4

Gita benar-benar terpukul. Dia terus saja mengurung dirinya di kamar, dan terus menangis karena kepergian sang ibu. Tiga hari sudah Gita seperti ini, ia juga tak masuk sekolah dan juga tak masuk bekerja.

Hatinya hampa. Dunianya sudah hancur, Gita tak menyangka kalau sang ibu akan pergi begitu saja. Kini dia sendiri, sang ayah yang meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan juga membuat Gita terpukul dan kini luka yang belum kering kembali terbuka, dia ditinggal ibunya untuk selamanya, dia tertawa karena takdir yang tak adil. Apa dia di takdirkan untuk bersedih, tak bolehkah dia bahagia?

Air mata Gita sudah kering, sudah tak bisa keluar karena terlalu banyak yang ia keluarkan. Dia kesal, ingin marah tapi tak tau apa yang harus dia lakukan, ingin sekali menemui tuhan, berteriak dihadapannya meminta penjelasan atau kalau boleh meminta untuk kedua orangtuanya kembali, karena yang ia butuhkan hanya itu.

Sementara Gilang selama tiga hari ini juga tak masuk ke kantor. Mamahnya berpesan untuk menjaga Gita, Gilang tak habis pikir dengan sang mamah. Dia harus menjaga cewek gendut itu dan meng-cancel proyek miliaran, what the hell.

Gilang hanya memandang gadis itu yang sedari tadi hanya menatap keluar jendela dari kasurnya, Pandangannya kosong. Habis sudah kesabaran Gilang, akhirnya dia mengambil nampan dengan mangkuk yang berisikan bubur lalu menghampiri Gita, "Setidaknya kamu harus makan." Ucap Gilang, Gita menoleh dan hanya menatap wajah Gilang tanpa memberi respon.

Tak ada respon Gilang memilih duduk di samping Gita, "Buka mulutmu." ia pun mengambil sedikit bubur dan akan menyuapi Gita, tapi lagi-lagi Gita tak meresponnya, diam bak patung.

"Okey, kamu mau apa? Kamu kesal? Marah? Kecewa? Sedih? Tapi percuma bukan.. Apa dengan kamu seperti ini ibu akan kembali? BIG NO..sadar lah Gita sadar..." ucap Gilang kesal.

Gita menoleh dan tersenyum, senyum kesedihan karena sangat jelas diwajahnya kesedihan dari mata indahnya dan Gilang merasakan itu.

"Iya.. Aku kesal.. Aku marah.. Aku kecewa.. Aku sedih.. Aku.. Hmm..Apa kamu pernah ditinggal orang yang paling kamu sayang? Apa pernah kamu merasakan kehilangan? Apa pernah kamu merasa tuhan tak adil padamu? Apa kamu pernah kehilangan kedua orang tuamu?" Gita menggeleng, "enggak.. Kamu gak pernah tau, kamu gak tau rasanya kehilangan, kamu gak tau rasanya di tinggal pergi, kamu gatau rasanya hidup sendiri,kamu gatau apa yang aku rasakan jadi tolong jangan usik hidupku..pergilah, biarkan ini menjadi urusanku."

Gilang mendengar itu merasa terpukul. Hatinya sakit, ia seperti merasakan apa yang Gita rasakan juga.

"Gak aku gak akan pergi, kamu calon istriku. Dan aku ga mungkin ninggalin kamu." ucap Gilang, Gita yang menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong kembali tersenyum.

"Batalkan saja, dari awal kamu juga tak menyukaiku. Untuk apa kita menikah, kau tau? --" Gita menoleh, ia menatap tepat di mata hitam Gilang.

"Sebuah hubungan yang di landasi dengan terpaksa dan kebohongan tidak akan berjalan dengan baik, kamu sendiri yang bilang tak suka dengan Gadis Gendut sepertiku apalagi aku masih SMA dan sekarang aku ga punya apa-apa untuk di kasih ke kamu..dan satu lagi, karena ibu sudah tidak ada semua perjanjian aku anggap batal." finnal Gita.

"Sebaiknya kamu istirahat." Gilang mengintrupsi Gita untuk tidur.

"Pergilah Gilang!" pinta Gita dan Gilang keluar dari kamar itu, ya Gilang pergi, tapi tak pergi dalam artian yang dipikirkan Gita.

.

.

.

.

"Siap pak.. Semua data sudah saya berikan, dan bapak hanya perlu tanda tangan persetujuan saja." Haris --sekertaris sekaligus sahabat Gilang, memberikan berkas kerjasama antara perusahaan minyak di kalimantan, kontrak yang seharusnya kemarin dia tanda tangan namun karena ada beberapa hal sehingga dia baru sempat untuk mengurusnya.

"Baik lah. " ucap Gilang sedikit lemas.

"Lo kenapa bro.. Kusut amat? " Tanya Haris, Gilang memijit pelipisnya yang sedikit nyeri, tak menyangka bahwa Gita dan perkataanya bisa memenuhi otaknya. bahkan sedari tadi yang dia pikirkan hanya gadis itu.

"Enggak, tadi ada sedikit problem aja. nyokap cewek yang dijodohin mamah meninggal, dan ya cewek itu terpukul banget sih, dari kemaren cuman ngurung diri dikamar."

Haris tertawa mendengar penuturan tersebut, "Jadi seorang Gilang bisa Galau karena cewe? " Haris bertepuk tangan.

