BAB 3

Mila’s Pov

Waktunya pulang ke rumah setelah berkutat di sekolah, hari yang menyenangkan. Aku berjalan menuju gerbang sekolah untuk mencari taksi, langkahku terhenti karena dihalangi oleh tubuh seorang laki-laki yang tidak ku kenal. Tidak, maksudku tidak ku kenal dengan baik. Aku hanya tahu bahwa laki-laki ini adalah laki-laki yang menjadi salah satu sponsor kami di acara amal satu bulan yang lalu. Aku menggeser langkahku ke kanan, dia mengikuti gerakanku. Aku beralih ke sebelah kiri diapun masih menghalangi langkahku, aku menatapnya tajam penuh dengan tanya. Apa sebenarnya yang laki-laki ini inginkan sehingga dia menghalangi jalanku. Tanpa mengatakan apapun dia langsung menarik tanganku hendak membawaku ke mobilnya yang sedang terparkir ditepi jalan depan gerbang sekolah.

“Hei..apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganku!” Teriakku sambil terus berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya. Dia menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arahku. Tatapannya kini berubah menjadi tatapan bingung.

“Kamu bisa bicara?” Satu orang lagi yang bertanya konyol padaku.

“Kamu pikir aku ini bisu? Sekarang lepaskan tanganku atau aku akan meneriakimu penculik.” Ancamku karena aku merasa sangat tidak aman karena Satpam yang berjaga sedang tidak ada entah kemana. Dengan sekali tarikan akhirnya aku berhasil melepaskan genggaman tangannya, dia masih menatapku heran. “Aku tidak punya waktu untuk bergurau dengan orang sepertimu.” Gerutuku lalu melangkah menjauhinya.

“Kamu tidak boleh pergi, kamu harus ikut bersamaku.” Serunya kemudian sambil meraih kembali tanganku hingga aku tertarik kembali ke arahnya.

“Kamu ini orang gila ya? Atas dasar apa aku harus ikut bersamamu? lagian kita tidak saling mengenal.” Jelasku.

“Justru karena itu maka kau harus mengenal aku hingga tidak pernah kau lupakan seumur hidupmu.” Entahlah aku tidak mengerti apa yang sedang di ocehkan oleh laki-laki ini.

“Lepaskan aku, aku mau pulang.”

“Aku tidak akan pernah melepaskanmu, kau sendiri yang telah memilih jalan ini. Jadi terimalah akibat dari jalan yang kau pilih itu.” Jelasnya, aku semakin tidak mengerti apa yang laki-laki ini coba katakan padaku.

Aku menatapnya dengan tajam “Aku tidak suka ada orang yang menghalangi jalanku. Jadi menyingkirlah.”

Dia membawa tanganku kebelakangku, menarik tubuhku lebih dekat padanya. Dia mendekatkan wajahnya pada wajahku, tatapannya menjadi begitu sangat tajam. “Aku juga tidak menyukai ada orang yang menghalangi jalanku. Termasuk itu kau.”

Aku mengernyitkan dahiku, dan semakin memberontak mencoba melepaskan diriku darinya. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil dan berlari menjauhinya, dan kebetulan sekali ada taksi yang lewat. Aku menghentikan taksi tersebut dan segera memasukinya lalu meminta pengemudinya untuk segera pergi.

“Aaahhh… akhirnya aku bisa lolos dari orang gila itu.” Ucapku lega.

“Kemana mbak?” Tanya supir taksi itu.

“Bougenville Pak.” Jawabku singkat.

Ketenanganku tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian taksi yang ku naiki tiba-tiba berhenti.

“Ada apa Pak?” Tanyaku.

“Ada mobil yang menghalangi kita mbak.” Jawab supir taksi itu. Dan benar saja, laki-laki gila yang ku temui di gerbang sekolah mengejarku hingga kemari. Diapun mengetuk kaca mobil.

“Permisi pak, bisakah anda menurunkan istri saya itu. Dia harus segera pulang bersama saya.” Ohohohoho… ISTRI?? Kebohongan macam apa yang ia katakan.

“Bukan Pak. Saya bukan istrinya. Ayo Pak jalan aja jangan hiraukan dia.” Pintaku.

“Kami sedang bertengkar. Dalam rumah tangga hal ini biasa terjadi bukan? Bapak juga pasti pernah mengalaminya bukan?” Ucapnya lagi semakin membuatku jengkel. Supir taksi itupun menganggukkan kepalanya seakan membenarkan ucapan laki-laki itu.

