , menggenggamkan kalung itu padanya "Aku tak tau apa yang sebenarnya membuatmu sangat menyayanginya walaupun dia hanya kakak tirimu. Kalian berbeda ibu, dan hal itu yang membuatnya harus terlahir dari rahim seorang manusia."

"Percaya atau tidak, ada kemungkinan dia menjadi vampir atau justru dia sedang menderita dengan segala keanehan dan perbedaan yang ada pada dirinya," Eryk diam mendengarkan semua perkataan sosok itu " Nah, jika kau mau menemuinya..... Tay yang nantinya akan membawamu bertemu dengannya."

"Sebenarnya aku ke sini hanya untuk melihat adikku saja. Tapi mungkin kau juga berhak mengetahui keberadaan kakakmu." Sosok itu menepuk bahu Eryk beberapa kali, sebelum berjongkok di dekat Rai, menatapnya lekat-lekat.

Eryk tak bergeming, lalu "Dia adik lo?". Sosok itu tersenyum tipis " Haruskah aku eja? Hidup selama bertahun-tahun harusnya tidak membiarkanmu buta aksara, Eryk."

"Omong kosong." Eryk menolak fakta menarik pria itu menjauh dari Rai dan membantingnya ke tembok. Hantaman yang diderita tidak terlalu menimbulkan daya sakit pada pria itu, hanya saja cukup memberikan daya rusak yang mengerikan pada tembok yang beradu dengan punggungnya.

"Omong kosong? sejak di hari pertama dunia kehilangan raja yang sesungguhnya jelas bahwa omong kosong sudah menjadi makanan harian makhluk seperti kita." Sosok itu tersenyum ada rasa pahit luka yang seolah disembunyikan dalam senyum itu "Apa sebutan yang layak bagi sebuah bangsa yang diperintah oleh kepalsuan dan kebohongan?"

Eryk tak menjawab, matanya memerah bak darah, disekeliling matanya terdapat urat-urat kehitaman yang berbentuk seperti akar. Gertakan gigi dan taringnya mengencang menandakan bahwa dia tengah berusaha menyelinap ke dalam pikiran sosok pria dihadapannya. Tatapan keduanya beradu sengit, sebelum sepersekian detik setelahnya sosok itu menendang perutnya, membuatnya terpental beberapa meter ke udara sebelum berakhir membentur tanah yang cukup mampu meretakkan punggung jika saja dia manusia.

"Shit...." Geramnya berusaha bangun, sayangnya sosok itu menahannya " Aku Zay.... Zayven. Dan tentu kamu tau nama itu?"

"Sang Pangeran." batinnya dan sosok itu lebur bersama udara, Eryk tak mengerti tujuan sosok itu datang padanya, Feelingnya kuat mengatakan bahwa Rai bukan satu satunya alasan yang memicunya muncul secara mendadak. Apapun alasannya, Eryk segera menghampiri Rai sembari sesekali berharap jika kakaknya benar masih hidup, dia tak akan menjadi bagian dari permainan dunia immortal yang bahkan dia sendiri juga tak tau mengapa dunia semacam itu harus tercipta.

Dipanggulnya Rai, masuk ke dalam rumah. Eryk menatap Rai sekilas mengerti masalah besar tengah menunggu. Cowok itu berdiri, menyalakan TV melalui ponselnya "Benar dugaanku, ini menyebalkan." Gerutunya saat TV menampilkan berita sebuah kasus pembunuhan di kantor Rai. Tak lama setelah itu ponsel Eryk bergetar, telepon dari Zion "Udah liat berita?", "Emmmmm bisa ngga kalo lagi telpon jangan sambil melesat.".

"Nanya atau ngasih pernyataan?","Ngasih aturan paten. Hadehhhh, Kayaknya hidup lebih lama di dunia nggak bisa dipungkiri, terlihat sedikit lebih menyenangkan dengan beberapa khas khas kegaulannya.".

"Berani bertaruh kalau lo ngga akan memilih hidup lebih lama dari 300 tahun." Nada Zion setengah meledeknya " Really? Jangan sok memastikan. Kalau gue hidup lebih dari 500 tahun mau apa lo?".

"Sangat memungkinkan bagi gue buat ngebunuh lo... hahaha..." Tawa Zion terdengar lepas "Terlalu psikopat lo.", " Yaelah, dari dulu sih, menurutku kita udah psikopat... cuma kayaknya lo aja yang ngga ngerasa hal itu.".