.

.

.

Tok tok tok...

Suara pintu terdengar membuat Gita bangkit dari duduknya. Ia berjalan menghampiri pintu itu dan mendapati Iqbal yang berdiri mengenakan seragam sekolah dengan dua bungkusan di tangannya.

"Malah bengong, udah yuk aku laper." Iqbal masuk begitu saja setelah mengucapkan itu. Gita tak menjawab lalu mengekori Iqbal masuk ke dalam, Iqbal ke dapur mengambil dua piring dan dua sendok serta garpu, setelah mendapatkannya Iqbal kembali dan membawanya ke maja raung tengah dimana Gita duduk.

"Nih.. Kamu tuh harus makan." Iqbal memberikan satu bungkus nasi goreng kesukaan Gita, Gita menoleh dan memandang makanan itu, "Nasi Goreng favorite kamu.. " lagi-lagi Gita tak menanggapi. "Kenapa? Gak suka? Apa mau aku suapin? " Iqbal melebarkan senyumnya namun itu membuat wajah tampannya terlihat konyol.

Gita mengangguk. "Ya ampun, apa susahnya sih ngomong. Kamu punya mulutkan? Ini aku lagi ngomong sama sahabatku kan? Kamu tuh siapa sih? Please demit yang ada di tubuh nih cewe keluar dong.. Engga kasian apa nih badannya udah kurus kering kayak kerupuk yang abis di jemur." cerocos Iqbal, dan itu berhasil membuat Gita sedikit tersenyum.

Melihat senyum itu Iqbal pura-pura takut. Dia sedikit menjauh dari Gita, dan itu berhasil membuat Gita memukul lengan Iqbal.

"Kamu mukul? Apa nyolek? Gada tenaganya pisan.. "Ejek Iqbal, Gita membulatkan matanya. Ia kesal dan bahagia karena Iqbal selalu ada untuknya.

"Udah ah, males aku nyuapin kamu..makan sendiri, punya tangan kan.." Iqbal menyerahkan piring yang berisi nasi goreng kepada Gita,Gita pun menerimanya, "Aku laper...suapin"

"Dasar gak ikhlas." gerutu Gita namun ia tetap menyuapi Iqbal yang malah asik menonton tv.

"Ya biarin lah..kenapa? Jadi gak ikhlas juga?" namun Gita diam, dia sedang tak mood untuk membalas celotehan sahabatnya.

Mereka berdua larut dalam situasi ini. Setelah kenyang mereka pun akhirnya membereskan sisa makanan tersebut, saat ingin menaruh piring kotor ke belakang, mata Gita menangkap sosok Gilang yang sedang berdiri di ambang pintu dapur, Gita sangat kaget dengan keberadaan Gilang.

"Mau coba selingkuh? Gimana.. sudah kenyang? Senang ya di bawain nasi goreng terus makan berdua..uhhh romantis."

Gilang memberikan senyum kecewanya. Ia kecewa dengan Gita, sungguh Gilang merutuki dirinya yang bela-bela datang kesini dan lagi-lagi harus mengabaikan pekerjaannya.

"Emmm...tapi gak apa ya? Ya hitung-hitung sebagai salam perpisahan buat sahabat kamu. Dan aku akan mempercepat pernikahan kita." ucapnya kemudian meninggalkan Gita yang mematung.

Gita dan Iqbal yang mendengar ocehan Gilang terdiam mematung, “Dia bisa ngomong sepanjang itu?” Gita hanya mengangkat kedua bahunya tidak peduli, dan melanjutkan makannya.

Iqbal menatap arloji yang terpampang di tangannya. “Udah malem aku balik ya.” Gita mengangguk, “Thanks ya bal.” Iqbal mengangguk kemudian berlalu pergi meninggalkan Gita.

Tak lama dari sepeninggalan Iqbal, Gilang datang dan duduk tepat dihapana Gita. “Ada apa?”

Gilang menggeleng, “Hanya memastikan bahwa kamu sudah tidak sedih lagi.” Gita yang mendengar itu mengernyitkan dahinya. “Ternyata memang sudah tidak sedih, kalau gitu aku harus pergi lagi.” Setelah mengucapkan itu Gilang bangkit kemudian mengusap kepala Gita dengan lembut. “night, istirahatlah. Jangan terlalu memikirkan hal yang membuat kamu sedih.”

Gilang melangkahkan kakinya meninggalkan Gita, namun Gita menahannya. “Kenapa kamu menyetujui pernikahan ini?” Gilang melihat tangannya yang dicekal kemudian menatap wajah Gita yang terlihat pucat. Hanya menatap tanpa memberikan respon, setelah itu Gilang bendar-benar pergi meninggalkan Gita.

Di dalam mobil Gilang menyandarkan tubuhnya. Suara dering telephone memenuhi pendengarannya, Gilang pun meraih ponselnya dan mendapati Haris sang sekertaris menghubunginya.

“Gimana?”

“…”

“Ok besok saya kesana. Ada lagi?”

“…”

“Baiklah.” Sambungan pun terputus.

Gilang menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan kediaman Gita. Sepanjang perjalanan Gilang tak hentinya mengingat kejadian saat Gita dan lelaki itu tersenyum bahagia. Dengan cepat Gilang menggelengkan kepalanya menghilangkan pikiran konyolnya itu.