Pintu Hati yang Terbuka

Sudah kukatakan.

Percayalah padaku

Aku sungguh

Mencintaimu,

Sara

11 Juli 2014

Seorang pria tampan dengan kemeja satin hitam polos dengan kedua lengan yang dilipat rapi dipadukan dengan celana jeans putih, baru saja turun dari Pajero Sport yang dikemudikan supir pribadinya. Siang itu juga, pria tersebut duduk terdiam memandangi ponselnya, seorang diri, di Garuda Executive Lounge Bandara Soekarno-Hatta. Sendiri, tiada berkawan.

Dimanakah sang istri?

“Boarding”. Renas, 11 Juli 2014, 3.10 sore.

Renas mengirimkan pesan tersebut pada akhirnya, tidak menunggu jawaban. Hatinya bimbang, benci dengan keadannya, menyesali, mengutuki keputusannya siang hari itu. Mengutuki hari kemarin dimana dia menjalin kembali yang telah terputus, walau belum jauh berjalan.

Satu jam lagi, selamat tinggal Jakarta. Satu jam lagi selamat datang Surabaya, selamat datang kekasih lama; pengkhianat. Renas masih memandangi ponselnya, terpaku melihat jawaban Ana. Wanita tersebut benar-benar menanti dirinya. Tentu saja! Siapa yang dahulu berkhianat? Siapa menginginkan siapa sekarang?

Diletakkan jauh-jauh ponsel nya di meja, tidak ingin melihat lagi. Hati bertambah bimbang, meragu. Renas tidak ingin menemui Ana. Sangat tidak ingin. Bodohnya, mengapa kemarin menyetujui? Renas sungguh tidak lagi mencintai Ana, tidak lagi menginginkannya.

Ponselnya berdering.

Helen, sang adik menelpon. Renas sengaja tidak menjawab, sedang tidak ingin bicara. Terlebih, setelah pagi tadi mengetahui bahwa orangtuanya berada di Jakarta untuk bertemu dengannya lusa. Beberapa menit berselang Renas mengirimkan pesan untuk adiknya menanyakan ada apa.

“I’m in Jakarta! Can i come by your place? Like now now? I wanna see Sara, been a while”. Helen, 11 Juli 2014, 3.35 sore.

Renas terdiam. Selama 20 menit terdiam, berpikir, memutuskan.

“Are you home already? If she’s alone i can be a good company”. Helen, 11 Juli 2014, 3. 58 sore.

Renas, yang tidak membawa satu tas pun, hanya sebuah dompet dan ponsel di sakunya, bangkit saat itu juga, berjalan menjauh.

Meninggalkan bandara.

Memikirkan Sara, mencintai nya, Renas meninggalkan bandara.

Mabuk semalaman, sendirian, kacau. Sebelum akhirnya pulang kepada wanita yang ia cintai, sangat ia cintai jauh di dalam hati.

Mengingat saat-saat membingungkan,

saat-saat bahagia

Ketika kamu mengucapkan janji suci itu

Ketika hanya ada tatapan sinis dan kebencian,

kamu tetap mengucapkannya

Resmi sudah aku menjadi istrimu!

Lalu, apa jadinya setelah akad nikah ini berakhir?

Teguk anggurmu, mari kita berpesta!

Walau hanya dihadiri 6 sahabat terdekat

Walau keluarga pun menolak tuk hadir

Setidaknya ada kamu dan pulau ini

Pulau yang saat ini kembali kita kunjungi

Mari tengok tuk sejenak saja

Apa yang telah kita lewati bersama, sayang

**

Pulau Macan, 14 Juli 2014

“Do you wanna go canoeing?” Renas berdiri tepat di ujung Island hut di Pulau yang dia sewa selama tiga hari dua malam hanya untuk berdua, mencari ketenangan, melepaskan diri dari masa lalu. Hanya berdua, tidak ada ruang untuk yang lain.

Sara masih berbenah, melipat kembali beberapa gaun yang baru saja dia keluarkan untuk dilihat-lihat kembali, memikirkan baiknya mengenakan yang mana untuk malam itu. Siang itu masih pukul dua belas tepat tengah hari, baru saja pukul setengah sebelas tadi mereka sampai. Sesampainya di pulau tempat dimana mereka menikah tepat tujuh bulan lalu, Renas berjalan menyusuri setiap hut, berjalan sendiri melihat-lihat, mengenang kala mereka menikah dulu. Semuanya masih sama, masih indah dan masih hijau.

Setiap hut di pulau itu milik mereka berdua untuk tiga hari dua malam. Pulau seindah dan seluas itu, hanya untuk mereka berdua. Renas masih berdiri di ujung hut yang mereka tinggali; Island hut, hut yang terluas dan terindah, tepat diantara tirai yang menutupi pintu masuk.

