WebNovel5 Prince70.00%

7. Castle

Mata itu terbuka dengan cepat. Deru napasnya tak beraturan dan keringat mulai bercucuran membasahi wajah cantiknya.

"Mimpi itu lagi." gumam Dyeza seraya mengusap keningnya yang berkeringat. Matanya melirik sekilas jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 4.16 PM.

Terakhir yang ia ingat yaitu ia jatuh pingsan di perpustakaan. Apakah Eyden yang membawanya kesini?

"Benar! Eyden yang membawamu kesini!"

Hingga sebuah suara yang familiar di telinganya membuatnya langsung menoleh ke sumber suara.

Tepat disana, berdiri Zarel yang menyenderkan punggungnya di pintu dengan tangan yang dilipat di dada. Rambutnya acak-acakan akibat frustasi ketika sudah lebih dari 3 jam istrinya belum sadar. Tadi ia berniat berkunjung ke apartemen Dyeza guna membujuk istrinya itu agar membatalkan keinginannya kemarin. Tapi yang ia dapat malah Dyeza yang tak sadarkan diri dengan Eyden yang tengah mengobatinya.

"Terus dimana dia? Kenapa malah jadi kau yang ada disini?" Dyeza bertanya dengan raut wajah tak suka.

"Kenapa? Kau tidak suka aku ada disini?"ucap Zarel tersinggung, lalu perlahan mendekat ke ranjang Dyeza.

Dyeza hanya mengangguk polos dan mulai sedikit menjauh saat jarak antara Zarel dengan dirinya mulai tak lagi jauh.

Senyuman tipis terukir di wajah Zarel. Emosinya mulai menguap begitu saja saat melihat tingkah polos Dyeza," Kau lucu sekali!" ucapnya yang kini sudah duduk di pinggir ranjang. Dan sontak membuat Dyeza mulai menjauh.

Zarel mendekat, Dyeza menjauh, Zarel mendekat lagi, Dyeza pun juga menjauh lagi. Begitu seterusnya sampai akhirnya Zarel merasa kesal dan merengkuh pinggang Dyeza agar mendekat padanya.

"Kenapa kau tak bilang jika selama ini kau sering dibully, hm?" Zarel berbisik lembut ke telinga Dyeza dan terkadang meniupnya pelan. Dan hal itu membuat bulu kuduk Dyeza meremang dan merasakan darahnya berdesir.

Tapi darimana Zarel tahu kalau tadi ia dibully? Apa jangan-jangan Eyden yang memberitahunya?

"Tepat sekali!" sahut Zarel seraya menjentikkan jari tepat di depan wajah Dyeza.

"Kenapa kau suka sekali membaca pikiranku?!" geram Dyeza dengan tangan yang mencoba melepas kedua tangan Zarel yang membelit pinggangnya. Tapi tetap saja tenaga perempuan akan kalah dengan tenaga seorang lelaki.

Zarel mengernyit heran,"Kenapa? Inikan memang kekuatanku."

"Tapi itu tidak sopan!" gerutu Dyeza. Tapi kalau begitu berarti keempat saudara Zarel bisa membaca pikiran semua? Secarakan mereka adalah seorang penyihir?

"Tidak! Hanya aku saja yang bisa melakukannya."Zarel tersenyum bangga seraya menepuk dada kirinya dan kontan saja membuat Dyeza mendengus. "Bahkan aku bisa membuatmu mematuhi perintahku!"

"Apa?!"

Zarel terkekeh geli."Wajahmu tolong biasa saja. Aku tahu kalau aku memang sangat hebat." tuturnya menyombongkan diri. Dan Dyeza hanya bisa mendengus.

"Aku punya satu pertanyaan untukmu!" ucap Zarel tiba-tiba.

Walaupun tengah kesal, Dyeza tetap menjawab."Apa?"

Zarel berdehem sekilas,"Menurutmu di antara kami siapa yang paling tampan?" tanyanya kemudian.

Dyeza terdiam. Kelima pangeran memang memiliki wajah yang rupawan, tapi entah kenapa ketampanan Asrein terlihat lebih menonjol daripada yang lain.

"Sudah kuduga kau akan memilih Asrein," Lagi-lagi Zarel membaca pikiran Dyeza, “Tapi kalau masalah kepribadian, akulah yang paling baik!"

Mulut Dyeza terbuka hendak melayangkan protes, tapi sebelum itu tangan Zarel sudah terlebih dahulu membungkam bibirnya.

"Protesnya nanti saja! Aku harus segera kembali ke kerajaan." ujar Zarel setelah melepaskan tangannya. Kemudian ia beranjak dari ranjang dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. "Kau mau ikut?" tawarnya.

Dyeza menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa ia tidak mau ikut. Tapi sepertinya Zarel malah kekeuh membujuknya supaya ikut.

"Ayolah! Aku jamin kau tak akan menyesal jika ikut bersamaku!" bujuk Zarel seraya mendekat dan memegang kedua bahu Dyeza.

Tak tega melihat sorot mata Zarel yang memancarkan permohonan, akhirnya dengan berat hati Dyeza menganggukkan kepalanya pelan.

Zarel tersenyum puas seraya mengacak-acak rambut Dyeza sebelum merapalkan sebuah mantera dan tak lama kemudian muncul sebuah portal menuju dimensi lain. "Ayo!" Zarel mengulurkan tangannya dan disambut ragu-ragu oleh Dyeza. Kemudian mereka berjalan memasuki portal.

Dyeza memejamkan matanya saat tubuhnya serasa ditarik keras oleh pusaran angin. Dan reflek ia langsung memeluk Zarel dengan sangat erat.

Sedangkan Zarel, ia juga memeluk Dyeza guna untuk menenangkannya. Tapi bukan Zarel namanya kalau tidak mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebelah tangannya menyelusup masuk ke balik baju yang dikenakan oleh Dyeza lalu kemudian mengelus-elus punggung mulus milik istrinya. Kata manusia dibumi, ini itu namanya 'modus', tapi menurutnya ini itu adalah 'rezeki' dan ia tak akan melewatkannya begitu saja!

Dyeza masih memejamkan matanya. Hingga ia mulai merasa sudah tidak ada lagi pusaran angin yang menariknya ,melainkan sapuan halus dibalik punggungnya. Matanya terbuka seketika, dan kontan ia melepas tangannya dari pinggang Zarel dan menjaga jarak beberapa meter. Ia mendongak dan berniat memaki Zarel akibat perbuatannya. Tapi mulutnya langsung menganga saat melihat wajah Zarel dan juga penampilan Zarel yang berubah.

