Malam ini Gavin memesan makanan dari restoran langganannya untuk makan malam. Ia memesan beef steak. Gavin memesan dua porsi untuknya dan Rhea.
Atmosfer di ruang makan itu terasa begitu canggung. Dua-duanya melahap makanan masing-masing tanpa bersuara. Sebelumnya, Gavin hanya mengajak Rhea makan denga kata-kata singkat dan datar.
Gavin mengamati cara Rhea memakan makanannya. Ia lambat sekali dalam memotong steak dan mengunyahnya. Ia hanya mengambil sedikit daging steak lalu mengunyah pelan. Di mata Gavin, Rhea tidak terlihat menikmati makanannya. Ia menduga badan Rhea kurus karena sedikit makan.
Rhea mengangkat wajahnya dan melirik Gavin sekilas. Gavin yang tengah memperhatikannya pun salah tingkat karena kepergok tengah menatap gadis berperawakan mungil itu. Segera Gavin mengalihkan pandangannya pada steak di hadapannya.
Rhea merasa tak enak sendiri. Ia selalu bertanya-tanya kenapa terkadang Gavin menatapnya tajam dengan raut wajah yang dingin. Apa ada yang salah dengannya? Apa ada yang salah dengan cara berpakaiannya atau dengan caranya makan?
Seusai makan, Gavin meletakkan piring dan gelasnta di wastafel. Rhea terkejut saat air kran mengucur dan Gavin mencuci piring sendiri. Ia tak menyangka, CEOI yang dingin dan tampak gahar itu berinisiatif mencuci piring sendiri. Ia pikir, mungkin Gavin memang terbiasa mengerjakan semua sendiri karena sebelum menikah, ia tinggal sendiri di apartemen.
Rhea menyudahi makannya. Ia beranjak dan membawa piringnya untuk dicuci. Saat ia membambalikkan badan, Gavin melangkah dari arah berlawanan.
Tanpa sengaja, mereka bertabrakan hingga piring dalam genggaman Rhea terpelanting dan pecah berkeping-keping.
Gavin menggeleng, "Astaga... Kamu ini punya tenaga, nggk, sih? Bawa satu piring aja nggk bisa. Makanya makan yang banyam, biar bertenaga dan nggk lemah. Kesenggol dikit aja, piringnya jatuh." Nada bicara Gavin lagi-lagi terdengar sewot.
Rhea cemas dan merasa bersalah karena kurang berhati-hati. Matanya berkaca. Jika saja ia tak membendungnya kuat-kuat, mungkin saja air mata itu sudah lolos.
"Maaf... Aku akan menggantu piringnya." Balas Rhea terbata. Tangannya gemetaran. Jari-jari itu kembali untuk menetralkan kecemasan yang mengacaukan konsentrasunya.
"menggantinya pakai apa? Ayahmu bangkrut. Honor menulismu juga belum tentu bisa mengganti. Aku tidak akan memintamu mengganti piring ini. Sekalipun aku sudah transfer uang ke rekeningmu sebagai uang nafkah dariku, tapi aku nggk mau kamu pakai uang itu untuk membeli piring. Lebih baik kamu pakai buat beli baju yang bagus dan tidak kuno." Gavin menelisik pakaian yang dikenakan Rhea. Ia mengenakan swaeter rajut, lagi-lagi kedodoran. Sweater itu dipadu dengan celana panjang.
Rhea mengamati pakaian yang ia kenakan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa model bajunya kunoo? Rhea lebih suka mengenakan pakaian longgar. Satu hal lagi yang ia pikirkan, Gavin mentransfer uang ke rekeningnya? Rhra belum mengeceknya.
Rhea memungut salah satu pecahan piring. Jari telunjuk kanannya tertusum pecahan piring hingga berdarah.
"Auuu..." Rhea memekik, menahan perih.
"Astaga, kamu ini ceroboh banget. Namanya memungut pecahan piring itu jangan pakai tangan kosong." Gavin mengambil satu kotak obat-obatan untuk luka. Ada plester, perban, alkohol, dan obat cair untuk luka. Ia letakkan di meja.
"Obati sendiri lukamu!" Perintah Gavin dingin.
Rhea beranjak. Ia mengambil kotak obat itu lalu duduk untuk mengobati lukanya. Gavin mengambil sapu dan cikrak untuk membersihkan pecahan piring itu.
Rhea terpekur mengamati Gavin membersihkan pecahan piring yang berceceran di lantai. Rasa bersalah menyusup. Ia tak bermaksud merepotkan Gavin. Rhea membalut jarinya yang dibersihkan dengan alkohol dan dioleskan obat luka.
