Part 4

💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐

Salah satu kakak kelas pun datang. Diikuti dengan salah satu guru juga. Aku dan Arvin menunggu hasil Tes-nya dengan wajah pucat. Kita takut tidak masuk di SMA ini. Arvin menyuruhku berdoa. Aku pun berdoa bersamanya dalam hati. Aku tak tau harus kemana, jika aku tak masuk SMA ini. SMA ini adalah yang aku tuju-tuju. Entah kenapa, aku suka SMA ini?

"Apakah kalian semua sudah siap melihat hasilnya?" Ucap salah satu guru yang ada di kelasku.

"Iya, Bu!" Sahut semua murid yang ada di kelas. Kecuali aku dan Arvin, kita hanya termenung diam. Tiba-tiba di samping ku ada guru. Aku pun terkejut.

"Kalian kenapa? Kalian nggak yakin dengan Tes kalian? Berdoa aja! Kan kalian udah berusaha sebaik mungkin!" Ucap pak guru itu. Tertulis di name take-nya yaitu Pak Agas. Beliau melihat ke arahku dan Arvin.

"Iya, pak." Sahutku kemudian Arvin juga menjawab begitu.

"Iya, udah ya? Bapak mau ke kelas sebelah. Berdoa aja, bapak yakin nilai kalian pasti bagus dan ketrima di sini." Ucap Pak Agas.

"Iya, pak. Makasih." Ucap aku dan Arvin bersamaan. Lalu, beliau mengusap-usap rambutku. Arvin cemburu melihatku. Dia cemberut melihat Pak Agas berjalan.

"Kamu kenapa, Vin? Cemberut mulu kerjaan mu?" Ucapku memandang Arvin. Kakak OSIS dan salah satu guru membagikan hasil Tes-nya dalam bentuk lampiran.

"Nggak, nggak papa kok? Ehh, emang itu pamanmu?" Arvin masih cemberut.

"Bukan, emang kenapa?"

"Nggak, nggak papa."

"Aneh!" Gumanku.

"Hah? Kamu ngomong apaan? Aku nggak denger!"

"Nggak kok, kalau aku ngomong keras nanti semua pada lihatin aku!"

"Iya, juga sih!"

Lembaran hasil Tes-nya pun sudah sampai di depanku. Lalu, Arvin menyambar kertas yang mau, aku berikan ke belakang. Dia yang berikan ke belakang. Karena di belakangku adalah murid laki-laki bukan perempuan. Dia mungkin cemburu jika aku menatap laki-laki lain. Setelah itu, guru dan kakak OSIS keluar dari kelasku. Kemudian, Arvin pun menggandeng tanganku keluar kelas. Aku mencoba lepas dari gengamannya. Namun, itu sulit sekali. Dia menggenggamku dengan sangat erat.

"Vin! Lepasin, Vin!" Ucapku pelan agak keras dikit tapi.

"Hah? Nggak denger!"

"Nggak denger atau pura-pura nggak denger!" Aku mencoba melepas tanganku.

"Emangnya ngomong apaan sih?"

"Lepasin elah, Vin!"

"Hah? Apaan sih? Ngomong kok nggak jelas? Yang keras donk!"

"Ihhhh, Arvinnnnnnnn!" Ucapku keras. Untung suasananya udah nggak rame-rame banget. Arvin pun membungkam mulutku. Tadinya yang menggenggam tanganku. Jadi bungkam mulutku.

"Jangan keras-keras elah!"

"Katamu tadi nggak denger! Jadi aku teriak biar kamu denger!" Ucapku nggak jelas, karna masih dibungkam oleh Arvin.

"Ngomong apaan sih! Nggak jelas tau!"

"Makanya lepasin tanganmu ini!"

"Ngomong apaan sih! Ohh, iya! Aku lupa! Iya, iya! Aku lepasin ini! Udah, kan!"

"Haduh, sakit ni mulutku!"

"Iya, iya! Maaf? Kan juga salahmu juga! Kamu teriak-teriakin namaku!"

"Lagian di ajak ngomong kok nggak denger terus! Belajar tuli, ya!"

"Iya, iya. Maaf?"

"Hmmm." Aku pun langsung jalan mendahuluinya.