“Pak jangan percaya. Saya ini masih single, dia bukan suami saya. Dia mau menculik saya.” Aku mencoba meyakinkan supir taksi itu agar ia mau membantuku menjauhkanku dari laki-laki gila itu.

“Mana ada suami menculik istri. Lagian mana ada orang mau menculik meminta dengan baik-baik seperti ini? Tolong Pak, biarkan kami menyelesaikan masalah rumah tangga kami.” Pintanya kembali, lalu dia berbisik pada supir taksi itu. Sesaat kemudian supir taksi itu menatapku.

“Mbak ini putrinya bapak Abimanyu Kusuma?” Tanyanya, darimana dia tahu nama Papaku.

“Iya. Saya anaknya.” Jawabku singkat.

“Mbak lahir 14 Februari?” Tanyanya kembali. Sebenarnya apa yang sedang supir taksi ini lakukan. Batinku. Kali ini aku tidak menjawab pertanyaannya.

“Baiklah Pak, ini kartu nama saya. Jika Bapak tidak percaya Bapak bisa melaporkan saya pada polisi. Istri saya juga pasti mengatakan bahwa ia ingin pulang ke Bougenville bukan?” Ujar laki-laki itu.

“Tidak perlu Nak, saya percaya. Mana ada seorang CEO mau menculik orang. Maaf mbak, saya tidak ingin ikut campur masalah pribadi mbak. Silahkan mbak turun, ikutlah bersama suamimu. Tidak baik melawan pada suami.” Ucap supir taksi itu.

“Terimakasih Pak karena sudah membantu saya. Ini ongkosnya, sisanya buat bapak aja.” Ujarnya. Lalu kemudian membuka pintu taksi itu lalu menarikku membawaku pergi bersamanya.

“Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?” Tanyaku.

“Duduk dan diam saja. Aku tidak butuh komentar darimu.” Jawabnya dengan terus fokus pada jalan. Aku mendengus kesal. Sejauh ini ia memang tidak menyakitiku sama sekali tapi tetap saja aku harus tahu motifnya melakukan semua ini.

Setelah cukup lama diperjalanan yang aku sendiri tidak tahu tujuannya ingin kemana, akhirnya ia menghentikan mobilnya ditepi jalan yang sangat sepi. Tidak ada kendaraan yang melintas, disekelilingnya juga merupakan hutan. Aku mulai merasa takut, apa yang akan terjadi padaku setelahnya. Namun sekuat mungkin aku berusaha menutupi rasa takutku. Tiba-tiba dia memberiku sebuah dokumen, aku menatapnya bingung.

“Apa ini?” Tanyaku bingung.

“Kau bisa membaca kan?” Jawabnya. Aku menganggukkan kepalaku lalu membuka dokumen tersebut.

“Apa maksud semua ini?” Tanyaku kembali.

“Disana sudah tertulis dengan jelas, semua aset orang tuamu sudah menjadi milikku. Ayahmu telah menandatangani surat-suratnya. Karena terlalu percaya padaku anak teman baiknya, tanpa membaca dokumen ini dengan teliti dia menandatangani semua berkas ini. Mungkin dia mengira semuanya real kesepakatan kerjasama bisnis. Tapi aku telah menyelipkan satu surat penting dan berhasil memiliki semuanya.” jelasnya tersenyum miring. Aku sama sekali tidak mengerti, mengapa dia begitu ingin harta Papaku.

“Tidak mungkin Papaku melakukan hal ini.” Ucapku tidak percaya.

“Tapi kenyataannya dia sudah menandatanganinya.” Jelasnya.

“Lalu apa yang kamu inginkan dariku?” Aku sangat kesal padanya.

“Mudah sekali. jika kamu tidak ingin surat ini aku proses ke jalur hukum dan orang tuamu kehilangan segalanya. Maka, menikahlah denganku.” Jawabnya. Aku menganga tidak percaya, dia semakin gila.

“Kamu gila ya? Bahkan aku saja tidak tahu namamu. Lalu bagaimana kita bisa menikah dengan cara seperti ini? Kamu juga pasti tidak mengenalku.” Ujarku kesal.

