WebNovelingatan62.50%

Kirana?

Kirana pov.

Aku dan Raka berjalan menelusuri, setiap sudut, setiap lorong, setiap kelas setiap tempat dari sekolah ini.

"Dan ini adalah tempat nongkrong favorit kita dulu. Biasanya setiap jam makan siang aku, kamu, dan juga Beni akan pergi ke sini" Aku sudah sampai di salah satu sudut paling dalam yang ada di sekolah ini. Ini adalah tempat rahasia yang tidak banyak orang tahu jalan masuknya. Biasanya hanya anak-anak IPA, yang sudah kelas 12 yang tahu. Jalan masuk dari tempat ini merupakan sebuah gang kecil yang sangat sempit. Gang itu terletak diantara kelas IPA 12 dan ruang tata usaha.

Sebenarnya ini bukanlah tempat yang benar-benar istimewa. Hanya sebuah taman kecil dengan satu meja yang terbuat dari keramik yang tengahnya berisi sebuah pohon besar. Di depannya terdapat bangku kayu tanpa sandaran berputar mengelilingi keramik itu. berbagai macam pot pot kecil yang diisi oleh berbagai tanaman hias menambah suasana asri di tempat itu. Memang tidak terlalu luas mungkin hanya sekitar 4 x 5 meter saja, tapi itu cukup nyaman untuk kami. Dan yang paling baik dari tempat ini adalah ini adalah tempat dengan keamanan paling rendah di sekolah karena temboknya mengarah langsung ke jalanan dan bahkan tidak dipagari.

jadi tak jarang saat aku, Raka, dan Beni sedang makan biasanya akan ada beberapa anak kelas 12 yang bolos sekolah lewat sini.

"Kamu ingat nggak Raka? Tempat ini menjadi saksi atas pertemanan, dan persahabatan yang kita lakukan."

Kini aku dan Raka sedang duduk di bangku kayu tersebut. Menikmati setiap angin yang berhembus.

"Sebenarnya, aku tidak begitu mengingatnya tapi aku kenal tempat ini. Ada perasaan hangat yang masuk dalam hatiku ketika aku disini" aku tersenyum mendengar perkataannya. Syukurlah, meskipun ia tidak mengingatnya tapi reaksi yang ditimbulkan dari otak dan hatinya itu menandakan sebuah kemajuan dan bahkan pada minggu pertama kita melakukan 'misi' ini.

"Raka" panggilku, membuat ia langsung menoleh padaku.

" Terimakasih"

"Hah?! Untuk apa?" Ia bertanya kebingungan.

"Karena kamu mau berusaha mengembalikan ingatanmu yang dulu."

Raka tersenyum mendengar perkataanku "ah tidak, seharusnya aku yang berterima kasih karena ana mau membantuku"

Ya Tuhan, Aku benar-benar merindukan senyum Raka yang itu. Sejak pertama kali aku menemui Raka kembali, banyak sekali perkataan yang menyakiti hatiku. Aku kecewa mendengar sekali dia mengatakan bahwa aku bukanlah siapa-siapanya. Tapi aku tahu, jika apa yang aku lakukan saat ini benar-benar berhasil. Maka aku benar-benar berharap apa yang aku rasakan terhadapnya, dan apa yang dulu dia rasakan terhadapku tidak juga hilang.

Sadarlah Raka cepatlah kembali jadi Raka yang dulu. Apakah kamu tahu? Aku rela menolak Dev hanya untuk kamu.

"Maaf, kapan kita akan pulang?" Pertanyaan Raka lantas membuyarkan lamunanku.

Kulihat langit juga sudah mulai berwarna kemerahan. Sunset sudah datang.

"Bagaimana jika....."

Kriut...kriut (anggap aja suara perut)

Perkataanku terpotong oleh suara putra Raka. Aku langsung tertawa keras ketika mendengarnya sementara Raka memegang perutnya dengan wajah bersemu merah menahan malu.

"Apakah kamu lapar?" Aku bertanya di sela-sela tawaku.

"Iya aku lapar. Sudahlah, berhenti menertawakan ku" Wajah Raka kini sudah benar-benar memerah, seperti tomat saja.

"Ah, iya iya. Maafkan aku, kamu lucu banget sihh" aku menatap nya gemas.

"Kalau begitu, ayo kita mencari makan"

Aku dan Raka lantas pergi meninggalkan sekolah. Tetapi, kita tidak keluar lewat gerbang, melainkan lewat dinding di tempat ini. Karena jika kami lewat gerbang, sudah pasti ada Pak satpam yang sudah berjaga diluar.

Aku dan Raka akhirnya melompati dinding itu. Awalnya Raka takut, ia bilang lebih baik izin dengan Pak satpam saja. Tapi aku menolak mentah-mentah idenya. 'apakah ia tidak tau, jika  Pak satpam itu sangat galak?' . Batin ku.