"Marah, ya?" Arvin menyamakan langkahku.

"Nggak!"

"Lah, terus! Kamu ngambek, ya?" Dia menatapku dekat banget.

"Apaan sih! Nggak, tau!"

"Terus aku harus ngapain biar kamu bisa ketawa lagi? Lagian kan yang ngambek seharusnya kan aku bukan kamu!" Ucap Arvin yang semula keras semakin lirih.

"Ngepel, ya nggak tau! Pikir aja sendiri!"

"Haduh, gimana sih! Bingung aku ngomong sama perempuan!"

"Ya, udah nggak usah ngomong! Diem aja!"

"Yah, kok jadi kamu yang marah!"

Arvin ngomong sambil cemberut. Aku pun lari dan memesan Grab Mobil. Arvin termenung mendengar apa yang aku katakan. Tak lama kemudian, Grab Mobilnya pun datang. Aku kesal dengan Arvin. Makanya aku pulang sendiri naik Grab Mobil. Aku langsung pulang tanpa memikirkan Arvin bagaimana. Aku masuk ke dalam mobil itu. Pak sopirnya pun tak bertanya lagi. Karena sudah tercantum dalam hpnya. Dia pun langsung mengatarkanku menuju ke rumah.

-----♡♡-----

Arvin yang semula menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal. Kemudian, langsung berjalan. Tiba-tiba dia berhenti sebentar.

"Ehh, kok nggak ada Camelia! Kemana tu anak pergi!" Ucapnya agak keras. Lalu, menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Lhoo, kan aku di tinggal! Kemana dia pergi? Dia marah beneran kan! Aku kan nggak salah! Kenapa aku yang jadi sasarannya? Dia pulang naik apa, ya? Haduh, gimana ini! Gimana kalau dia kenapa-kenapa? Sekarang dia dimana, ya?" Gumannya dalam hati. Lalu, berjalan. Kemudian, berhenti sebentar.

"Ehh, kenapa aku nglamun terus! Seharusnya kan aku pergi ngejar Camelia! Kenapa aku jadi begini!" Arvin pun menepuk jidatnya sendiri. Lalu, dia pergi mengejar Camelia.

Arvin mencari Camelia ke parkiran ke luar sekolah. Namun, Camelia sudah tidak ada. Arvin menoleh ke kanan dan ke kiri. Alhasil tetap tidak ada juga. Dia marah-marah dengan dirinya sendiri. Kenapa dia bisa membiarkan Camelia pergi sendirian? Sampai-sampai dia ngambek segitunya. Dia mengorak-arik rambut yang tertata rapi. Menjadi berantakan sekali. Dia sudah tak peduli lagi dengan rambutnya. Yang dia pikirkan hanyalah Camelia.

"Hhhh! Kemana dia pergi?" Teriaknya.

-----♡♡-----

Sesampai di depan rumah, aku langsung membayar Grab itu. Dan langsung turun dari mobil. Kemudian, masuk ke dalam rumah. Aku langsung menuju ke kamarku. Kakakku jarang ada di rumah. Aku sering di rumah sendirian. Meski ada pembantuku. Aku merasa sendirian di rumah. Orang tuaku juga jarang di rumah. Mereka sibuk bekerja pada bidang mereka masing-masing. Ayah ibuku adalah seorang dokter terkenal di Indonesia. Aku ingin menjadi sepertinya. Begitu pula dengan kedua kakakku yang sedang kuliah di kedokteran. Aku termenung sendiri di dalam kamar. Aku masih memakai baju sekolahku. Aku duduk di kasurku. Aku bingung sendiri tentang apa yang ada di dalam pikiranku. Hanya itu dan itu. Berputar dan terus berputar. Lagi dan lagi, mereka yang selalu ada di pikiranku.

-----♡♡-----

Kak Elano melihatku berpegangan dengan Arvin. Dia termenung melihatku dengannya. Dia melamun sampai-sampai Arvin sudah pergi pun, Kak Elano masih tetap di situ. Dia berdiri di depan kelas, matanya terbuka tanpa berkedip sedikit pun. Tiba-tiba salah temannya datang memudarkan semua lamunannya.

"No, Elano! Ngapain kamu di sini? Bukannya kamu masih sakit, ya?" Ucap temannya.

