"Boleh saya tahu kenapa bapak tiba-tiba menghubungi saya dan meminta saya untuk datang kesini". Tanya Athaya yang sudah tidak tahan di diamkan oleh Rian, dosen di kampusnya dulu.
Sementara orang yang ditanya masih saja diam sambil melihat jam tangannya, seolah olah jam itu lebih menarik dari pada orang yang ada dihadapannya.
"Jika bapak tidak ingin bicara lebih baik saya pergi, hanya membuang waktu saja saya disini". Ucap Athaya kesal.
"Tunggulah beberapa saat lagi". Ucap Rian. Memang benar-benar si Rian irit sekali dalam bicara, mana ucapannya ambigu lagi.
"Maksud bapak apa ya, saya sudah berjam jam nunggu disini". Marah Athanya ia menaikkan intonasi suaranya.
"Kamu bukan orang sabaran". Ucap Rian mengomentari yang dibalas dengan putaran mata jengah oleh Athaya.
"Kamu sahabat Acha kan?". Tanya Rian yang sudah pasti tahu jawabannya.
Athaya hanya mengangguk mengiyakan. Dia sudah malas dengan orang yang ada dihadapannya terlalu berbelit belit menurutnya. Jika bukan karena dosennya dulu di kampus mungkin sudah ia tinggalkan sejak tadi.
"Acha sudah menikah kan?". Tanya nya lagi.
"Iya, pak".
"Apakah benar itu suami Acha?". Tanya Rian sambill menunjuk kea rah pintu masuk.
Athaya langsung membalikan tubuhnya mengarah pada objek yang ditunjuk Rian.
Betapa terkejutnya Athaya melihat dua orang yang baru saja masuk, terlihat seperti sepasang kekasih dengan wanita yang bergelanyut mesra di tangan pria itu.
"Aku hanya ingin memastikan apa yang aku lihat selama ini benar dan memberitahumu, karena kamu adalah sahabat Acha".
"Terima kasih untuk ini, tapi untuk apa bapak melakukan hal ini, bapak tidak menaruh hati kepada sahabatku kan?". Selidik Athaya memicingkan matanya.
"Karena Acha adalah orang baik dan murid bimbingan saya dulu".
"Saya yakin bukan karena itu". Tanya Athaya menuntut.
"Iya, karena aku menyukai sahabat kamu". Ucap Rian dalam hati.
"Saya hanya tidak ingin, orang sebaik Acha disakiti oleh lelaki seperti dia". Ucapnya jujur.
"Untuk selanjutnya, saya serahkan kepada kamu, entah kamu akan memberitahu Acha atau tidak itu hak kamu, karena saya tidak mungkin memberitahu Acha, sama saja saya akan menimbulkan kesalapahaman diantara mereka". Ucap Rian lalu pergi meninggalkan Athaya .
Ia tidak menyangka kalau sahabatnya akan mengalami masa hidup yang seperti ini, apa salahnya Acha sehingga suaminya berani bermain dibelakang. jika dilihat-lihat Acha tidak kalah cantik dengan wanita itu.
Ini baru fakta pertama
Mendapatkan notifikasi pesan masuk, membuyarkan lamunan Athaya. Setelah membacanya Athaya semakin penasaran dengan Rian, sebenarnya siapa Rian ini kenapa ia begitu peduli dengan Athaya selain itu kenapa ia begitu tahu banyak dengan segala hal yang menyangkut Acha.
"Aku harus menghubungi Acha, dia harus tahu bagaimana kelakuan suaminya diluar". Mencari nomor kontak lalu menekan nomor yang dituju. Menunggu beberapa menit akhirnya sambungannya diangkat.
"Assalamualaikum,Cha". Sapa Athaya beruasaha tenang.
"Waalaikumussalam, iya At, ada apa ya?". Tanya suara diseberang sana.
"Bisa kita ketemu di kafe Mariana, aku kangen banget sama kamu, sekalian sebelum aku balik ke Lombok".
"Aku izin sama suami aku dulu ya".
"Emang suami kamu dimana, Cha?". Tanya Athaya.
"Dia ke Surabaya buat ngurus peresmian perusahaan cabang papa".
"Coba telephone, setelah itu kabari aku ya. Assalamualaikum"
"Waalaikumussalam". Lalu sambungan terputus.