Rambut Zarel tidak lagi hanya berwarna hitam, melainkan berubah menjadi hitam keabu-abuan. Pakaiannya memang tidak berubah, tapi sebuah topeng menutupi sebagian wajahnya.

"Zarel?" tanya Dyeza berusaha memastikan kalau lelaki di depannya ini adalah lelaki mesum yang sama seperti tadi.

Tampan. Ralat, sangat tampan.

Zarel terlihat semakin tampan dan juga sedikit errr cantik? Saat memakai jubah. Di dunia manusia memang kelima pangeran mengenakan pakaian manusia pada umumnya, mungkin untuk menyesuaikan diri.

"Mengagumiku, hm?"

Spontan Dyeza menundukkan kepalanya karena tertangkap basah sedang mengagumi Zarel.

“Hahaha, santai saja. Sudah biasa aku mendapat tatapan kagum akibat wajahku yang tampan dan juga mempesona!” Zarel terkekeh ringan.

Dyeza hanya memutar bola mata jengah. Tidak percaya kalau ternyata ada pangeran over percaya diri seperti ini.

"Ayo kita masuk!" ajak Zarel seraya menarik tangan Dyeza agar mengikuti langkahnya.

Dyeza juga baru tersadar bahwa sedari tadi ia dan Zarel sedang berdiri didepan pintu gerbang utama kerajaan.

"Hormat kami pangeran Zarel dan tuan puteri Dyeza!"

Seruan para pengawal yang menjaga gerbang menjadi sambutan bagi mereka. Tapi Zarel hanya mengangguk pelan, sedangkan Dyeza malah kebingungan karena darimana penjaga bisa tahu namanya? Bukankah ia baru pertama kali kesini?

Pintu gerbang mulai terbuka, dan pemandangan yang indah langsung terlihat di mata Dyeza. Di depan matanya, berdiri sebuah castle besar bergaya klasik dengan jalan terbuat dari batu marmer yang mengarah langsung ke pintu utama castle.

Di samping kanan jalan, terdapat sebuah kolam ikan yang sangat besar dengan air terjun yang langsung meluncur bebas ke dalam kolam.

Sedangkan di samping kiri jalan terdapat sebuah patung besar berlapis emas yang membentuk lambang kerajaan Ethernichius. Patung ini mengambang dari atas tanah dan berputar-putar di udara dengan perlahan.

Zarel terus menarik Dyeza hingga sampai di depan pintu utama castle, dan lagi-lagi suara penjaga menyambut mereka berdua.

Pintu utama dibuka, dan rahang Dyeza tak bisa untuk tidak jatuh kebawah. Pemandangan di depannya benar-benar menakjubkan!

Dinding-dinding bercat kuning kecoklatan dengan permata di setiap pinggirannya. Pilar-pilar yang mengambang dari atas lantai yang juga bercat kuning kecoklatan, bedanya di setiap ujung pilar terdapat batu rubi yang sangat langka. Perabotan disini juga tidak ada yang tidak berlapis emas. Luas ruangan ini pun sangat ia yakini berkali-kali lipat luasnya daripada apartemen paling mahal di negaranya.

"Aku tahu kalau castle-ku memang bagus! Tapi bisakah kau masuk sekarang? Aku sudah bosan menunggumu disini!" sungut Zarel yang sudah berada di dalam sebuah ruangan.

Dyeza tersentak dari lamunannya. Ia bahkan tak sadar kalau ia masih berdiri diluar ruangan, sedangkan Zarel sudah masuk kedalam sebuah kamar. Buru-buru ia masuk ke dalam dan berdiri di sebelah Zarel.

"Mulai sekarang ini adalah kamarmu!" ucap Zarel dan membuat Dyeza melebarkan matanya.

Apa ia tidak salah dengar? Kamar ini terlalu luas dan juga sangat mewah untuknya!

"Apa ini tidak berlebihan?" tanya Dyeza seraya memandang ke sekitar. "Lagipula aku kan tidak akan tinggal disini selamanya."

Zarel menghela napas, “Sekarang memang tidak, tapi suatu saat nanti!" kemudian ia menepuk tangannya 2 kali, dan di balik pintu langsung muncul 2 orang pelayan yang masing-masing membawa jubah mandi dan juga nampan berisi makanan.

Kedua pelayan membungkuk hormat saat tepat di hadapan Zarel dan Dyeza,"Hormat kami Pangeran Zarel dan Tuan Puteri Dyeza."

Zarel hanya berdehem sekilas untuk menjawab. Kemudian ia menoleh ke arah Dyeza,"Mereka akan melayanimu! Akan kutunggu kau diruang utama nanti! Sampai jumpa!"

Belum sempat Dyeza menjawab, Zarel sudah menghilang terlebih dahulu. Huh, enak sekali jadi penyihir! Bisa menghilang dan muncul dengan seenaknya! Gerutu Dyeza di dalam hati.

"Maaf tuan puteri, sebaiknya anda makan terlebih dahulu."

••••••

Di sebuah tanah lapang, tepatnya di bawah pohon mahoni, terlihat seorang lelaki berambut hijau kebiruan yang tengah bertengkar dengan seekor anjing kecil. Masalahnya hanya karena si anjing tidak sengaja menginjak istana terbuat dari tanah milik si lelaki tersebut.

"Berani sekali kau merusak istanaku dengan Dyeza kelak! Memangnya kau siapa, hah?!" omel Asrein seraya berkacak pinggang dan menatap nyalang si anjing yang terus menggonggong.

"Apa? Kau berani melawanku, huh?!" teriak Asrein saat si anjing menatapnya seolah menantang. "Untung saja kau adalah anjing milik Eyden! Kalau tidak..." Asrein mengacungkan tangannya yang mengepal ke depan si anjing. "Pergi sana! Dasar anjing tak berguna!!"

Bukannya pergi, si anjing jenis husky itu malah berlari memutari tubuh Asrein seraya menggonggong.

"Mau apa lagi kau?! Huh, menyebalkan sekali!!" geram Asrein. "Eyden, bawa anjing bodohmu ini dari hadapanku!!" teriak Asrein kepada Eyden yang tengah berbaring di gazebo dekat pohon.