Gavin menyalakan televisi. Rhea sholat isya dikamar. Sesuai menjalankan kewajiban sholatnya, rhea memohon doa agar diberi kekuatan menghadapi segala ujian, termasuk ujian rumah tangga, diawal pernikahan dia sudah merasakan sakit. Terkadang tercetus dalam pikiran bahwa ia akan meminta cerai pada Gavin. Namun ini masih terlalu awal. Entah kenapa,melihat Gavin mengambil kotak obat dan membersihkan pecahan piring, ia yakin jika dihati laki laki itu masih ada rasa setitik rasa peduli.
Rhea sebenarnya tak ingin menjadi bagian dari barisan wanita yang cengeng dan berharap ada keajaiban dalam rumah tangga. Dia tak ingin terlalu berharap Gavin berubah menjadi suami yang baik. Dia tak ingin terluka. Kendati pernikahan yang ia jalani adalah pernikahan tanpa cinta, tapi ia menginginkan ketenangan dan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Ia bunuh rasa trauma akan pernikahan yang telah mengakar kuat sejak ayah dan ibunya bercerai. Ia padamkan kekuatannya pada laki laki asing atau tak dikenal baik. Ia hempaskan segala egonya. Ia bahkan tak memikirkan kebahagiakannya sendiri. Ia hanya ingin pernikahan baik baik saja meski tanpa cinta. Ia ingin melihat ayahnya bahagia dan tenang jarena sang putri hidup berkecukupan dan menjadi bagian keluarga Andre. Ia hanya mebginginkan ayah nya merasa tenang dan lega kelak anak cucunya masih bisa Menikmati hasil dari perusahaan yang kini diambil oleh ayah mertuanya.
Rhea merapikan mukena dan sajadah. Selanjutnya ia mendekat kelemari. Ia tatap tumpukan bajunya. Matanya menelisik pada berapa gaun termasuk gaun tidur elegan yang tergantung dilemari. Ia mendapatkan baju baju itu dari keluarga Andre. Baju baju branded yang ia tahu harganya tak murah.
Rhea berpikir sejenak, haruskan ia mengenakan salah satu dari gaun gaun itu agar tidak lagi dikatakan kuno oleh Gavin? Sosok gadis yang tadi sore berciuman dengan Gavin melintas di benak. Wanita itu mengenakan dress seksi. Dengan rok pendek diatas lutut dan kerah yang cukup rendah hingga memperlihatkan belahan dadanya.
Rhea tak pernah menggunakan gaun gaun se seksi itu. Malam ini ia coba, mengenakannya agar terlihat lebih menarik di depan Gavin. Semua ini ia lakukan semata untuk memperbaiki hubungannya dengan Gavin yang begitu dingin. Ia gadis polos, tapi tak terlalu naif untuk tahu apa yang Diinginkan laki laki dari seorang perempuan apalagi status yang sudah halal. Menikah tanpa cinta itu mungkin terjadi, tapi menikah tanpa seks rasanya terlalu aneh untuknya. Ia hanya berpikir sederhana tentang riwayat kehidupan manusia, dari bayi lalu tumbuh menjadi anak anak, kemudian tumbuh menjadi dewasa, menikah, dan setelah menikah ada bayi terlahir. Bayi itu ada karena sepasang suami istri melakukan hubungan suami istri. Karena itu, ia merasa pernikahan yang ia jalani tak hanya tanpa cinta tali juga janggal. Gavin belum sekalipun menyentuhnya.
Sungguh ia bukan haus belaian atau menggebu ingin disentuh suaminya, ia hanya ingin menjalani pernikahan yang normal, layaknya pernikahan yang dijalani banyak orang setelah menikah mereka akan memperoleh keturunan.
Rhea mengganti bajunya dengan gaun tidur yang cukup seksi dan elegan. Roknya pendek,memaparkan paha kecilnya yang cukup mulus, kerah yang agak rendah Memperlihatkan belahan dadanya. Ia tahu ia tak seseksi perempuan yang tadi sore dibawa Gavin ke apartemenya, tapi ia berusaha memperbaiki penampilannya.
Sebenarnya ia sangat sungkan dan tak nyaman dengan pakain yang ia kenakan. Namun ia menepis segala rasa malu dan sungkanya. Ia sudab sah menjadi istri Gavin. Tak nasalah untuknya berpenampilan seksi di depan Gavin.
Rhea memberanikan diri keluar kamar dan duduk diruang tengah, menemani Gavin. Ia duduk di sofa satunya. Awalnya Gavin tak merespon. Melihat Rhea saja ia tak sudi. Akan tetapi setelah melirik sang istri yang duduk anteng, ia terkejut bukan main. Namun ia tak menunjukan keterkejutannya didepan gadis itu. Ia berlagak biasa aja meski ia cukup penasaran melirik gadis itu sekali lagi.
*****