“Namaku Alvano Adibrata, panggil saja aku Vano. Dan aku sudah mengenal dirimu cukup banyak. Lalu apa lagi yang kau permasalahkan?” jelasnya.

“Menikah itu tidak sesimpel yang kamu bayangkan. Dua orang yang akan menikah harus saling mencintai, bukan atas unsur keterpaksaan.” Jelasku.

“Aku tidak memaksamu. Aku hanya memberimu pilihan, menikah denganku atau lebih mementingkan egomu dengan membiarkan orang yang telah merawat, membesarkanmu dan mendidikmu selama ini hidupnya menjadi hancur.” Ancamnya.

“Apa kau sedang mengancamku?” Tanyaku.

“Anggap saja begitu. Bukankah kau akan menjadi anak yang sangat tidak tahu terima kasih pada orang tua yang telah berbaik hati menerimamu layaknya anak kandung mereka?”

Deg… jantung terasa akan berhenti berdetak. Bahkan dia mengetahui bahwa aku bukan anak kandung dari orang tuaku saat ini. Aku tahu orang ini pasti sudah merencanakan hal ini dengan sangat baik.

“Lalu keuntungan apa yang kau dapatkan setelah kau menikah denganku? Apa kau mencintaiku?” Tanyaku menyelidik.

“Jangan terlalu banyak bermimpi. Aku sama sekali tidak memiliki keuntungan apapun menikah dengan gadis sepertimu, tapi setidaknya aku puas bisa membuat hidupmu menderita dengan menjadi istriku dan tentunya orang itu juga akan seperti kebakaran jenggot saat mengetahui bahwa kau menikah denganku. Kau tahu, aku sangat membencimu.” Jelasnya. Aku semakin menganga tidak percaya.

“Hal yang harus kamu tahu, aku melakukan hal ini pada orang tuamu karena aku sangat membencimu. Sekarang semua keputusan ada padamu.” Lanjutnya.

“Jika kau membenciku lalu kenapa kau mau menikah denganku, kenapa tidak kau bunuh saja aku?” Teriakku.

“Kamu pikir jika aku membunuhmu semua masalah akan selesai? Tidak. Jika ingin aku lakukan, akan kulakukan secara perlahan.” Jawabnya.

“Tidak, aku tidak mau menikah dengan pria sepertimu.” Ucapku ketus.

“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Silahkan turun dari mobilku, dan nikmati kehancuran keluarga yang telah sangat baik padamu.” Ancamnya kembali. Aku serasa ingin gila memikirkan semua ini. Tiba-tiba ponselku berdering, ku lihat nama papa tertera dilayar ponselku.

“Jika kamu mengatakan yang sebenarnya saat ini, aku tidak akan mengampunimu bahkan tidak ada tawar menawar lagi.” ancamnya.

Aku segera mengusap layar ponselku. “Hallo Pa? Ada apa?” Tanyaku dengan suara bergetar.

“Kamu kenapa Nak? Apa ada masalah?” Tanya Papa penasaran.

“Gak ada kok Pa. Ada apa Papa kok nelpon Mila?” Tanyaku kembali.

“Papa Cuma mau ngingetin kamu, nanti jangan lupa buat nyusul ke rumah temen Papa. Om Harlan, yang kamu temui kemarin.” Jelas papaku.

“Iya Pa. Mila gak lupa kok. Nanti Mila akan nyusul Pa.” jawabku.

“Kamu dimana sekarang Nak?” Tanya Papa kemudian.

“Mila lagi keluar sama temen Mila Pa. Gak lama kok. Udah dulu ya pa, gak enak sama temen Mila.” Jawabku.

“Yaudah hati-hati dijalan ya Nak.” Ucap Papa. Aku segera menutup panggilan Papa.

“Kamu diminta untuk ikut makan malam bersama dirumahku kan?” Tanya Vano kemudian.

“Rumahmu?” aku bertanya balik padanya.

“Ya rumahku. Ayahku mengundang teman baiknya, tuan Abimanyu Kusuma bersama keluarganya untuk makan malam bersama. Tentu saja kau juga harus hadir disana bukan?” Vano mengangkat sebelah alisnya.

“Kamu laki-laki yang licik.” Umpatku padanya.

“Hahhahaha… menikah denganku atau kehancuran keluargamu?” Tanyanya kembali dengan senyum penuh kemenangan.

“Oke.oke. aku akan menikah denganmu. Apa sekarang kau puas?” Ucapku.