Tanpa membuka matanya, tangan Eyden mengarah ke samping dan mengisyaratkan anjingnya agar mendekat.

Si anjing menurut lalu berlari menghampiri Eyden dan melompat ke atas gazebo lantas memposisikan dirinya di sebelah sang pemilik.

"Anjing sama pemiliknya sama saja!" gerutu Asrein.

Eyden yang pendengarannya sangat tajam langsung menoleh dingin ke arah Asrein.

"APA?!" bentak Asrein kemudian melihat istana buatannya yang sudah rata dengan tanah. "Aku harus membuatnya dari awal lagi!" keluhnya kemudian.

Jemari Asrein mengambil beberapa gumpal tanah di sekitarnya dan mulai membentuk sebuah istana kecil tanpa memedulikan tangannya yang kotor akibat ulahnya itu.

Hachih!

Debu yang berasal dari tanah berhasil membuat Asrein bersin dan reflek menutup mulutnya dengan tangan. Alhasil, wajah Asrein pun kini belepotan dengan tanah. Namun lelaki itu tetap tersenyum bahagia sembari memandang istana buatannya yang kini sudah hampir jadi.

"Hello everybody. Pangeran tampan coming!”

Kepala Asrein spontan menoleh ke asal suara dan langsung mendengus saat mendapati Zarel yang datang mendekat. Sedangkan Eyden, dia masih dengan posisi tidurnya tanpa memedulikan kedatangan Zarel.

“Mau apa kau kemari?” tanya Asrein tanpa mengalihkan pandangannya dari istana yang tengah ia buat. Tangannya menyeka keringat yang muncul dari keningnya dan akhirnya harus membuat wajahnya kotor lagi.

Para pengawal yang tengah bertugas hanya memandang lurus ke depan dan mengabaikan tingkah childish Asrein. Pangeran mereka memang seperti itu, dan hal seperti itu sudah biasa terjadi. Jadi mereka tidak heran dan lebih memilih untuk diam daripada harus kehilangan kepala mereka.

“Aku membawa sebuah kejutan untuk kalian!” tukas Zarel kemudian melirik ke bawah saat anjing Eyden sedang bermanja-manja di kakinya.

“Kejutan apa?” Mata Asrein menatap penuh selidik ke arah Zarel.

“Mau tahu saja atau mau tahu banget?” Zarel malah menggoda.

Wajah Asrein mendadak flat seketika. Tangannya yang memegang tanah kontan mengepal kuat dan hendak memukul wajah bodoh Zarel jikalau saja ia tak mengingat bahwa Zarel adalah kakaknya.

Zarel terkekeh lalu mengibaskan tangannya, “Jangan marah, nanti kau bisa cepat tua. Jika kau penasaran, pergilah ke ruang pertemuan!”

Zarel pun berbalik dan langsung melesat pergi sambil terkikik setelah berhasil menginjak istana buatan Asrein hingga hancur lebur menyatu dengan tanah.

“ZAREEEEEEEEEEEELLL!!”

•••••

"Aduh!" Dyeza mengaduh kesakitan saat jarinya tidak sengaja tergores oleh hiasan bunga di tusuk rambut yang ternyata sangat tajam.

Kedua pelayan yang sedang merias wajah Dyeza langsung panik saat melihat cairan merah kental mengalir dari jari calon ratu mereka kelak. "Maaf tuan puteri, saya akan panggilkan Tabib Han!" ucap seorang pelayan yang tadinya merias rambutnya. Pelayan itu pergi dan menghilang di balik pintu.

Sedangkan pelayan satunya lagi, dengan segera mengambil air hangat untuk mengompresnya. Sempat terbersit rasa takut apabila salah satu dari pangeran mengetahuinya, karena bisa dipastikan kepala mereka akan menjadi taruhannya.

Dyeza yang tadinya duduk di atas kursi meja rias, langsung berdiri dari tempatnya dan berjalan ke peraduan. Jubah berwarna ungu terang yang ia pakai memang sedikit menyulitkannya waktu berjalan.

Tak lama kemudian muncul pelayan tadi sambil membawa semangkok air hangat, dan kebetulan dari balik pintu muncul pelayan yang satunya bersama seorang lelaki berparas tampan yang berpakaian serba putih dengan bagian kerah berwarna biru gelap.

"Hormat hamba tuan puteri." Lelaki itu sedikit membungkuk lalu kemudian mendekatinya, "Hamba Tabib Han. Izinkan hamba untuk mengobati luka tuan puteri." Ujarnya sopan.

"Tidak perlu. Ini hanya luka kecil." tolak Dyeza walaupun luka ini lumayan perih juga.

"Maaf tuan puteri! Tolong izinkan hamba untuk mengobati tuan puteri jika tuan puteri masih ingin melihat kami besok." ujar tabib Han seraya mengeluarkan sebuah salep dari balik kantong bajunya. "Basuh dengan air hangat terlebih dahulu!" perintahnya kemudian kepada pelayan.

Si pelayan menurut dan mulai membasuh jari Dyeza dengan air hangat.

Setelah selesai, tabib Han mulai duduk di tepi peraduan dan mengoleskan salep di jari Dyeza yang terluka. Dan ajaibnya sedetik kemudian lukanya langsung hilang tak berbekas.

Dyeza terperangah melihat hal itu. Ia menggosok-gosok jarinya dan seperti tidak pernah ada luka sekecilpun. Dunia sihir memang luar biasa!

"Hm, Tabib Han. Bolehkan saya meminta dua atau tiga salep?"

Dyeza bersorak di hati ketika Tabib Han menganggukkan kepalanya. Dengan begini ia tidak perlu risau saat Eannza membullynya secara fisik.

Namun tanpa mereka sadari, seseorang tengah mengintip mereka lewat celah jendela dengan mata berkilat marah dan juga rahang yang mengeras.

••••••

Suara gemerincing gelang kaki seorang gadis mendominasi di salah satu koridor istana. Terdapat dua pelayan dan penjaga yang mengekornya di belakang. Para penjaga yang lewat ataupun sedang bertugas selalu membungkuk hormat kepada sang gadis, dan tampaknya sang gadis terlihat kurang nyaman akan hal itu.

Dyeza menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi kegugupannya. Hari ini ia akan bertemu dengan sang raja, dan ia harus bersikap sopan layaknya seorang puteri. Ia tersenyum kecut saat menyadari bahwa di dunia manusia ia bagaikan upik abu, tapi di sini malah sebaliknya.