Athaya mengumpat dalam hati melihat Rendra yang mematikan ponselnya dan memasukannya ke dalam kantong bajunya. Ia tahu bahwa itu telephone dari sahabatnya. Benar-benar lelaki brengsek.
Tak lama handponenya kembali bordering menampilkan nama yang baru beberapa menit itu ia telephone.
"Assalamualaikum At". Ucap orang yang ada diseberang.
"Waalaikumussalam, Cha".
"Maaf At, aku nggak bisa. Handponenya mas Rendra nggak aktif, jadinya belum dapat izin".
"Ya jelaslah kamu nggak dapat izin, orang hp nya dimatiin, lagi berduaan sama perempuan lain". Batin Athaya.
"Oke dah At, tapi besok harus bisa ya, soalnya lusa aku pulang". Ucap Athaya.
"InshaAllah ya, At. Kalau dapat izin".
"Harus bisa Cha, izin sama mertua atau nggak mama kamu dah ya, plisss. Oke. Aku nggak mau ditolak". Ucap Athaya final.
"Pemaksa. Saya usaha in" Ucap Acha pasrah.
"Maaf Cha, tapi ini untuk kebaikan kamu. Aku ingin kamu lihat sendiri apa yang dilakuin Rendra dibelakang kamu". Batin Athaya.
"At, masih disana, kok diam". Ucap Acha.
"Udah dulu ya, Cha. Assalamualaikum". Athaya mematikan sambungan telephone, karena melihat Rendra dan perempuan itu pergi.
Athaya mengikutti kemana aarah perginya dua manusia yang seketika ia benci.
***
Seperti janjinya kemarin, Acha benaran bertemu dengan Athaya di kafe dekat apartemen suaminya.
Sesuai dengan informasi yang diberikan Rian, sesampainya Acha, Athaya meminta Acha untuk masuk ke dalam mobilnya.
"At, kita mau gapain sih?, kayak mau jadi mata-mata aja celingak celinguk kayak gini". Ucap Acha sambil menggelengkan kepalanya.
"Iya, kita jadi mata-mata suamimu".
"Maksud kamu apa?". Tanya Acha tidak mengerti.
"Lebih baik kamu diam dan lihat sendiri". Ucap Athaya serius.
Ia sungguh berterimakasih kepada Rian karena telah memberikan informasi yang sangat akurat, ia melihat sepasang insane keluar dari gedung apartemen. Ingatkan Athaya untuk berterimakasih kepada Rian dan ingatkan juga untuk mentraktir Rian, walau ia tahu dosennya itu orang yang sangat kaya.
Tanpa mempedulikan raut wajah Acha yang terkejut, Athaya melajukan mobilnya mengikuti orang yang baru keluar dari gedung apartemen.
"Tahan air matamu, kamu tidak patut menangisi bajingan seperti dia". Ucap Athaya dingin. Ya, ia dalam mode dinginnya, jika sudah menyangkut orang yang disayanginya dilukai, Athaya akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang yang sedingin es.
Bagaimana ia tidak menangis melihat orang yang dicintainya pergi dengan perempuan lain. Hatinya tidak sekuat itu untuk menangung beban.
"Jika kamu terus menangis, aku akan putar balik mengantarkan kamu pulang". Ucap dingin Athaya.
Acha langsung menghapus air matanya, berusaha menahan gejolak dalam hati yang ingin meledak.
Sudut bibir Athaya teragkat sedikit, ia tersenyum walaupun sangat samar. Tentunya tidak dapat dilihat oleh Acha.
Athaya memakirkan mobilnya lalu menarik tangan Acha menuju sebuah gedung yang paling tinggi disana, sesampainya di rooftop, Athaya mengeluarkan dua buah teropong untuk dirinya dan Acha. Setelah menangkap objek yang dicari, Athaya mengarahkan pandangan Acha kepada objek tersebut.
Mereka melihat dua orang itu tengah asyik bercanda diantara gelombang air laut yang menyapa bulir pasir putih.
"Hanya mengingatkan, jika air matamu jatuh, kita pulang". Ucap Athaya masih dengan mode dinginnya.
Acha hanay mengangguk sampai akhirnya kedua bola matanya menagkap dua objek yang sadari mereka amati tengah berpelukan. "Tahan Cha, kamu nggak boleh nangis".