“Aku tidak pernah merasa puas. Baiklah Nona Kamila Kusuma, kita ke KUA sekarang.” Ucapnya santai.

“KUA??? Apa maksudmu? Kamu tidak bermaksud menikahiku hari ini juga kan?” Tanyaku terkejut.

“Tentu saja hari ini. Aku tidak akan membiarkanmu lolos dari genggamanku.” Ujarnya.

“Tapi bagaimana kita bisa menikah tanpa restu orang tua. Aku akan sangat menyakiti hati orang tuaku jika aku melakukan ini, begitu juga denganmu. Kita bisa menikah dengan cara baik-baik.” Pintaku.

“Memangnya kamu siapa memintaku untuk menikahimu dengan cara baik-baik? Ini keputusanku, kau tidak berhak menolak. Lagi pula kamu tidak butuh orang tuamu sebagai wali untuk menikahkan kita. Kedua orang tua kandungmu sudah meninggal, dan tuan Abimanyu Kusuma bukanlah ayah kandungmu. Jadi, apa lagi yang harus kau khawatirkan. Kita tetap bisa menikah dengan wali hakim, dan tentunya tanpa mereka.” Jelasnya.

Airmataku mulai menetes, aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan berada dalam posisi seperti saat ini. Aku tidak bisa mengabaikan mereka yang selama ini telah berbaik hati merawatku, mencurahkan semua kasih sayang mereka padaku seperti anak kandung sendiri. Bagaimana bisa aku membiarkan mereka hidup menderita karena aku. Belum lagi, papaku memiliki riwayat penyakit jantung, aku takut akan memperburuk kesehatannya jika ia mengetahui bahwa semua asetnya sudah menjadi milik Vano. Sejak orang tuaku meninggal karena kebakaran saat aku berumur 6 tahun, hanya orang tuaku dan kakakku saat inilah yang ku punya. Aku tidak mengerti sebenarnya kesalahan apa yang telah ku lakukan pada Vano sehingga ia begitu membenciku dan membawaku kedalam masalah sebesar ini. Bahkan aku saja tidak mengenal Vano sama sekali tapi dia telah membenciku begitu dalam.

“Berhentilah mengeluarkan airmata buayamu itu. Kamu boleh menolaknya jika kamu mau.” Ucapnya ketus.

“Apa aku punya pilihan untuk menolak? Tidak kan.” Airmataku mengalir semakin deras. Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang tidak ku kenal dan tanpa sepengatahuan keluargaku seperti ini. Batinku.

“Aku tidak memaksamu untuk menerima tawaranku.” Ucapnya santai.

“Tapi pilihan yang kau berikan sama sekali tidak memberiku ampun.” Teriakku dalam tangisku.

“Pilihan yang bagus. Baiklah, apa yang terjadi hari ini hanya kita berdua yang mengetahuinya, jika kau mencoba mengatakan hal yang sebenarnya pada keluargamu ataupun keluargaku, maka hidup keluargamu akan tamat detik itu juga. dan ingat setelah menjadi istriku, bersikaplah seperti istriku didepan semua orang. Satu lagi, tersenyumlah saat didepan penghulu nanti. Aku tidak ingin mereka berpikir bahwa aku memaksamu, lakukan seperti kau juga mengingankan pernikahan ini.” Jelasnya.

Jika aku bisa mencekik laki-laki ini maka akan aku lakukan saat ini juga, agar ia lenyap dari peradaban dunia. Tapi sayangnya, nyaliku tidak sebesar itu untuk menjadi seorang pembunuh. Aku hanya bisa pasrah menerima pilihan menikah dengan cara seperti ini untuk menyelamatkan keluargaku dari kehancuran.

***

“Hapus airmatamu itu, sebentar lagi kita akan sampai di rumahku.” Seru Vano. Aku segera menyeka airmataku. Katakanlah bahwa aku adalah gadis yang paling bodoh sedunia, karena harus berpura-pura menikah dengan laki-laki sepertinya. Iya, Vano tidak benar-benar melakukannya, dia hanya mengancamku bahwa ia akan menikahiku hari ini juga. Entahlah, mungkin ia berubah pikiran karena ia hanya mengatakan bahwa aku harus mengikuti skenarionya dengan berpura-pura bahwa kami berdua telah menikah.