Lamunan Dyeza terbuyar saat indera pendengarannya menangkap suara suling yang sangat merdu. Langkahnya terhenti, dan otomatis pelayan dan penjaga di belakangnya juga ikut berhenti. Ia mengedarkan pandangannya sekeliling, dan manik matanya terfokus kepada seseorang yang sangat familiar baginya tengah bermain suling didekat taman bunga.

"Yezra?"

Tapi kenapa matanya berwarna merah?

Walaupun hanya gumaman, namun Yezra tetap dapat mendengarnya. Ia menoleh ke sumber suara dan langsung tersenyum tipis saat mendapati istrinya yang tengah menatapnya bingung. Ia memejamkan matanya sebentar.

Tak lama kemudian mata Yezra terbuka dan mata merahnya sudah berubah menjadi hitam kembali. Ia berjalan mendekat ke Dyeza setelah meletakkan sulingnya di kantong jubahnya.

Dyeza yang melihat hal itu langsung tersentak kaget. Bagaimana mungkinm? Tadi ia yakin mata Yezra berwarna merah, kenapa sekarang jadi berwarna hitam?

"Aku sudah menunggumu! Ayo!" Yezra menarik tangan Dyeza dan membawanya melangkah kembali.

Ragu-ragu Dyeza melirik ke samping untuk melihat wajah Yezra, dan matanya masih berwarna hitam. Tapi ia sangat yakin bahwa mata Yezra tadi berwarna merah! "Matamu?"

Yezra langsung menoleh dan menghela napas pelan ,"Kau melihatnya?" Dyeza mengangguk pelan, "Susah untuk dijelaskan!"

Mengernyit, Dyeza bertanya "Maksudnya?"

"Besok akan kujelaskan!” ucap yezra dan di oleh anggukan dari Dyeza.

Dyeza hendak berkata sesuatu, tapi ia urungkan saat mereka sudah sampai di ruang utama.

"PERHATIAN! PANGERAN YEZRA DAN TUAN PUTERI DYEZA MEMASUKI RUANGAN!"

Suara penjaga di depan pintu yang mengabarkan kedatangan Yezra dan Dyeza terdengar nyaring sampai ke penjuru ruangan.

Dyeza memegang tangan Yezra erat guna untuk mengurangi kegugupannya. Ia dan Yezra mulai berjalan mendekat ke singgasana.

Di depan sana, tepatnya di atas singgasana, duduk sang raja yang melemparkan senyum hangat. Di samping kanan singgasana terdapat 6 buah kursi yang di duduki oleh 3 pangeran, dan menyisakan 3 kursi yang kosong. Sedangkan di samping kiri terdapat 4 buah buah kursi yang diduduki oleh 3 orang, dan otomatis menyisakan 1 kursi kosong.

"Hormat kami yang mulia!" Dyeza dan Yezra serempak membungkuk hormat saat di depan Raja Varlsyien.

"Duduklah!" Dengan segera mereka duduk setelah mendapatkan perintah.

Dyeza berdehem sekilas karena bingung harus duduk di sebelah mana. Dikursi paling pojok, Dreynan memberi isyarat dengan dagunya agar ia duduk di sebelahnya. Ia pun langsung mengerti dan berjalan pelan kemudian duduk di samping Dreynan.

"Selamat datang kembali di kerajaan kami, nak.”

Kebingungan langsung melanda Dyeza saat raja Varlsyien selesai mengucapkan hal itu. Apa ia pernah datang kesini? Seingatnya ia baru pertama kali kesini.

"Kau tentunya lupa dengan mereka bertiga bukan?" tanya raja Varlsyien seraya menunjuk ketiga lelaki di depan Dyeza dengan dagunya.

Dyeza hanya tersenyum kikuk dalam menanggapinya. Jujur ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

"Dia Jendral besar Grayson!" tunjuk sang raja kepada lelaki berwajah datar yang mengenakan baju perang.

"Hormat hamba tuan puteri!" ucap Jendral besar Grayson dengan sedikit menundukkan kepalanya.

"Sedangkan dia adalah panglima Lyano!" Kali ini raja Varlsyien menunjuk seorang lelaki berjubah hijau dengan pedang yang disarungkan ke pinggang.

"Salam tuan puteri!" Sama seperti si jendral besar, Panglima Lyano yang terlihat lebih muda juga menundukkan kepalanya.

"Dan yan terakhir, dia adalah Pangeran Hrym." tunjuk sang raja kepada seorang lelaki tampan berjubah biru yang sebelah matanya tertutup oleh eyepatch, "Putera dari mendiang selir Hwan."

Bulu kuduk Dyeza merinding saat melihat seringaian misterius terpatri dengan jelas di wajah pangeran Hrym. Firasatnya mengatakan kalau pangeran Hrym bukanlah pria baik-baik.

"Hormat hamba tuan puteri!" ucap Rhym dengan seringaian yang masih setia di wajahnya. Matanya menatap intens ke arah Dyeza dengan aura negatif.

Dyeza yang menyadarinya hanya bisa menggenggam erat tangan Yezra yang sedang duduk tenang. Kepalanya langsung menoleh ke samping saat tangannya yang lain digenggam erat oleh Dreynan. Ia hanya tersenyum paksa untuk membalas Dreynan yang tersenyum manis padanya. Dan langsung mendengus pelan saat melihat Zarel yang mengedipkan sebelah matanya genit.

Di samping Dreynan juga ada Eyden yang sedang menatap lurus kedepan dengan mimik wajah yang susah ditebak. Lelaki itu bak patung hidup karena diam sedari tadi tanpa pergerakan selain deru napasnya.

Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati Dyeza. Dimana Asrein?

•••••

"Besok? Janji?" ucap Dyeza dengan menatap Yezra tepat di matanya.

Kini ia dan Yezra sedang berjalan di koridor menuju kamarnya. Tadi ia sempat meminta pulang kedunia manusia sama Yezra. Tapi yang diminta menolak dan malah membujuknya untuk tidur di sini malam ini.

Helaan napas keluar dari mulut Yezra, "Baiklah." ucapnya tak rela karena ia lebih suka jika Dyeza tinggal di sini selamanya.

Senyuman langsung merekah di wajah Dyeza, tapi langsung pudar saat otaknya mulai teringat dengan mata Yezra tadi.