Air mata Acha tidak bisa ia tahan lagi, melihat dua orang itu tengah berciuman. Tubuh Acha terasa lemas, ia terduduk di lantai rooftop. Ia tidak menyangka suaminya yag ia percaya akan melakukan hal seperti.
"Ayo kita pulang!". Ajak Athaya, mengulurkan tangannya. Ia tidak tega melihat sahabatnya harus menangis gara-gara seorang laki-laki brengsek.
Acha berjongkok dihadapan Acha. "Ayo naik, tempat ini nggak cocok tempatmu menangis, apalagi disini ada sampah yang menjijikan". Sarkas Athaya.
Acha hanya mengangguk lalu naik ke atas punggung Athaya. Ia tahu membantah Athaya hanya akan berakibat fatal. Seperti kejadian dulu ketika ia menangis karena dijahili oleh seorang cowok Athayalah yang menghajar cowok itu sampai ia masuk rumah sakit. Ia tidak ingin kejadian dulu terulang kembali pada Rendra.
Setelah membopong Acha sampai kamarnya dan menyelimuti tubuh Acha. Athaya beranjak berniat pergi, ia ingin memberikan leluasa Acha untuk istirahat, menangis membutuhkan banyak tenaga, apalagi menangis karea sakit hati sudah di pastikan itu sangat melelahkan.
"Kamu harus istirahat, jaga kesehatanmu, jangan terlalu banyak mikir kasihan bayi kamu". Ucap Athaya lalu beranjak pergi. Akan tetapi tanagnnya ditahan Acha.
"Jangan sembrono". Ucap Acha, ia takut kejadian dulu akan terulang kembali.
"Aku sudah dewasa Cha dan tahu apa yang harus aku lakukan". Ucapnya masih dingin.
Athaya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tidak peduli dengan sumpah serapah pengguna lain. Dengan mengandalkan GPS yang ia pasang pada mobil Rendra ia tahu dimana keberadaan manusia laknat itu. Ingatkan lagi Athaya untuk berterimakasih kepada Rian yang dengan suka rela memberikannya alat itu.
Melihat keberadaan mobil Rendra, Acha memutar balik kemudia mobilnya, kemudian menyalip mobil Rendra dan membentangkan mobilnya di depan mobil Rendra tanpa ada rasa takut sedikitpun.
Beruntung Rendra masih bisa mengontrol mobilnya hingga tidak menabrak mobil yang ada dihadapannya. "Kamu cari mati ya". Teriak Rendra membuka pintu mobilnya. Betapa terkejutnya ia, melihat siapa pengendara mobil yang sangat ugal dan pemberani itu.
"Athya". Ucap Rendra.
"Kenapa?, terkejut?". Sinis Athaya.
Tanpa ba bi bu. Athaya langsung memberikan bogeman kepada Rendra. Rendra yang tidak siap langsung tersungkur dibuatnya.
"Berdiri kamu brengsek". Teriak Athaya.
Rendra berdiri sambil mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya.
Buukss…
Kembali Athaya meninju wajah Rendra, membuat yang punya wajah menahan geram, sementara perempuan yang ada di sampingnya hanya bisa berteriak dan menangis.
Baku hantam diantara keduanya tidak ter-elekan lagi. Walaupun Athaya adalah perempuan namun tenanganya sungguh besar, Rendra akui itu, ia saja kewalahan menangani Athaya terlebih gadis itu tengah kesetanan. Tubuhnya yang ringan dan kecil memudahkan Athaya bergerak menghindar serangan Rendra hingga beberapa kali ia bisa mendaratkan pukulan kepada lawannya itu.
Rendra kembali tersungkur, badannya terasa remuk, untuk berdiri pun ia sangat kesusahan. Bagaimana bisa perempuan seperti dia memiliki tenaga dan kemampuan seperti itu heran Rendra.
"Ini peringatan pertama untukmu. Jika saya melihat Acha menangis lagi gara-gara kamu, akan ku pastikan kamu akan mendapatkan lebih parah dari ini". Ucap Athaya dingin.
"Dan kamu". Tunjuk Athaya kepada perempuan yang sedang memapah tubuh Rendra. "Kamu ini perempuan, seharusnya kamu bisa menghargai perasaan sesame perempuanmu bukan malah keganjenan seperti ini, kamu punya hati atau nggak sih, atau hatimu itu hanya pajangan". Ejek Athaya lalu meludah. Jika ia berkata seperti itu kepada perempuan itu, dimana letak hati Athaya ketika ia menghajar Rendra membabi buta.