Sesampainya dirumahnya, rumahnya terlihat mewah bahkan mungkin lebih bagus dibandingkan dengan rumah kami. Kakiku bergetar, enggan untuk melangkah masuk kedalam rumahnya setelah aku melihat mobil Papaku masih terparkir disana. Mereka pasti akan sangat kecewa padaku atas tindakan yang telah ku lakukan ini. Vano menarik tanganku, membawaku ikut masuk bersamanya.

“Assalammualaikum.” Sapa Vano saat memasuki rumahnya.

“Waalaikumsalam.” Jawab mereka bersamaan. Aku masih menyembunyikan tubuhku dibelakang tubuh Vano, tidak ada keberanian sama sekali untuk bertemu dengan mereka.

“Nah akhirnya yang kita tunggu-tunggu pulang juga. Kemarilah Nak.” Seru seorang laki-laki, mungkin Ayahnya. Vano menarikku hingga aku berdiri disampingnya. Tanpa melepaskan genggaman tangannya padaku, Vano menatap dengan tatapan yang tidak ada takutnya sama sekali. Aku semakin gugup dibuatnya. Semua orang menatap kami berdua kebingungan. Tentu saja, kami berdua tidak saling mengenal tiba-tiba datang bersamaan dengan berpegangan tangan. Vano memang sudah gila.

“Mila, bagaimana bisa kamu bersama Vano?” Tanya Mamaku. Bibirku seakan terkunci, tidak tahu harus berkata apa sehingga aku hanya bisa diam seribu bahasa.

“Van, apa yang terjadi? Mengapa kalian hanya diam dan berdiri disana saja?” Tanya Om Harlan.

“Aku dan Mila sudah menikah. Maaf, tidak memberitahu kalian sebelumnya.” Ungkap Vano.

“APA??” Teriak mereka bersamaan. Duniaku terasa bergoyang, bahkan aku tidak kuat menopang tubuhku untuk berpijak. Vano menggenggam tanganku semakin erat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Vano mengatakan bahwa kami telah menikah didepan semua keluarga, aku terus menundukkan kepalaku. Tidak berani untuk menatap mereka.

Om Harlan berjalan mendekati Vano lalu merangkul bahunya “Hentikan leluconmu Nak, Ayah tahu, Ayah juga mengerti, kemarilah ayo kita bica….” Kalimatnya terputus karena Vano memotong kalimatnya.

“Aku tidak sedang bercanda Ayah. Kami benar-benar sudah menikah.” Ujar Vano. Om Harlan terduduk lemas di sofa rumahnya setelah mendengar pernyataan Vano. Mamaku menatapku dengan tajam, air matanya mengalir dipipinya. Ia mulai mendekatiku, aku semakin ketakutan.

“Kenapa kamu lakukan semua ini Mila? Jawab Mama, kenapa kamu melakukan hal seburuk ini?” Teriak Mama sambil mengguncang tubuhku. Aku menangis, aku merasa sangat bersalah padanya. Aku tahu aku pasti menyakiti hatinya, tapi aku tidak punya pilihan lain.

“Maafin Mila Ma.” Ucapku dalam tangisku.

“Maaf?? Kamu sudah mempermalukan kami sebagai orang tuamu. Mama tau kalau Mama ini bukan Ibu kandungmu, tapi tetap saja kamu tidak berhak untuk melukai hati kami seperti ini. Mama sangat kecewa padamu Mila. Mama sangat kecewa.”

“Maafin Mila, maafin Mila Ma.” Ucapku kembali. Hanya kalimat itu yang bisa aku katakan pada Mama. Air mataku semakin mengalir deras.

PLAAAKKKK…

Tamparan Mama mendarat dipipi kiriku hingga aku terhuyung ke arah Vano. Vano memeluk tubuhku agar aku tidak terjatuh. Ini kali pertamanya Mamaku menamparku, Mama sangat marah besar padaku.

“Nyonya Kayana Kusuma. Anda tidak ada hak untuk menyakitinya, karena saat ini dia adalah istri saya. Hanya saya yang berhak atas dirinya.” Ujar Vano, membuatku tersentak kaget. Kalimatnya akan semakin membuat Mamaku marah padaku.

PLAAAKKK…

Aku terkejut kali ini bukan aku yang ditampar, tapi Vano. Tamparan yang mendarat dari Ayahnya ke pipi sebelah kanannya.