"Yezra!" Yang dipanggil menoleh dan mengangkat sebelah alisnya, "Kau berhutang penjelasan padaku!"

Yezra mendengus, ia pikir Dyeza sudah melupakannya, tapi ternyata tidak. Dan terpaksa ia harus memberitahunya, "Sebenarnya---"

Srrkkk... Srrkkk...

Ucapan Yezra terpotong saat terdengar sebuah suara dari balik semak-semak di dekat twman.

Mata Dyeza memicing, “Apa itu?"

"Mungkin hanya kucing!" Yezra mengangkat bahunya pelan, lalu kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Dan Dyeza dengan cepat mengejarnya lalu menarik tangan Yezra hingga membuat langkah lelaki itu kembali terhenti. "Kau belum menjawabnya!"tagihnya.

"Sebelum kau tanyakan itu, aku akan bertanya terlebih dahulu," Yezra memegang kedua bahu Dyeza agar menghadapnya. "Kenapa kau tak bilang jika selama ini kau sering dibully?"

"Bagaimana aku bisa bilang jika aku baru mengenal kalian satu hari." Mata cokelat Dyeza menatap mata hitam Yezra yang memancarkan kesedihan. "Lagipula, kenapa Eyden kemarin tidak menolongku?"

Yezra tersenyum kecil lantas melanjutkan kembali langkahnya, dan tentu saja diikuti oleh Dyeza, "Eyden tidak suka dengan orang yang lemah dan tidak memberikan perlawanan. Kalau saja kemarin kau melawan, pasti dia akan membantumu!"

Dyeza hanya ber-oh ria, kini ia mengerti. Ia menoleh kesamping saat Yezra memegang kembali kedua bahunya.

"Jika kau dibully ataupun sedang kesusahan, panggilah salah satu di antara kami tulus dari hatimu," Yezra menunjuk dada istrinya, "Karena kami pasti akan datang untuk menolongmu. Lagipula kami adalah suamimu dan melindungimu adalah suatu kewajiban bagi kami."

Bolehkah hati Dyeza meleleh sekarang?

"Tapi..."

Yezra menggantungkan ucapannya, dan itu membuat Dyeza penasaran.

"Jangan pernah memanggil Asrein saat kau sedang dibully, ok?" peringat Yezra.

"Memangnya kenapa?" Dahi Dyeza berkerut.

"Karena teman yang membullymu pasti akan---" bibir Yezra bergerak mendekat ke telinga Dyeza lantas berbisik, "Mati."

"Baiklah, Aku harus pergi dulu karena ayah sepertinya memanggilku. Sampai jumpa!" Yezra mengacak rambut Dyeza sebentar lalu kemudian pergi meninggalkan Dyeza yang mematung.

Mati? Eannza dan Levina mati? Dyeza menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak boleh memanggil Asrein!

Dyeza pun melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti. Hingga tak lama kemudian ia sampai di depan pintu kamarnya.

"Hormat kami tuan puteri." ucap kedua penjaga pintu serempak seraya membungkuk dan membukakan pintu.

Dyeza hanya tersenyum dan mengangguk pelan,lantas berjalan memasuki kamar barunya. Ia mendekat ke ranjang dan langsung duduk di pinggirnya. Dan langsung menepuk keningnya saat menyadari kalau Yezra belum sempat menjawab pertanyaannya mengenai matanya yang berwarna merah. Tak apalah, besok juga bisa! Batinnya.

Dyeza membungkuk untuk melepas sepatu kerajaan yang ia kenakan. Ia harus segera beristirahat karena badannya terasa sangat lelah sekali.

Hingga sebuah suara nyaring penjaga pintu kamarnya membuat Dyeza menghentikan aktivitasnya.

"PERHATIAN!!PANGERAN ASREIN BERKUNJUNG KE KAMAR TUAN PUTERI!"

Sedetik kemudian pintu kamar Dyeza terbuka. Dan langsung menampilkan sosok Asrein dengan jubah kebesaran-nya.

Mulut Dyeza spontan menganga lebar karena takjub akan ketampanan suaminya itu. Ia bahkan tak bisa berkata-kata untuk mendeskripsikan betapa tampannya Asrein hingga membuat badannya lemas seolah menjadi jeli. Selama 18 tahun ia hidup, ia sama sekali tidak pernah menjumpai lelaki dengan pahatan wajah se-sempurna Asrein.

Asrein mendekat cepat ke arah Dyeza dan langsung duduk disampingnya. "Kau tidak apa-apa? Bagaimana dengan jarimu?" Ya! Seseorang yang mengintip tadi adalah Asrein.

Asrein memegang jari Dyeza dan mengelus-elusnya seraya mengomel, "Dasar pelayan bodoh! Gara-gara kelalaian mereka, jarimu jadi terluka!"

Dyeza tak menjawab. Ia masih terpesona akan wajah Asrein yang hanya berjarak beberapa jengkal saja dari wajahnya.

Merasa tak di respon, Asrein mendongakkan kepalanya7. Castle

Mata itu terbuka dengan cepat. Deru napasnya tak beraturan dan keringat mulai bercucuran membasahi wajah cantiknya.

"Mimpi itu lagi." gumam Dyeza seraya mengusap keningnya yang berkeringat. Matanya melirik sekilas jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 4.16 PM.

Terakhir yang ia ingat yaitu ia jatuh pingsan di perpustakaan. Apakah Eyden yang membawanya kesini?

"Benar! Eyden yang membawamu kesini!"

Hingga sebuah suara yang familiar di telinganya membuatnya langsung menoleh ke sumber suara.

Tepat disana, berdiri Zarel yang menyenderkan punggungnya di pintu dengan tangan yang dilipat di dada. Rambutnya acak-acakan akibat frustasi ketika sudah lebih dari 3 jam istrinya belum sadar. Tadi ia berniat berkunjung ke apartemen Dyeza guna membujuk istrinya itu agar membatalkan keinginannya kemarin. Tapi yang ia dapat malah Dyeza yang tak sadarkan diri dengan Eyden yang tengah mengobatinya.

"Terus dimana dia? Kenapa malah jadi kau yang ada disini?" Dyeza bertanya dengan raut wajah tak suka.

"Kenapa? Kau tidak suka aku ada disini?"ucap Zarel tersinggung, lalu perlahan mendekat ke ranjang Dyeza.