Athaya meraih handphone dalam saku celanya kemudian menelpon seseorang.
"Temani aku". Lalu mematikan sambungan telephonenya.
Sesampainya dihamparan pasir putih, Athaya duduk termenung sampai suara tepukan mengintrupsi lamunannya.
Lelaki itu duduk disamping Athaya menyodorkan minuman Matcha yang menjadi kesukaannya. "Ini, biar hatimu dingin seperti minuman ini".
Athaya menerima minuman itu dan meneguknya sampai setengah. Kembali menatap hamparan laut yang mulai berubah warna menjadi jingga.
"Kamu bisa mengobati tanganmu sendiri kan?". Tanyanya dengan nada meremehkan. Tapi tidak ditanggapi oleh Athaya.
Kesal dicueki, lelaki itu melempar kotak P3K tepat dihadapan Athaya.
Athaya hanya memandang sekilas kotak itu, lalu memfokuskan kembali pandangannya pada matahari yang mulai tenggelam dari peredarannya.
***
Mendapat kabar bahwa Rendra sedang berada di rumah sakit, Acha langsung pergi tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu, apalagi mencuci wajahnya yang sembab karena menangis.
"Ma, bagaimana keadaan mas Rendra". Ucap Acha sesampainya di lorong rumah sakit.
"Mama, belum tahu, Cha. Masih ditangani oleh dokter".
Pintu terbuka, menampilkan seorang dokter lengkap dengan snelinya.
"Bagaimana keadaan anak saya dok?". Tanya Kamila mama Rendra.
"Lukanya tidak terlalu parah, dua hari sudah bisa dibawa pulang". Ucap dokter itu ramah.
"Kami boleh menemuinya dok". Sambut Sakha.
"Silakan".
Mereka kemudian masuk ke dalam ruang rawat Rendra, betapa terkejutnya mereka melihat Rendra yang babak belur, hampir semua wajanya dipenuhi oleh luka lebam.
"Astagfirullah hal azim, siapa yang melakukan ini padamu, nak". Ucap Kamila histeris.
"Aku baik-baik aja ma, Cuma orang gila yang salah sasaran". Ucap Rendra berbohong yang berhasil ditangkap Acha. Acha menduga yang melakukan hal ini pasti Athaya, siapa lagi yang berani melukai orang seperti Rendra selain dia, orang yang tidak pernah takut apa pun.
"Bagaimana bisa dia melukaimu?". Tanya Sakha pasalnya anaknya ini memiliki kemampuan bela diri sabuk hitam.
Rendra hanya terdiam, ia tidak mungkin jujur jika yang membuatnya seperti ini adalah seorang perempuan, jatuh harga dirinya di depan papanya terlebih yang melakukannya adalah Athaya sahabat istrinya yang ternyata memiliki kemampuan bela diri lebih tinggi darinya.
Setelah kepergian orangtuanya, Acha mendekati suaminya. "Jangan bilang Athaya yang melakukannya". Ucap Acha mengeluarkan rasa penasarannya.
Rendra terkejut, bagaimana bisa Acha mengetahui bahwa pelakunya adalah Athaya. "Bagaimana bisa kamu tahu itu?". Heran Rendra.
"Hanya orang bodoh yang berani melakukan itu". Ucap Acha asal.
Kemudian mereka kembali terdiam, hening.
"Mas, tidak kah kamu ingin jujur padaku". Batin Acha.
Memecah keheningan, Rendra meminta Acha naik ke atas kasurnya. Kasurnya cukup luas uat untuk dua orang.
Acha mengikuti permintaan Rendra dan berbaring disamping suaminya.
"Tidurlah, sudah malam kamu pasti capek, apalagi matamu sampai sembab begini". Ucap Rendra menghapus jejak air mata istrinya.
"Kamu yang buat aku nangis mas".
Acha mengangguk kemudian memperbaiki posisi tidurnya.
"Maafkan aku Cha, aku belum bisa jujur padamu, aku takut kamu pergi meninggalkan aku. Aku memang pengecut, maaf membuatmu menangis". Batin Rendra.
"Kenapa mas, ada yang ingin disampaikan?". Ucap Acha melihat ekspresi suaminya.
