Gita memasuki rumahnya dengan keadaan yang sangat lelah. Gita menaruh sepatunya di rak sepatu lalu masuk ke dalam, "Assalamualaikum bu.. " salam Gita, lalu duduk di sofa ruang tamu untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak, Gita menyandarkan kepalanya pada kepala sofa dengan kedua tangan yang menutup kepalanya.
Gita merasakan setiap detik waktu yang tuhan berikan kepadanya. Dan dia tak mau menyianyiakan waktu emas itu, Gita harus membantu perekonomian keluarga semenjak sang ayah yang pergi lebih dulu menemui sang pencipta.
Dalam tidurnya perlahan cairan bening keluar dari ujung mata manis itu, merasakan semua beban hidup yang sangat berat. rasanya dia ingin sekali mengeluh meminta tuhan untuk mengambil kesedihan ini, dan mengembalikan ayahnya, tapi dia tau semua itu tak mungkin Gita hanya bisa menyimpan semuanya sendiri dia tidak ingin menunjukan kepada sang ibu. Dia tak mau membuat ibunya sedih, dia hanya perlu melihat senyum di wajah sang ibu, karena tak ada hal terpenting dalam hidupnya selain membuat bahagia ibunya. Bahkan Gita tak memikirkan keadaan dirinya yang begitu lelah, semua bagai angin lalu.
Lestari yang baru saja selesai sholat isya pun keluar kamar. Ia mendapati sang anak yang tertidur pulas di sofa ruang tengah, Lestari sedih melihat Gita yang begitu lelah dan harus menopang semua beban hidup keluarga. Dia merasa tak becus menjadi orang tua, karena Gita masih tanggung jawabnya.
Mas.. Maafkan aku yang tak bisa menjaga anak kita.
Lestari berjalan mendekati sang anak. Ia duduk di samping Gita, "Git.. Tidur di dalam yak…" Gita perlahan menurunkan tangannya dan membuka mata lalu menoleh ke kanan, "Kamu menangis?" hati Lestari mencelos melihat air mata sang anak yang terjatuh dan mengalir di pipinya.
Gita menggeleng, tangannya reflek meraba pipinya. Ah apa dia menangis?
"Aku gak papa kok bu. Mungkin karena lelah, kan ibu tau aku kalau lelah pasti keluar deh air matanya. Oh ya bu, aku ke kamar dulu udah gerah." Gita memajukan wajahnya mencium pipi ibunya lalu dia pergi ke kamar sebelum sang ibu memarahinya karena telah mencium pipi ibu.
.
.
.
Minggu ini Gita ingin menghabiskan satu hari fullnya bersama sang ibu. Hari ini merupakan hari gajiannya, dan dia ingin mengajak sang ibu untuk jala-jalan keluar. Mereka kini sudah rapi dengan pakaian yang rapi dan sopan. "Ibu sudah siap?" ujar Gita dan diberi anggukan oleh Lestari. Mereka kini menaiki angkutan umum, setelah tadi menunggu sekitar lima menit lamanya, angkutan itu membawa dia dan ibu ke suatu tempat wisata di Jakarta. Angkot itu berhenti karena mereka telah sampai di tempat tujuan mereka, ya mereka pergi ke dunia fantasi, Dufan.
"Nih bang ongkosnya." setelah membayar, dengan semangat Gita mengajak Lestari untuk segera mencoba dan menaiki wahana permainan disini.
Ia tidak akan menyia nyiakan hari liburnya ini. Setelah membeli tiket dan masuk ke dalam wahana Gita menatap sang ibu yang tampak sangat bahagia.
"Bu, kira-kira apa dulu ya?" tanya Gita, Gita mengedarkan penglihatannya untuk mencari wahana apa yang akan ia naiki bersama sang ibu. Tiba-tiba matanya menemukan hal menyenangkan, Gita menujuk bianglala di ujung sana. "Bu, kita naik itu yuk." ajaknya dan ibunya mengangguk, kini mereka menghampiri bianglala itu.
Ternyata antriannya panjang sekali, pasti akan memerlukan waktu lama. "Bu antrinya panjang banget, bagaimana kalau kita keliling dan nanti kalau ada permainan yang seru kita akan main."
lestari mengangguk.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berkeliling, sepanjang jalan Gita selalu saja bersikap manja. Dia merengek minta di belikan ini dan itu, sang ibu menolak hal yang tak perlu Gita beli karena usia Gita sudah tak pantas untuk membeli barang itu, walau Lestari tau bahwa Gita juga yang akan membayarnya.