Dyeza hanya mengangguk polos dan mulai sedikit menjauh saat jarak antara Zarel dengan dirinya mulai tak lagi jauh.

Senyuman tipis terukir di wajah Zarel. Emosinya mulai menguap begitu saja saat melihat tingkah polos Dyeza," Kau lucu sekali!" ucapnya yang kini sudah duduk di pinggir ranjang. Dan sontak membuat Dyeza mulai menjauh.

Zarel mendekat, Dyeza menjauh, Zarel mendekat lagi, Dyeza pun juga menjauh lagi. Begitu seterusnya sampai akhirnya Zarel merasa kesal dan merengkuh pinggang Dyeza agar mendekat padanya.

"Kenapa kau tak bilang jika selama ini kau sering dibully, hm?" Zarel berbisik lembut ke telinga Dyeza dan terkadang meniupnya pelan. Dan hal itu membuat bulu kuduk Dyeza meremang dan merasakan darahnya berdesir.

Tapi darimana Zarel tahu kalau tadi ia dibully? Apa jangan-jangan Eyden yang memberitahunya?

"Tepat sekali!" sahut Zarel seraya menjentikkan jari tepat di depan wajah Dyeza.

"Kenapa kau suka sekali membaca pikiranku?!" geram Dyeza dengan tangan yang mencoba melepas kedua tangan Zarel yang membelit pinggangnya. Tapi tetap saja tenaga perempuan akan kalah dengan tenaga seorang lelaki.

Zarel mengernyit heran,"Kenapa? Inikan memang kekuatanku."

"Tapi itu tidak sopan!" gerutu Dyeza. Tapi kalau begitu berarti keempat saudara Zarel bisa membaca pikiran semua? Secarakan mereka adalah seorang penyihir?

"Tidak! Hanya aku saja yang bisa melakukannya."Zarel tersenyum bangga seraya menepuk dada kirinya dan kontan saja membuat Dyeza mendengus. "Bahkan aku bisa membuatmu mematuhi perintahku!"

"Apa?!"

Zarel terkekeh geli."Wajahmu tolong biasa saja. Aku tahu kalau aku memang sangat hebat." tuturnya menyombongkan diri. Dan Dyeza hanya bisa mendengus.

"Aku punya satu pertanyaan untukmu!" ucap Zarel tiba-tiba.

Walaupun tengah kesal, Dyeza tetap menjawab."Apa?"

Zarel berdehem sekilas,"Menurutmu di antara kami siapa yang paling tampan?" tanyanya kemudian.

Dyeza terdiam. Kelima pangeran memang memiliki wajah yang rupawan, tapi entah kenapa ketampanan Asrein terlihat lebih menonjol daripada yang lain.

"Sudah kuduga kau akan memilih Asrein," Lagi-lagi Zarel membaca pikiran Dyeza, “Tapi kalau masalah kepribadian, akulah yang paling baik!"

Mulut Dyeza terbuka hendak melayangkan protes, tapi sebelum itu tangan Zarel sudah terlebih dahulu membungkam bibirnya.

"Protesnya nanti saja! Aku harus segera kembali ke kerajaan." ujar Zarel setelah melepaskan tangannya. Kemudian ia beranjak dari ranjang dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. "Kau mau ikut?" tawarnya.

Dyeza menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa ia tidak mau ikut. Tapi sepertinya Zarel malah kekeuh membujuknya supaya ikut.

"Ayolah! Aku jamin kau tak akan menyesal jika ikut bersamaku!" bujuk Zarel seraya mendekat dan memegang kedua bahu Dyeza.

Tak tega melihat sorot mata Zarel yang memancarkan permohonan, akhirnya dengan berat hati Dyeza menganggukkan kepalanya pelan.

Zarel tersenyum puas seraya mengacak-acak rambut Dyeza sebelum merapalkan sebuah mantera dan tak lama kemudian muncul sebuah portal menuju dimensi lain. "Ayo!" Zarel mengulurkan tangannya dan disambut ragu-ragu oleh Dyeza. Kemudian mereka berjalan memasuki portal.

Dyeza memejamkan matanya saat tubuhnya serasa ditarik keras oleh pusaran angin. Dan reflek ia langsung memeluk Zarel dengan sangat erat.

Sedangkan Zarel, ia juga memeluk Dyeza guna untuk menenangkannya. Tapi bukan Zarel namanya kalau tidak mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebelah tangannya menyelusup masuk ke balik baju yang dikenakan oleh Dyeza lalu kemudian mengelus-elus punggung mulus milik istrinya. Kata manusia dibumi, ini itu namanya 'modus', tapi menurutnya ini itu adalah 'rezeki' dan ia tak akan melewatkannya begitu saja!

Dyeza masih memejamkan matanya. Hingga ia mulai merasa sudah tidak ada lagi pusaran angin yang menariknya ,melainkan sapuan halus dibalik punggungnya. Matanya terbuka seketika, dan kontan ia melepas tangannya dari pinggang Zarel dan menjaga jarak beberapa meter. Ia mendongak dan berniat memaki Zarel akibat perbuatannya. Tapi mulutnya langsung menganga saat melihat wajah Zarel dan juga penampilan Zarel yang berubah.

Rambut Zarel tidak lagi hanya berwarna hitam, melainkan berubah menjadi hitam keabu-abuan. Pakaiannya memang tidak berubah, tapi sebuah topeng menutupi sebagian wajahnya.

"Zarel?" tanya Dyeza berusaha memastikan kalau lelaki di depannya ini adalah lelaki mesum yang sama seperti tadi.

Tampan. Ralat, sangat tampan.

Zarel terlihat semakin tampan dan juga sedikit errr cantik? Saat memakai jubah. Di dunia manusia memang kelima pangeran mengenakan pakaian manusia pada umumnya, mungkin untuk menyesuaikan diri.

"Mengagumiku, hm?"

Spontan Dyeza menundukkan kepalanya karena tertangkap basah sedang mengagumi Zarel.

“Hahaha, santai saja. Sudah biasa aku mendapat tatapan kagum akibat wajahku yang tampan dan juga mempesona!” Zarel terkekeh ringan.

Dyeza hanya memutar bola mata jengah. Tidak percaya kalau ternyata ada pangeran over percaya diri seperti ini.

"Ayo kita masuk!" ajak Zarel seraya menarik tangan Dyeza agar mengikuti langkahnya.