“Ayah!” Teriak wanita paruh baya dibelakangnya, mungkin dia adalah Ibunya Vano.

“Ayah tidak pernah mendidikmu seperti ini, dan hari ini Ayah sangat kecewa padamu.” Ungkap Om Harlan terlihat penuh emosi.

“Apa kasih sayang kami selama ini kurang padamu Nak? Apa kesalahan yang telah kami lakukan sehingga kamu melakukan hal setega ini pada kami?” Kini Papaku yang mulai berbicara. Aku tidak berani menatapnya. Sedangkan Mamaku terus terisak dalam tangisnya.

“Papa..” Aku menangis berlutut dikakinya.

“Selama ini Papa selalu bertanya padamu, siapa pacarmu? Kapan kamu akan menikah? Tapi kamu selalu menjawab, aku belum ingin menikah Papa. Jika aku ingin menikah, maka Papalah yang akan mengetahuinya lebih dulu. Tapi apa ini Mila? Bagaimana bisa kamu melakukan hal ini pada kami? Katakan pada papa. Apa kamu hamil? Sehingga kamu harus menikah dengan cara seperti ini? Tapi jika sekalipun kamu hamil, kamu bisa menikah dengan cara yang lebih baik Nak.”

“Maafin Mila pa..” sesalku.

“Papa sangat kecewa padamu Nak..pa…pa…” Tiba-tiba Papaku terjatuh, terlihat ia memegangi dadanya. Papa terkena serangan jantung, tangisku semakin pecah.

“Papa!” Teriak Mama.

“Papa! Papa bangun Pa, maafin Mila Pa…”

Mama menepis tanganku, dimatanya penuh dengan amarah padaku. “Jangan sentuh Papamu, menjauhlah darinya Mila. Mulai dari sekarang jangan pernah menunjukkan wajahmu pada kami, hiduplah bersama suamimu. Kami sudah gagal menjadi orang tua yang baik untukmu.” Jelas Mama.

“Jangan katakan itu Ma, Mila anak Mama. Maafin Mila Ma.” Lirihku dalam tangisku.

“Ayo cepat kita bawa Abi ke rumah sakit.” Seru Om Harlan membantu Mama. Mereka semua pergi meninggalkanku dan Vano.

“Papa….Mama….” Teriakku, aku segera berdiri mengejar mereka, aku ingin ikut ke rumah sakit.

“Hentikan Mila! Mama sedang tidak ingin melihat wajahmu. Tetaplah disini jangan coba-coba untuk pergi ke rumah sakit.” Bentak Mama. Aku sangat sedih mendengar ucapan Mama, Mama sangat marah mungkin bahkan sekarang membenciku.

Aku terus menunggu kepulangan Om Harlan dan istrinya, aku ingin tahu keadaan Papaku. 2 jam aku mondar mandir di ruang tamu Vano, kadang duduk, kadang berdiri. Vano hanya diam melihatku tidak berhenti menangis. tidak berapa lama kemudian akhirnya merekapun kembali pulang ke rumah. Aku segera menghampiri mereka saat mereka memasuki rumah.

“Om, Tante gimana keadaan Papa saya? Papa baik-baik aja kan?” Tanyaku cemas.

“Papamu baik-baik saja.” Jawab Om Harlan singkat lalu berlalu pergi meninggalkanku.

“Tante…” Aku hendak bertanya pada Ibunya Vano.

“Indi, Ibu istirahat duluan ya. Ibu lelah sekali.” Ungkapnya lalu pergi juga meninggalkanku.

“Iya bu.” Jawab Indira.

Aku beralih pada Indira. “Indi…”

“Aku tidak tahu alasan kalian melakukan hal ini, Aku hanya bisa berharap semoga semua ini akan baik-baik saja.” Ujarnya.

“Assalammualaikum.” Sapa seorang laki-laki yang suaranya tak asing ditelingaku.

Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok yang baru saja memasuki rumah Vano. Deni. Apa yang ia lakukan malam-malam begini disini? Gumamku.

“Waalaikumsalam. Kamu udah pulang.” Jawab Indira.

Apa mungkin dia? Aku menemukan jawabannya saat Indira mencium tangannya. Apa yang telah dilakukan Vano padaku, membuatku berpura-pura menikah dengannya, membuat Papaku masuk rumah sakit, dan sekarang malah memasukkanku dalam sarang buaya. Dengan begini aku bisa bertemu Deni setiap hari, dan aku sangat tidak menyukai hal itu. Mengapa aku harus berurusan dengan keluarga mereka? Umpatku dihati. Menyadari aku berada disana, Deni juga menunjukkan ekspresi terkejut.