"Hah? Apaan? Nggak, nggak ngapa-ngapain. Udah nggak kok." Ucap Kak Elano.

"Kamu sendiri ngapain di sini, Ni? Ngagetin aja kerjaan kau! Nggak ada kerjaan lain gitu, selain ngegetin aku." Ucap Kak Elano.

"Nggak ada! Aku kan OSIS. Jadi, terserah aku donk!" Ucap Kak Jony temennya Kak Elano tadi.

"Aku juga kan OSIS, elah! Dasar emang kau! Ada-ada aja!"

"Ya, maaf? Aku bingung kenapa kamu berdiri tegak di situ nggak bergerak sama sekali. Udah kayak tiang listrik. Tau, nggak?"

"Hihhh! Emang kau ini Jony! Udah minta maaf malah ngledek lagi!"

"Iya, iya. Maaf elah! Nggak lucu ya?"

"Nggak sama sekali!" Ucap Kak Elano kesal.

"Ya, udah. Tapi maafin, ya?"

"Aku janji, deh! Aku nggak akan ngulangin lagi. Ya, ya?" Ucap Kak Jony mencoba meminta maaf ke Kak Elano.

"Iya."

"Yes! Sekarang kamu minta apa aja nanti aku turutin, deh! Janji?"

"Heeemmmm, apa ya? Aku minta beliin rumah di Amerika aja, deh!" Ucap Kak Elano asal-asalan.

"Haduh, kejauhan elah"

"Katanya mau minta apa aja nanti diturutin! Gimana, sih! Ya, udah. Gini aja, aku minta beli rumah di daerah sekitar sini!" Kak Elano mulai bercanda.

"Haduh, tapi nggak gitu juga kali! Kan kamu udah punya rumah, ngapain beli lagi! Rumahmu kan lebih luas dan bagus dari rumahku, gimana sih! Yang lain gitu!"

"Emmm, ya udah. Aku minta mobil yang paling mahal di dunia. Gimana?"

"Ya, jangan itu juga kali Elano! Kejauhan nanti belinya! Kan ada di luar negri adanya!"

"Ya, nggak papa. Online kan bisa!"

"Haduh, Elanoooooo!" Teriak Kak Jony.

"Iya, apa?" Ucap Kak Elano polos.

"Yang ada di sini gitu, lhooo!"

"Ya, udah! Aku minta kamu pecahin pot besi itu!" Sambil menunjuk potnya.

"Hah? Yang bener aja, lu! Masa aku disuruh mecahin pot besi. Emangnya gua Superhero gitu! Yang serius dikit elah! Kamu ini habis dikeroyok tambah error, deh! Kepalamu habis ditatapin ke tembok atau habis di pukul sama benda logam gitu? Kok tambah error gini?"

"Iya, nggaklah. Masa berani mereka kayak gitu ke aku. Palingan juga pukulin tubuh gua aja! Nggak sampai kayak gitu kali! Oke, oke! Kali ini aku serius! Aku minta kamu gendong aku sampai ke kamar di rumahku! Gimana?" Lalu, mengangkat kedua alis dan mengedipkan satu mata.

"Haduh, nggak ada yang lain, gitu!" Menepuk jidatnya.

"Nggak ada cuma itu aja! Yang tadi kan udah kamu tolak terus! Jadi, permintaan terakhirku, gimana? Mau, nggak? Kalau nggak mah ya udah nggak papa kok. Aku nggak maksa. Kamu sendiri kan yang nyuruh aku minta sesuatu ke kamu!"

"Iya, iya deh! Gua tepatin omongan, gua! Ayo!"

"Ayo, kemana?"

"Katanya mau aku gendong, gimana sih!"

"Iya, iya!"

Kak Elano pun naik ke punggung Kak Jony. Kak Jony pun menggendong Kak Elano sampai ke mobilnya. Kak Jony juga mengantarnya pulang. Setelah masuk di dalam mobil, Kak Elano langsung menghubungi pak sopir pribadinya, agar tidak menjemputnya. Karena dia pulang dengan Kak Jony. Kak Elano duduk di depan tepat di samping Kak Jony. Kak Jony pun menyetir mobilnya. Sedangkan Kak Elano senyum-senyum sendiri. Lalu, Kak Jony menoleh ke arah Kak Elano. Dia bingung, kenapa nih anak senyum-senyum sendiri! Kak Jony terheran-heran dengan Kak Elano yang agak aneh. Dia berpikir kalau otaknya Kak Elano ada yang geser, deh!