Setelah dari sekolah, aku dan Raka pergi makan bakso langganan ku dulu waktu SMA.

Namanya Karyo, tapi aku biasa memanggilnya mas Karyo. Pria Jawa yang kini makin berusia sekitar 40 tahunan. Sejak SMA aku suka sekali membeli bakso dari dia.

Awalnya aku takut ia tidak berjualan hari ini, karena biasanya Aku, Raka, dan Beni, makan bakso ini sepulang sekolah atau saat-saat jam makan siang. Kami lebih memilih bakso mas Karyo karena di kantin tidak ada bakso yang seenak buatan beliau.

Tapi beruntung, akhirnya aku menemukan ia tak jauh dari sekolah. Kulihat mat semuanya masih sama warna gerobak merah yang kini sudah hampir memudar 2 buah bangku kayu yang saling berhadapan dengan meja panjang di tengahnya. Sekilas juga tidak ada yang berubah darinya, mas Karyo masih terlihat sama, masih ramah, penyabar, dan menyenangkan. Mungkin hanya usianya saja yang kini mulai menua.

"Halo mas" sapaku. Kebetulan saat itu sedang sepi, tidak ada pelanggan yang datang. Jadi aku dan Raka langsung duduk manis di kursi panjang itu.

Mas Karyo yang menatapku dengan wajah yang penuh tanda tanya. Sampai akhirnya ia tersenyum dengan lebar.

"Wah, kalo ndak salah ini mbak Kirana to?" aku mengangguk membenarkan perkataannya.

Sejak dulu, logat Jawanya tidak pernah hilang dari dirinya. padahal bertahun-tahun ia tinggal di kota Bogor tapi masih saja memakai bahasa ibunya.

"Wah, udah lama saya ndak ngeliat mbak Kirana. Sudah besar ya. Senang betul saya. Wong udah lama mbaknya ga kesini ya toh?" Ia sibuk berbicara, seraya menyiapkan 2 mangkuk bakso untuk kami berdua.

"Iya mas, saya sibuk bekerja" ucapku.

"Kerja apa toh mbak?" Ia menoleh ke arah aku dan Raka, sementara tangannya masih sibuk memgaduk-aduk kuah bakso.

"Saya sudah jadi Dokter mas" aku tersenyum. Mata Mas Karyo terlihat berbinar.

"Hebat ya mbak nya"

Aku menggaruk kepala ku yang tidak gatal, tersipu mendengar pujiannya "Ah biasa saja mas"

Aku tak sadar jika Raka sedang menatap aku dan Mas Karyo. Astaga, aku sampai lupa jika ia ada di samping ku.

"Ah maaf Raka" ucapku.

"Mas Karyo, mas ingat tidak sama Raka? Itu anak laki-laki yang selalu sama saya" aku memperkenalkan Raka.

"Loh ini mas Raka ya?" Mas Karyo menunjukkan ke arah Raka.

"Iya mas, ingat ga?" Aku kembali bertanya.

Wajah mas Karyo lantas ceria. Ia tersenyum lebar ke arah Raka. "Oh mas Raka, wong saya pikir, kaya kenal sama ini anak. Ternyata mas Raka toh? Apa kabar mas?"

"Ba...baik" Raka menjawab dengan Ragu.

"Sudah pada besar ya, sudah pada sukses" mas Karyo melihat kami berdua berganti an, sambil memberikan 2 porsi bakso.

"Makasih" ucapku, ia mengangguk dan bersiap melayani pelanggan yang baru saja datang.

Akhirnya aku dan Raka makan dengan tenang.

"Ini enak banget" Raka menatap bakso itu nanar. Aku tertawa melihatnya.

"Enak kan? Memang bakso mas Karyo ga pernah berubah. Selalu dihati. Ia kan mas?" Aku meminta persetujuan dan mas Karyo mengangguk senang.

:::

Malam sudah datang beberapa jam yang lalu, setelah makan bakso aku dan Raka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Tapi sebelum itu aku Dan Raka harus kembali terlebih dahulu ke rumah sakit. Untuk mengambil kendaraan Raka.

"Raka, kamu sudah mulai bekerja kan Minggu besok?" Tanyaku, saat kami sudah berada di lahan parkir rumah sakit.

Raka mengangguk "iya, aku sudah mulai bekerja"

"Ah baiklah, berarti kita harus memanfaatkan waktu satu minggu ini. Apakah kamu tidak keberatan?"

Raka berfikir sejenak lalu mengangguk pasti " tidak, asalkan itu bisa membantu ku. Kapanpun aku siap"

"Baiklah sampai jumpa esok" aku bersiap menaiki taxi yang sudah aku pesan.

"Tunggu" aku yang hendak membuka pintu langsung terhenti.

"Ada apa?" Tanyaku.

"Terimakasih ya Kirana" Raka tersenyum lebar ke arahku. Sementara wajahku bersemu merah.

'apakah ia baru saja memanggil ku Kirana?' batinku.