Kini mereka tengah duduk di bangku taman dengan Gita yang asik dengan kembang kapas pada tangannya. "Git.. " ucap Lestari, Gita menoleh dan berdehem, "hmm.. "
Lestari terdiam sejenak, ia menatap Putri kesayangannya kini sudah tampak dewasa, dan bisa mengurus diri sendiri. Dia bangga dengan Gita, Lestari terus saja mengelus Puncak kepala anaknya dengan sayang, tanpa ia sadari air mata turun begitu saja. Lestari tak bisa menahan kesedihan ini.
"anak ibu sudah besar sekarang. ibu ingat sekali dulu kamu hanya menangis saat keinginannya tak terpenuhi kini sudah menjadi wanita dewasa yang sangat cantik--" Lestari menghapus air mata yang berusaha keluar dengan kedua tangannya.
"Bu.. " Gita tak tenang, karena ibunya berbicara yang aneh menurutnya. Lestari tersenyum lalu memeluk Gita, tangisan Lestari pecah saat ia memeluk sang anaknya, dan mungkin ini adalah pelukan terakhirnya. Ibu sayang kamu nak.
"Kamu harus berjanji sama ibu.. Untuk menjadi wanita yang kuat dan tetap tersenyum, kamu juga harus ingat bahwa Allah akan selalu menjagamu, dan ibu sungguh bahagia memiliki anak yang begitu cantik sepertimu."
Gita yang mendengar itu melepas pelukan sang ibu. Gita tau apa maksud sang ibu, tapi memikirkan itu Gita benar-benar tak sanggup, apa ibu akan pergi juga meninggalkannya, pikir Gita.
Gita menggeleng ia tak mau mendengarnya, "Allah akan menjagaku.. Dan ibu juga akan menjagaku di sampingku, jadi Gita mohon ibu jangan pergi. Gita.. "Gita tak kuat, hatinya sakit.
Lestari mendengar itu langsung menarik Gita dalam dekapannya. "Iya, ibu akan menjaga kamu." ucap Lestari sambil tersenyum lalu mencubit gemas hidung anaknya. Gita mengangguk lalu tangannya menghapus air matanya yang membanjiri wajah tembamnya ini.
.
.
.
"Ayok kita naik bianglala, sepertinya antriannya sudah tak terlalu ramai seperti tadi." ucap Lestari dan kini mereka pun menuju wahana bianglala, benar antriannya tidak terlalu banyak jadi mereka tak perlu mengantri lama.
Petugas membukakan pintu, Kinan dan Lestari pun masuk kedalam setelah pintu tertutup bianglala pun berputar perlaha. Ke atas, saat di pertengahan mereka melihat pemandangan kota Jakarta yang begitu Indah dengan matahari terbenam yang menghiasi, warna oranye yang memperindah sore ini tak akan pernah Gita lupakan, dan mungkin ini adalah moment terakhir dia dengan sang ibu.
Setelah asik menghabiskan waktu seharian di Dufan. Mereka memutuskan. Untuk kembali kerumah, karena besok adalah hari pengumuman hasil ujian nasional di sekolah. "Bu semoga nilai Gita Bagus ya." harap Gita, sang ibu tersenyum sambil mengusap kepala anaknya. "Amin.. "
Berjalan sambil berbincang di jalan kompleks menuju rumah membuat mereka larut dalam obrolan, "Genduttt.." dilihat Iqbal yang berjalan ke arahnya, saat Iqbal sampai dengan terengah-engah ia memegang lututnya untuk menetralkan jantungnya yang berlari.
"Ada apa?" tanya Gita.
"Cowok yang kemaren kerumah kamu, nungguin kamu dari tadi di rumahku."Gita membulatkan matanya tak percaya dengan apa yang di ucapkan oleh sahabat karibnya.
"Mau ngapain dia?" Gita bertanya tapi Iqbal mengangkat bahunya tak mengerti, "kamu samperin aja dulu, kasian dari tadi cuman duduk doang di depan teras kayak orang bego." balas Iqbal.
Gita meminta izin sag ibu untuk menemui Gilang di rumah Iqbal, "ya sudah nanti nak Gilang suruh ke rumah aja, ada yang mau ibu omongin sama dia." Gita mengangguk lalu dia dan Iqbal pergi ke arah yang berbeda, rumah Iqbal dan Gita itu depan depanan.