Dyeza juga baru tersadar bahwa sedari tadi ia dan Zarel sedang berdiri didepan pintu gerbang utama kerajaan.

"Hormat kami pangeran Zarel dan tuan puteri Dyeza!"

Seruan para pengawal yang menjaga gerbang menjadi sambutan bagi mereka. Tapi Zarel hanya mengangguk pelan, sedangkan Dyeza malah kebingungan karena darimana penjaga bisa tahu namanya? Bukankah ia baru pertama kali kesini?

Pintu gerbang mulai terbuka, dan pemandangan yang indah langsung terlihat di mata Dyeza. Di depan matanya, berdiri sebuah castle besar bergaya klasik dengan jalan terbuat dari batu marmer yang mengarah langsung ke pintu utama castle.

Di samping kanan jalan, terdapat sebuah kolam ikan yang sangat besar dengan air terjun yang langsung meluncur bebas ke dalam kolam.

Sedangkan di samping kiri jalan terdapat sebuah patung besar berlapis emas yang membentuk lambang kerajaan Ethernichius. Patung ini mengambang dari atas tanah dan berputar-putar di udara dengan perlahan.

Zarel terus menarik Dyeza hingga sampai di depan pintu utama castle, dan lagi-lagi suara penjaga menyambut mereka berdua.

Pintu utama dibuka, dan rahang Dyeza tak bisa untuk tidak jatuh kebawah. Pemandangan di depannya benar-benar menakjubkan!

Dinding-dinding bercat kuning kecoklatan dengan permata di setiap pinggirannya. Pilar-pilar yang mengambang dari atas lantai yang juga bercat kuning kecoklatan, bedanya di setiap ujung pilar terdapat batu rubi yang sangat langka. Perabotan disini juga tidak ada yang tidak berlapis emas. Luas ruangan ini pun sangat ia yakini berkali-kali lipat luasnya daripada apartemen paling mahal di negaranya.

"Aku tahu kalau castle-ku memang bagus! Tapi bisakah kau masuk sekarang? Aku sudah bosan menunggumu disini!" sungut Zarel yang sudah berada di dalam sebuah ruangan.

Dyeza tersentak dari lamunannya. Ia bahkan tak sadar kalau ia masih berdiri diluar ruangan, sedangkan Zarel sudah masuk kedalam sebuah kamar. Buru-buru ia masuk ke dalam dan berdiri di sebelah Zarel.

"Mulai sekarang ini adalah kamarmu!" ucap Zarel dan membuat Dyeza melebarkan matanya.

Apa ia tidak salah dengar? Kamar ini terlalu luas dan juga sangat mewah untuknya!

"Apa ini tidak berlebihan?" tanya Dyeza seraya memandang ke sekitar. "Lagipula aku kan tidak akan tinggal disini selamanya."

Zarel menghela napas, “Sekarang memang tidak, tapi suatu saat nanti!" kemudian ia menepuk tangannya 2 kali, dan di balik pintu langsung muncul 2 orang pelayan yang masing-masing membawa jubah mandi dan juga nampan berisi makanan.

Kedua pelayan membungkuk hormat saat tepat di hadapan Zarel dan Dyeza,"Hormat kami Pangeran Zarel dan Tuan Puteri Dyeza."

Zarel hanya berdehem sekilas untuk menjawab. Kemudian ia menoleh ke arah Dyeza,"Mereka akan melayanimu! Akan kutunggu kau diruang utama nanti! Sampai jumpa!"

Belum sempat Dyeza menjawab, Zarel sudah menghilang terlebih dahulu. Huh, enak sekali jadi penyihir! Bisa menghilang dan muncul dengan seenaknya! Gerutu Dyeza di dalam hati.

"Maaf tuan puteri, sebaiknya anda makan terlebih dahulu."

••••••

Di sebuah tanah lapang, tepatnya di bawah pohon mahoni, terlihat seorang lelaki berambut hijau kebiruan yang tengah bertengkar dengan seekor anjing kecil. Masalahnya hanya karena si anjing tidak sengaja menginjak istana terbuat dari tanah milik si lelaki tersebut.

"Berani sekali kau merusak istanaku dengan Dyeza kelak! Memangnya kau siapa, hah?!" omel Asrein seraya berkacak pinggang dan menatap nyalang si anjing yang terus menggonggong.

"Apa? Kau berani melawanku, huh?!" teriak Asrein saat si anjing menatapnya seolah menantang. "Untung saja kau adalah anjing milik Eyden! Kalau tidak..." Asrein mengacungkan tangannya yang mengepal ke depan si anjing. "Pergi sana! Dasar anjing tak berguna!!"

Bukannya pergi, si anjing jenis husky itu malah berlari memutari tubuh Asrein seraya menggonggong.

"Mau apa lagi kau?! Huh, menyebalkan sekali!!" geram Asrein. "Eyden, bawa anjing bodohmu ini dari hadapanku!!" teriak Asrein kepada Eyden yang tengah berbaring di gazebo dekat pohon.

Tanpa membuka matanya, tangan Eyden mengarah ke samping dan mengisyaratkan anjingnya agar mendekat.

Si anjing menurut lalu berlari menghampiri Eyden dan melompat ke atas gazebo lantas memposisikan dirinya di sebelah sang pemilik.

"Anjing sama pemiliknya sama saja!" gerutu Asrein.

Eyden yang pendengarannya sangat tajam langsung menoleh dingin ke arah Asrein.

"APA?!" bentak Asrein kemudian melihat istana buatannya yang sudah rata dengan tanah. "Aku harus membuatnya dari awal lagi!" keluhnya kemudian.

Jemari Asrein mengambil beberapa gumpal tanah di sekitarnya dan mulai membentuk sebuah istana kecil tanpa memedulikan tangannya yang kotor akibat ulahnya itu.

Hachih!

Debu yang berasal dari tanah berhasil membuat Asrein bersin dan reflek menutup mulutnya dengan tangan. Alhasil, wajah Asrein pun kini belepotan dengan tanah. Namun lelaki itu tetap tersenyum bahagia sembari memandang istana buatannya yang kini sudah hampir jadi.

"Hello everybody. Pangeran tampan coming!”

Kepala Asrein spontan menoleh ke asal suara dan langsung mendengus saat mendapati Zarel yang datang mendekat. Sedangkan Eyden, dia masih dengan posisi tidurnya tanpa memedulikan kedatangan Zarel.