-----♡♡-----

Arvin pun menuju ke parkiran. Dia berlari cepat banget. Dia bingung banget. Dia langsung masuk ke mobilnya dan menyetirnya. Dia menuju ke rumah Camelia. Mungkin Camelia sudah di rumah. Camelia mungkin di jemput pak sopir pribadinya. Dia mengendarai mobil sangat cepat. Dia pusing sekali, Camelia pasti marah sekali.

"Ya, Camelia. Aku harap kamu ada di rumahmu. Supaya, aku nggak terlalu khawatir dan merasa begitu bersalah. " Gumannya dalam hati.

Arvin mencoba menelepon Camelia. Namun, tak pernah diangkat. Untuk ke 20 kalinya, Arvin meneleponnya tapi hpnya tidak aktif lagi. Dia sangat bingung. Tetapi, dia mencoba berpikir positif.

"Ya, Camelia! Dimana kamu itu? Di hubungi nggak bisa! Bagaimana aku bisa merasa tenang? Aku harap kamu baik-baik saja. Aku harap juga kamu nggak marah kepadaku?" Gumannya lagi. Dia mengacak-acak rambutnya lagi.

Tak lama kemudian, Arvin pun sampai di rumah Camelia. Dia memarkir mobilnya. Lalu, masuk ke dalam rumah Camelia. Dia menoleh ke kanan ke kiri. Ternyata di ruang tengah ada bibinya (pembantunya, Camelia panggil dia bibi). Arvin pun berlari ke bibi itu.

" Bi, Camelia ada di rumah apa?" Tanya Arvin kebingungan.

"Haduh, ngagetin aja! Ehh, Tuan Arvin. Nggak tau, Bibi. Sebentar bibi lihat ke kamarnya dulu, ya?"

"Iya, bi." Bibi itu pun langsung berjalan menuju ke kamar Camelia.

"Aku harap Camelia ada di kamarnya. Kalau tidak, aku bisa kena marah ibuku. Ibuku sangat sayang dengan Camelia. Semoga, semoga!" Gumannya dalam hati.

Bibi pun sampai di depan kamar Camelia. Bibi mengetuk pintuku. Aku mendengarnya, aku hanya membiarkannya. Aku hanya ingin sendiri. Bibi terngetuk pintu kamarku dan terus memanggil namaku. Bibi masih di situ sampai 5 menit pun berlalu.

"Non, bukain pintunya. Ada yang nyariin nona, lhoo! Dia ada di ruang tengah. Non, nggak kasihan apa? Udah dari tadi itu." Ucap bibiku.

"Iya, bi." Aku membuka pintunya.

"Ayo, non! Orangnya nunggu, lhoo! Wajahnya kebingungan gitu. Rambutnya acak-acakan."

"Siapa, bi?"

"Tuan Arvin." Saat bibi mengucap namanya Arvin, aku langsung cemberut dan masuk ke kamarku lagi. Lalu, aku mengunci kamarku.

"Bi, tolong bilang ke Arvin. Kalau aku nggak pengen ketemu sama dia."

"Tapi, non."

"Pokoknya sekarang, aku nggak pengen ketemu Arvin."

"Kenapa, non?"

"Aku pusing, bi"

"Ya, udah. Bibi nanti bilang begitu. Tapi, besok nona ketemu sama Tuan Arvin ya?"

"Iya, deh bi."

"Gitu, donk. Bibi ke bawah dulu, ya? Sampai besok!"

Bibi turun ke bawah. Aku di dalam kamar tersenyum-senyum sendiri. Bibi bisa jadi kayak gitu. Udah mirip kayak anak muda jaman sekarang aja. Aku pun berbaring di tempat tidurku. Aku tiba-tiba tertidur pulas.

Bibi berjalan mencari Arvin di ruang tengah. Ternyata nggak ada orangnya. Bibi pun berjalan menuju ruang tamu. Di sana ada Arvin sedang mondar-mandir kayak orang habis kemalingan.

