3. Diam Saja

Sudah berapa lama aku di sini? Mungkin sekitar empat hari. Di rumah yang cukup besar ini hanya ada aku dan tuanku saja. Tidak heran kalau suara nyamuk lebih ramai saat malam dan suara kicauan burung-burung di pagi hari. Tapi, dari semua itu yang lebih membuatku penarasan adalah!! untuk apa seorang pemuda tampan yang buta itu tinggal di rumah sebesar ini sendirian?!!

"Pittha kau ada di sini?" berjalan dengan meraba-raba dinding.

"Ya-Iya tuan, saya di sini" , mau apa dia turun tangga tanpa tongkat?

"Aku ingin jalan-jalan sebentar, tapi tongkatku sepertinya jatuh dari balkon." raba-raba.

"Tuan tunggu di sini dulu akan kuambilkan tongkat tuan." berlari menjauh.

Merepotkan saja, padahal aku baru saja selesai membersihkan rumah. Baru saja duduk sudah disuruh lagi, hmmm....

"Pittha tidak. Aku hanya ingin jalan-jalan sebentar, dan sebenarnya aku sedang malas memakai tongkat. Apa kau tidak keberatan mengikutiku sebentar?" wajah tersendu.

DEG... DEG...

OMG!! jantungku meledak melihat wajahnya T_T sepertinya aku memang harus membiasakan diri melihat wajahnya yang seperti dewa. Lain kali aku harus bantu merapikan rambutnya, hi hi

"Baik tuan"

Kalau dilihat dari belakang, punggungnya terlihat sangat seksi. Jika saja dia tidak buta mungkin bisa jadi artis terkenal. Kenapa dia bisa buta ya?

"Duh!" tersandung batu.

"Awas tuan. Ahh...!!" menangkap.

GABRUKKK!!!

"Aduh...tuan tidak apa-apa?", ya ampun! posisi apa ini. Dekat sekali rasanya seperti orang mau... itu...

"Hei sampai kapan kau mau menindihku, wanita ular?" menghadap ke samping.

"Maaf tuan, tolong jaga bicaramu tuan! Bagaimana pun saya ini sudah menolong tuan. Jadi jangan panggil saya dengan sebutan wanita ular begitu" bersungut.

"Habisnya kamu lama-lama berat seperti mencari keuntungan dengan kebutaanku".

"Apa?! Sebaiknya tuan istirahat saja di sana ada tempat duduk yang nyaman untuk tuan" menarik lengan baju.

Kau itu beruntung karena buta tahu. Kalau tidak aku pasti sudah menghajarmu, dasar laki-laki menyebalkan! Kalau saja aku tidak lari dari perjodohan gila yang di janjikan ayah aku pasti tidak akan pernah bertemu denganmu.

"Pittha kau diam saja? Apa kau masih marah padaku??" tersenyum.

"Saya lebih baik diam daripada memarahi tuan"

"Kenapa? Apa karena kau kasihan padaku, iya kan?!"

Mataku tidak dapat berkedip melihatnya, dia seperti kucing putih yang malang. Mungkin karena dia buta jadi aku bisa leluasa memperhatikannya. Tapi, dibalik itu semua sepertinya ada kesedihan yang mendalam pada dirinya. Jangan-jangan dia tidak buta dari lahir. Dilihat dari kebiasaannya dia seperti sangat kesulitan melakukan apapun.

"Jawablah. Kenapa kau diam saja. Kau takut aku marah bila kau bilang begitu kasihan padaku, hm?" meraba-raba wajah Pittha.

"Ak.. Ak... Aku tidak seperti yang tuan pikirkan." wajahku panas rasanya, tangan tuan begitu hangat ternyata.

hangatnya...

"Keni-chaaaan !!" SETTT... SETTT...

PLAAAKKK!!!!

"Beraninya kau perempuan murahan menggoda Keni-chanku!"

Si-siapa lagi ini....??? uh sakit pipiku yang halus.