“I’m not gonna have any sunburn now, not yet.” Sara tersenyum, masih duduk di ranjang, masih melipat baju-baju nya. “You look beautiful with tanner skin.” Renas berargumen, tersenyum di ujung bibir nya. “Slow down, we still have three days.” Sara membalas. “Well, shall we have lunch now?” Renas menunggu, dengan kedua tangan didalam kedua kantong di sisi kanan dan kiri chinos beige nya. Renas mengenakan kaus putih polos pas badan, berlengan pendek dengan kerah v, sangat casual. Sara masih mengenakan gaun panjang berwarna kuning polos nya, kerah v yang dalam serta terbelah di paha kiri. Masih terlalu awal, namun sudah sangat menggoda.

“Yes, we shall.” Sara menatap suaminya dalam-dalam.

Siang hari itu juga tepat setelah makan siang, kurang lebih pukul satu, Sara mendayung hingga ke tengah laut, Renas berenang hingga ke pulau seberang. Pulau Macan Gundul, terletak tepat di seberang Pulau Macan. Karang-karang nya masih liar, masih indah tidak berpenghuni, hanya sesekali pengurus mendayung hingga ke pulau seberang tersebut untuk melakukan pemeriksaan rutin.

Sesekali Renas berhenti berenang, berpegangan tepat pada kano Sara, sejenak membujuknya untuk bergabung dengan nya di air. “You should join me”. Renas sangat menggoda siang hari itu, basah dan tampan. Sara menolak, mengatakan bahwa dia tidak mampu berenang sejauh itu. Renas berhenti selama kurang lebih sepuluh menit, berpegangan pada sisi kanan kano. “How deep is it?” Sara bertanya, masih duduk di kano nya yang terdiam, sesekali terbawa arus. “20 metres I guess, do you wanna join me?” Renas mengambil jeda, menatap istrinya yang sangat cantik siang itu dibawah sinar matahari di tengah laut. “You’re in a bikini, come down now.”

Dengan tatapan itu, Renas memohon.

Dalam dua menit setelahnya, Sara masuk kedalam air, bergabung dengan suaminya. “Oh my god it’s extremely deep! It’s extremely deep! I can’t...” Sara tertawa lepas, sangat bahagia. Renas tepat didepan matanya, menjaga. “You’re alright…” Renas masih memandangi istrinya, dari mata hingga ke pinggang, memegangi lengan Sara. “You’re alright,” Renas meyakinkan.

Beberapa detik berlalu, Sara lebih tenang, memandangi mata suaminya yang berada sangat dekat dengan dirinya. Pernahkah sedekat ini? Renas memegangi lengan kiri Sara, menjaganya. “Do you wanna dive in?” Renas menggoda.

“No!” Sara berteriak, tertawa setelahnya. “I’m going back to the canoe, it’s too deep i can’t…”

Renas memotong dengan ciuman. Sara dengan cepat menyadari dan menutup matanya, mengikuti irama setiap detik nya. Sekali dan berhenti, Renas menatap Sara dalam-dalam. Kedua kali, panjang dan sangat tulus. Ciuman tepat di bibir, menggetarkan hati. “You’re alright now.” Suaranya begitu halus, begitu mencintai. Sara terdiam, menggilai pria didepan matanya itu.

Sesampainya di pulau seberang, mereka berdua berjalan jauh hingga kedalam, menyusuri karang-karang putih tulang yang masih liar, bakau yang berserakan, mencuat dari mana saja sejauh mata memandang hingga nampaklah pantai dengan laut berwarna turquois, gradasi warna yang indah. Pasir putih menghampar, kerang-kerang dan bebatuan berserakan, mereka berbaring di bibir pantai mengizinkan ombak membasuh tubuh. Tidak jarang air masuk ke hidung dan mulut, kemudian mereka tertawa lepas, masih berbaring.

Renas berbaring di sisi kiri Sara, memiringkan badannya untuk menatap istrinya, siku kanan nya menopang tubuhnya. “Do you wanna have my child?” Renas bertanya. “Again,” sambungnya.

Sara menatapnya terkejut.

“Renas…” Sara terdiam, masih menatap.

“When did the last time you take the pills?” Matanya membara, bersungguh-sungguh.

Sara benar-benar terkejut detik itu. Tidak mampu bernafas.

“Three days ago.” Sara menjauhkan kepalanya, takut dengan kejujuran yang baru saja ia katakan. Takut jika Renas akan marah. Tiga hari lalu berarti kemarin malam sudah tidak lagi…

“You didn’t take it last night?” Renas mempertegas.

“I didn’t.” Ketakutan Sara bertambah.

“Do you wanna bear my child again?”

Renas memandang istrinya penuh arti, menanti jawaban bagai seribu tahun menunggu. Berdebar, berharap.

“I do.” Sara dengan pelan menjawab, tersenyum tulus.

“Then don’t take it, ever again.”

Renas menatap mata Sara sangat dalam, selama beberapa detik terdiam, kemudian mencium Sara tepat di kening. Sangat tulus.

Mari bangun kembali

apa yang dulu hancur

Kini tidak akan kubiarkan lagi

Karena hidupnya

sungguh jauh lebih berharga

Hingga terlahir kedunia

Hingga tumbuh, kita mengawasi

Tidak akan lagi kubiarkan

hancur