"Tuan Arvin." Ucap bibi memanggil Arvin yang mondar-mandir nggak berhenti-berhenti. Bibi ada tepat di samping Arvin.

"Ehh, aduh! Maaf, bi? Camelia gimana, bi?" Ucap Arvin kaget tiba-tiba ada bibi di sampingnya.

"Iya, tuan. Ada di dalam kok, nona mau istirahat katanya."

"Aku boleh ke kamarnya, bi?"

"Maaf, tuan. Kata nona tadi dia nggak mau ketemu tuan dulu."

"Nggak berarti, bi? Dia nggak mau ketemua ku beneran kan!"

"Tenang aja, tuan. Kalau ada bibi mah semuanya akan baik-baik saja."

"Terus gimana, bi?"

"Besok nona mau ketemu tuan. Nggak sekarang, besok saja tuan. Nona mungkin pusing mikirin lainnya. Selain mikirin tuan."

"Mikirin siapa, bi? Emang ada laki-laki lain apa, bi?"

"Waduh, bukan begitu tuan! Nona mungkin mikirin orang tuanya. Begitu, tuan?"

"Oohhh, begitu ya bi. Aku nggak tau, aku jadi mikir yang aneh-aneh. Maaf ya, bi? Kalau boleh tau, kenapa ya bi Camelia kok mikirin kedua orang tuanya?" Arvin mulai kepo-kepo tu. Padahal, dia udah tau semua tentang Camelia. Tapi, dia terus cari informasi terus.

"Ya, gitu tuan. Kedua orang tuanya kan jarang di rumah gitu. Nona Camelia yang masak setiap pagi. Masakin orang ada di rumah ini. Orang tuanya sibuk bskerja gitu. Nona kayak rindu sama kasih sayang orang tuanya, gitu."

"Oohhh, iya bi. Makasih, bi. Aku mau pulang dulu, ya bi?"

"Iya, tuan. Silahkan, mau bibi antar keluar?"

"Nggak, bi. Nggak usah repot-repot. Arvin keluar sendiri kok." Arvin salim ke bibi.

"Iya, udah. Hati-hati di jalan, ya!"

"Iya, bi. Makasih." Arvin yang semula berjalan berhenti menoleh ke arah bibi berada.

"Iya."

-----♡♡-----

"Udah sampai, nih! Gimana?" Ucap Kak Jony. Mobilnya Kak Jony udah masuk ke halaman rumah Kak Elano yang besar banget.

"Ya, pulanglah!" Ucap Kak Elano.

"Yes!" Teriaknya Kak Jony keras banget.

"Ngapain lu yas yes?" Sambil mengangkat kedua alisnya.

"Nggak, nggak papa kok. Cuma pengen cepet pulang ke rumah aja."

"Ooohhh, oke. Ehhh, tapi sebentar deh! Ada yang kelupaan nih!" Kak Elano yang semula mau turun. Jadi, kembali duduk lagi.

"Haduh, apaan?" Ucapnya pelan.

"Ehhh, bentar! Sesuai dengan perjanjian yang tadi kamu harus gendong aku sambil masuk ke kamarku. Oke? Ngerti, kan?"

"Aduh, masih ingat aja! Ku kira udah lupa tadi"

"Untung aku masih ingat! Kan enak jadinya."

"Enak dari mana! Kamu enak aku yang capek!" Ucapnya agak pelan. Tapi, masih kedengeran sama Kak Elano.

"Hah? Apa? Kamu bilang apa tadi?"

"Nggak, nggak. Aku cuma pengen lihat hasil Tes-nya di rumah aja, gitu?"

"Boong, kan lu? Ngaku, deh! Pasti kamu nge-gosip aku! Iya, kan?"

"Nggak, siapa juga yang nge-gosip lu! Mendingan gua nge-ngosip cewek-cewek cantiklah! Najis gua nge-gosip tentang lu! Hihhh!"

"Apaan, sih lu? Kok jadi gitu ke gua! Ya, udah. Sekarang kamu gendong aku sampai ke kamar titik! Sesuai dengan permintaanmu!"