"Tidak ada, tidurlah". Ucap Rendra memeluk Acha.
"Ada yang mas sembunyikan dari aku?". Tanya Acha. Ia berharap jika semuanya jujur. Ia ingin mendengar sendiri dari mulut suaminya apa yang sebenarnya terjadi, ia tidak ingin apa yang ia lihat selama ini adalah suatu kenyataan.
"Tidak ada".
"Baiklah jika tidak ingin jujur". Menghembuskan napas berat. Baginya ia harus berani jika ingin mempertahankan bahtera rumah tangga. Kejujuran kunci dari langgangnya sebuah ikatan rumah tangga. Jika ia tidak bisa mengalirkan sebuah kejujuran, ia harus bisa memaksa sebuah kejujuran.
"Apa maksudmu?". Tanya Rendra heran. Apa Acha sudah mengetahui rahasianya. Apa mungkin Athaya yang memberitahunya?.
"Apa yang ingin kamu ketahui?". Tanya Rendra kemudian.
"Semuanya. Bukankan harmonisnya sebuah pernikahan karena dilandasi oleh kejujuran. Lebih baik kejujuran yang menyakitkan dari pada fiksi yang menyenangkan".
"Maaf". Ucap Rendra.
"Apalah arti kata maaf tanpa penjelasan, mas".
Rendra terdiam. Melihat itu Acha melanjutkan ucapanya. "Mas, ucapan maaf tanpa menjelaskan dimana salah kita itu ibarat memberi barang dalam karung yang dimana si penerima tidak tahu apa isi karung itu".
"Baik, mas akan menjelaskan. Apakah kamu sanggup untuk mendengarkan penjelasan mas tanpa memotongnya barang sedikit pun?".
Acha mengangguk ragu. Walaupun ia tidak yakin akan sanggup mendengarkan penjelasan suaminya sampai tuntas. Tapi hatinya sudah mantap, apa pun yang akan terjadi ia akan berlapang dada menerimanya.
Rendra kemudian menceritakan kejadian sesungguhnya antara dia dan Anggun, mulai dari perjanjiannya, keinginan Anggun selama seminggu sampai kejadian yang membuatnya mendapatkan luka lebab dan berujung masuk rumah sakit.
"Mas, seharusnya mas diskusiin dengan aku. Aku ini istri mas, aku berhak tahu yang menyangkut hidup mas. Bukankah kita ini suami istri yang diciptakan untuk saling melengkapi dan berbagi, bukan hanya berbagi kebahagian saja tetapi kesedihan, keluh kesah hingga rasa sakit". Ucap Acha panjang lebar, ia ingin Rendra mengerti arti sebuah ikatan.
"Maafkan aku Cha, aku belum bisa menjadi suami yang baik buat kamu, maafin ayah ya sayang, buat mama kamu menangis". Mengelus perut istrinya.
Segala sesuatu yang dibicarakan bersama dengan berdiskusi pasti menemukan titik terang walaupun tidak mesti menemukan solusi akan tetapi perasaan masing masing mendapatkan kepuasan.
Hati Acha sedikit tenang mendengar penjelasan Rendra, walaupun ia belum menerima seutuhnya tindakan yang diambil Rendra, beruntung hanya dirinya dan Athaya saja yang tahu bagaimana kalau abangnya yang tahu, Acha tidak sanggup membayangkannya. Perihal Tarra dan Athaya sebelas dua belas kejamnya. Bisa saja mereka berkompirasi membalas Rendra, untuk urusan seperti ini mereka itu sehati. Seperti kejadian waktu dulu saat ia di bully waktu SMP lantaran ia dianggap sebagai benalu bagi Athaya. Langsung saja dua orang itu membalas semua yang mengatai Acha sampai mereka kompak pindah sekolah. Dan keduanya tidak memiliki rasa bersalah sedikit pun.
Terkadang rasa sakit itu bisa dikalahkan oleh besarnya perasaan terhadap seseorang walaupun orang itu berulangkali menyakiti kita, kita tidak bisa membecinya walaupun ingin sekali membencinya. Sebuah kata maaf saja mampu menghapus semua kesalahan yang ia lakukan. Terkadang kita selalu menyalahkan diri kita kenapa cepat sekali luluh dengan sebuah kata maaf, frustasi, tapi itulah hakikatnya cinta.