Saat di ujung gang, Gita melihat sebuah mobil yang terparkir di halaman rumahnya, ah ternyata benar.
Gita melihat Gilang yang tengah tertidur di kursi bambu panjang rumah Iqbal, Gita menepuk tangan Gilang agar sang empu terbangun. Gilang yang mendapat tepukan di tangannya memrasa terusik sehingga ia membuka matanya, Gilang tersenyum sinis, "Akhirnya dateng juga." ujarnya dengan nada sinis, ia mengubah posisi tidurnya dengan duduk. Gita bingung dengan apa maksud perkataan pria dewasa di hadapannya ini.
"Kau tau, gara gara kamu saya harus membatalkan meeting saya yang bernilai triliunan dollar." ucap Gilang.
"Maaf ya pak Gilang.. "
"Saya belum setua itu, panggil dengan nama saya! " perintahnya tak mau di bantah
"Okay.. Jadi begini ya, pertama." Gita mengangkat jari telunjuknya mengisyaratkan angka satu.
"Saya tidak pernah merasa punya janji dengan anda." jari berikutnya terangkat mengkode bahwa ada prihal yang lain
"Kedua, kenapa anda tidak pergi dari tadi kalau tau saya.. Ah setidaknya anda tau kalau rumah saya kosong. Anda memang bos, dan orang hebat.. Tapi ternyata anda tidak secerdas yang saya pikir." ucap Gita, sedangkan Gilang yang mendengar itu naik pitam, Gilang tak terima dikatakan stupid oleh gadis Gendut di hadapannya.
"Sudah, tadi tante nyuruh kalian buat kerumah, dari pada debat terus mending kalian langsung pulang, terutama untuk kamu." tunjuk Iqbal ke Gilang.
Gilang menghela nafas, ia bangkit dari duduknya lalu meninggalkan dua mahluk yang membuatnya jengkel. Lebih baik ia menemui tante Lestari di rumah.
Melihat Gilang yang pergi, Gita tertunduk lesu, dia baru teringat bahwa bebannya masih ada satu lagi, ya dia calon imamnya.
"Sabar... Kemana Gita yang kuat dan selalu tersenyum? " Iqbal memberi semangat sang sahabat. "sudah sana, nanti tante nunggu kamu. Takutnya ada hal penting yang akan di bicarakan." Gita mengangguk lalu tersenyum kepada Iqbal, dan Iqbal tau bahwa itu hanya senyum terpaksa.
.....
"Gita.... Ibu kamu.. " teriak Gilang di depan pintu.
Gita mendengar itu panik seketika, ia langsung saja berlari kerumahnya. Dia melewati Gilang yang berada di ambang pintu, mata Gita terbelalak melihat sang ibu yang suda tergeletak kaku dengan darah yang keluar di mulut, hidung dan telinganya.
Tubuh Gita lemas, kakinya kaku untuk melangkah, tangannya terangkat menutup mulutnya untuk menahan isakan yang keluar dari mulut itu.
Mata ini tak salah lihatkan, bagaimana mungkin ibunya seperti ini, baru saja dia dan ibunya bersenang-senang dan ibunya sudah berjanji untuk tetap bersamanya.
Ia berjalan perlahan mendekati sang ibu, darah mulai tak keluar. "Ibu... Tadi ibu janji kan sama Gita? Ibu akan di sini bersama Gita.. Ibu bohong sama Gita?" tanya Gita yang terus menggenggam tangan sang ibu, Gilang melihat itu mendekati Gita, ia ingin memberi sedikit kekuatan kepada gadis ini.
Namun Gita menepis tangannya saat dia hendak merangkul gadis itu, "Kenapa Gilang? Kenapa ibu bohong padaku? Kenapa ibu berjanji kalau pada akhirnya tidak bisa menepati janji itu. Tadi kita habis bermain dan ibu sangat senang, aku pikir.. Kalau aku mengajak ibu liburan, ibu akan sembuh."
Gilang tak tahan ia menarik Gita ke dalam dekapannya, "shutt.. Tenang lah. Ada aku disini, aku akan menjagamu" ucap Gilang tanpa sadar.
Tak begitu lama mobil ambulans datang, dan kedua orang tua Gilang pun datang. Ya sebelumnya Gilang sudah menghubungi pihak RS tentang keadaan tante Lestari.
"Tenang, aku tak akan meninggalkanmu." Gilang mengelus punggung Gita, dan membiarkan Gita menangis di pelukannya.