“Dia?...” Ucap Deni.

“Dia Kak Mila, istri Kak Vano.” Jelas Indira.

“Apa? Istri? Kapan mereka?...” Deni terlihat sangat terkejut.

“Akan aku jelaskan nanti, sekarang masuklah dan istirahatlah dulu.” Seru Indira.

“Sebentar- sebentar, bagaimana bisa mereka….” Deni terlihat sangat penasaran.

“Kenapa Den? Apa ada masalah dengan pernikahanku? Atau apa ada masalah dengan istriku? katakan saja.” Vano mulai menyela kalimat Deni.

“Oh tidak tidak. Aku hanya bingung saja.” Jawab Deni.

“Ayo kita masuk dulu, kamu pasti lelah kan?” Ajak Indira, Denipun mengikutinya tapi terus sesekali menoleh ke arahku. Drama apa lagi ini.

“Apa kamu mengenalnya?” Tanya Vano kemudian.

“Ti..ti..dak. aku hanya pernah melihatnya.” Jawabku.

“Ikutlah denganku. Aku sangat lelah.” Ajak Vano.

“Kemana?” Tanyaku penasaran.

“Ke kamarku.” jawabnya singkat.

“Apa? Aku tidak mau.” Tolakku.

“Yasudah kalo tidak mau, tidurlah disini.” Ujarnya lalu berlalu meninggalkanku.

Aku kembali duduk di sofa rumahnya, aku berpikir akan tidur di sofa ruang tamu malam ini. Pulang ke rumah sudah tidak mungkin. Beberapa saat kemudian, Vano kembali menghampiriku di ruang tamu lalu menarik tanganku memaksaku untuk ikut bersamanya.

“Lepaskan tangan aku, aku gak mau ikut sama kamu.” Aku berusaha melepaskan genggaman tangannya.

Vano menatapku tajam. “Disini, aku ini suami kamu. Jangan membantah. Apa kamu mau semua orang dirumah ini melihatmu tidur disini? Jangan banyak komentar, ikut saja.” Akupun dengan terpaksa mengikutinya.

Sesampainya dikamarnya, aku bingung apa yang harus aku lakukan. Bahkan pakaian saja aku tidak punya selain pakaian yang sedang aku kenakan.

“Kalau kamu mau mandi, kamar mandinya disana. Lalu segeralah tidur.” Perintahnya.

“Aku tidak mau tidur denganmu.” Ucapku ketus.

“Siapa yang menyuruhmu tidur denganku? Aku tidak mengatakan itu. Jangan menyentuh kasurku sedikitpun.” Jelasnya

“Aku akan tidur di sofa.” Ucapku sambil menduduki sofa dikamarnya.

“Berdiri!” Perintahnya, akupun segera berdiri menuruti perintahnya. “Bahkan tidak juga di sofa ku. Tidur di lantai dan gunakan satu bantal ini, tanpa kasur, tanpa alas, dan tanpa selimut.” Serunya sangat ketus.

“Lantai? Aku tidak pernah tidur di lantai. Ini penyiksaan namanya. Lihat, kamu saja menyalakan AC kamarmu dua puluh tiga derajat Celcius. Aku bisa mati kedinginan.” Gerutuku.

“Kamu tidak akan mati. Kamu tidak punya pilihan lain. Ini rumahku, suka tidak suka patuhi aturanku.” Ujarnya sambil membaringkan tubuhnya di kasurnya lalu menutupnya dengan selimut.

Aku tidak tahu kehidupan apa yang aku jalani saat ini, seperti dunia sama sekali tidak berpihak padaku. Aku berbaring memunggungi Vano. Aku meringkuk kedinginan di lantai, tanpa terasa airmataku kembali menetes. Mama, Mila takut disini. Mila kangen mama, papa, dan juga kak Mike. Batinku menangis.

“apa kau sudah tidur?” Tanya Vano kemudian. Aku sama sekali tidak menghiraukan pertanyaannya. Aku lebih memilih diam daripada harus berdebat dengan manusia kejam sepertinya. “baiklah, nikmati harimu menjadi istriku.” lanjutnya.