"Gua mah sebenernya ogah. Tapi, lihat keadaan lu kayak gini sih! Gua jadi nggak tega kan!" Ucapnya pelan.

"Udah, sekarang kamu turun. Terus, gendong aku! Oke?"

"Iya, iya!"

"Lhoo, kok jawabnya kayak nggak ikhlas gitu? Yang baik donk jawabnya."

"Iya, Elano yang ganteng banget." Sambil senyum.

Kak Jony pun turun dan menggendong Kak Elano menuju ke kamar Kak Elano. Kamar Kak Elano ada di lantai 1. Rumahnya tingkat 4, udah besar banget rumahnya. Kayak Ancol, dah! Mirip banget, ada taman sama kolam renang. Kolam ikan pun juga ada. Itu rumah atau apaan sih kok besar banget. Terheran-heran dah yang ngelihat rumah itu. Udah pangeran rumahnya tinggi banget.

"No, Elano! Udah sampai, nih! Turun, ya?" Ucap Kak Jony sesampai di depan kamar Kak Elano.

Kak Elano tak menjawab sepatah katapun. Setelah Kak Jony menoleh ke arah Kak Elano. Ternyata dia udah tertidur.

Arggghhhhhh!!!

Ucap Kak Kak Jony dalam hati. Dia kesal banget. Kak Jony hanya tersenyum sebentar. Lalu, cemberut lagi.

"Dasar lu, No! Untung gua BFF lu! Kalau nggak udah gua buang lu di kolong jembatan biar dijual di USA. Lalu, dijadiin pembantu tanpa bayaran deh di USA sana! Sabar, sabar. Sabar, Jon. Jony harus sabar. Anggap saja ini ujian dari Tuhan." Ucap Kak Jony nyinyir sendiri.

Lalu, Kak Jony menaruhnya di ranjangnya Kak Elano. Kemudian, dia menyelimuti sama menyalakan AC-nya. Terus menutup pintu kamarnya Kak Elano. Setelah itu, pergi ke mobilnya untuk pulang.

Kak Elano pun bangun, dia hanya pura-pura tertidur. Dia melihat Kak Jony, apakah dia sudah pergi dari rumahnya? Kak Elano melihat Kak Jony dari jendela kamarnya. Ternyata, Kak Jony mau membuka pintu mobilnya. Kak Elano pun berbalik arah dan berjalan 3 langkah.

Yeessssss!!!!!!

Teriak Kak Elano keras banget. Udah kayak bledek di nyamber Anaconda.

"Rencana gua berhasil, makasih Jony." Ucap Kak Elano sambil ketawa puas banget. Dia seneng banget berhasil ngerjain temennya sendiri. Itu temen dari kecil dia. Tapi, emang sih Kak Jony itu orangnya nyebelin banget.

-----♡♡-----

Eros, Arya, dan Bwana jalan-jalan naik mobil. Mereka mau pergi ke Supermarket. Mereka memarkir mobilnya di parkiran. Mereka pun berjalan masuk ke Supermarket.

"Mau beli apa, guys?" Ucap Eros.

"Enggak tau." Ucap Bwana.

"Terserah, deh." Ucap Arya.

"Lah, gimana sih kalian berdua ini!"

"Iya, iya. Gua bingung ini." Ucap Bwana.

"Bingung kenapa?" Ucap Eros.

"Banyak banget produk makanan sama minumannya, sih!" Ucap Bwana.

"Aduh, Bwana!" Ucap Eros dan Arya bersamaan.

"Namanya kan juga Supermarket. Mesti jualnya banyak dan lengkap. Emang, deh lu! Anak siapa, sih lu?" Ucap Eros kesal.

"Anak bapak sama ibu gua. Kenapa emang? Ada yang salah, ya?"

Bwannnaaaaaa!!!!!

Ucap Eros dan Arya yang mengelengarkan area luar Supermarket.

"Nggak, nggak ada! Masih nanya lagi!" Ucap Arya.

"Udah, jadi ke Supermarket apa nggak!?" Ucap Eros. Lalu, dia jalan duluan. Arya dan Bwana saling menatap.

"Iya, iya. Tunggu!" Ucap Arya dan Bwana bersamaan. Kemudian, mereka berdua lari mengejar Eros.