“Mau apa kau kemari?” tanya Asrein tanpa mengalihkan pandangannya dari istana yang tengah ia buat. Tangannya menyeka keringat yang muncul dari keningnya dan akhirnya harus membuat wajahnya kotor lagi.

Para pengawal yang tengah bertugas hanya memandang lurus ke depan dan mengabaikan tingkah childish Asrein. Pangeran mereka memang seperti itu, dan hal seperti itu sudah biasa terjadi. Jadi mereka tidak heran dan lebih memilih untuk diam daripada harus kehilangan kepala mereka.

“Aku membawa sebuah kejutan untuk kalian!” tukas Zarel kemudian melirik ke bawah saat anjing Eyden sedang bermanja-manja di kakinya.

“Kejutan apa?” Mata Asrein menatap penuh selidik ke arah Zarel.

“Mau tahu saja atau mau tahu banget?” Zarel malah menggoda.

Wajah Asrein mendadak flat seketika. Tangannya yang memegang tanah kontan mengepal kuat dan hendak memukul wajah bodoh Zarel jikalau saja ia tak mengingat bahwa Zarel adalah kakaknya.

Zarel terkekeh lalu mengibaskan tangannya, “Jangan marah, nanti kau bisa cepat tua. Jika kau penasaran, pergilah ke ruang pertemuan!”

Zarel pun berbalik dan langsung melesat pergi sambil terkikik setelah berhasil menginjak istana buatan Asrein hingga hancur lebur menyatu dengan tanah.

“ZAREEEEEEEEEEEELLL!!”

•••••

"Aduh!" Dyeza mengaduh kesakitan saat jarinya tidak sengaja tergores oleh hiasan bunga di tusuk rambut yang ternyata sangat tajam.

Kedua pelayan yang sedang merias wajah Dyeza langsung panik saat melihat cairan merah kental mengalir dari jari calon ratu mereka kelak. "Maaf tuan puteri, saya akan panggilkan Tabib Han!" ucap seorang pelayan yang tadinya merias rambutnya. Pelayan itu pergi dan menghilang di balik pintu.

Sedangkan pelayan satunya lagi, dengan segera mengambil air hangat untuk mengompresnya. Sempat terbersit rasa takut apabila salah satu dari pangeran mengetahuinya, karena bisa dipastikan kepala mereka akan menjadi taruhannya.

Dyeza yang tadinya duduk di atas kursi meja rias, langsung berdiri dari tempatnya dan berjalan ke peraduan. Jubah berwarna ungu terang yang ia pakai memang sedikit menyulitkannya waktu berjalan.

Tak lama kemudian muncul pelayan tadi sambil membawa semangkok air hangat, dan kebetulan dari balik pintu muncul pelayan yang satunya bersama seorang lelaki berparas tampan yang berpakaian serba putih dengan bagian kerah berwarna biru gelap.

"Hormat hamba tuan puteri." Lelaki itu sedikit membungkuk lalu kemudian mendekatinya, "Hamba Tabib Han. Izinkan hamba untuk mengobati luka tuan puteri." Ujarnya sopan.

"Tidak perlu. Ini hanya luka kecil." tolak Dyeza walaupun luka ini lumayan perih juga.

"Maaf tuan puteri! Tolong izinkan hamba untuk mengobati tuan puteri jika tuan puteri masih ingin melihat kami besok." ujar tabib Han seraya mengeluarkan sebuah salep dari balik kantong bajunya. "Basuh dengan air hangat terlebih dahulu!" perintahnya kemudian kepada pelayan.

Si pelayan menurut dan mulai membasuh jari Dyeza dengan air hangat.

Setelah selesai, tabib Han mulai duduk di tepi peraduan dan mengoleskan salep di jari Dyeza yang terluka. Dan ajaibnya sedetik kemudian lukanya langsung hilang tak berbekas.

Dyeza terperangah melihat hal itu. Ia menggosok-gosok jarinya dan seperti tidak pernah ada luka sekecilpun. Dunia sihir memang luar biasa!

"Hm, Tabib Han. Bolehkan saya meminta dua atau tiga salep?"

Dyeza bersorak di hati ketika Tabib Han menganggukkan kepalanya. Dengan begini ia tidak perlu risau saat Eannza membullynya secara fisik.

Namun tanpa mereka sadari, seseorang tengah mengintip mereka lewat celah jendela dengan mata berkilat marah dan juga rahang yang mengeras.

••••••

Suara gemerincing gelang kaki seorang gadis mendominasi di salah satu koridor istana. Terdapat dua pelayan dan penjaga yang mengekornya di belakang. Para penjaga yang lewat ataupun sedang bertugas selalu membungkuk hormat kepada sang gadis, dan tampaknya sang gadis terlihat kurang nyaman akan hal itu.

Dyeza menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi kegugupannya. Hari ini ia akan bertemu dengan sang raja, dan ia harus bersikap sopan layaknya seorang puteri. Ia tersenyum kecut saat menyadari bahwa di dunia manusia ia bagaikan upik abu, tapi di sini malah sebaliknya.

Lamunan Dyeza terbuyar saat indera pendengarannya menangkap suara suling yang sangat merdu. Langkahnya terhenti, dan otomatis pelayan dan penjaga di belakangnya juga ikut berhenti. Ia mengedarkan pandangannya sekeliling, dan manik matanya terfokus kepada seseorang yang sangat familiar baginya tengah bermain suling didekat taman bunga.

"Yezra?"

Tapi kenapa matanya berwarna merah?

Walaupun hanya gumaman, namun Yezra tetap dapat mendengarnya. Ia menoleh ke sumber suara dan langsung tersenyum tipis saat mendapati istrinya yang tengah menatapnya bingung. Ia memejamkan matanya sebentar.

Tak lama kemudian mata Yezra terbuka dan mata merahnya sudah berubah menjadi hitam kembali. Ia berjalan mendekat ke Dyeza setelah meletakkan sulingnya di kantong jubahnya.

Dyeza yang melihat hal itu langsung tersentak kaget. Bagaimana mungkinm? Tadi ia yakin mata Yezra berwarna merah, kenapa sekarang jadi berwarna hitam?

"Aku sudah menunggumu! Ayo!" Yezra menarik tangan Dyeza dan membawanya melangkah kembali.

Ragu-ragu Dyeza melirik ke samping untuk melihat wajah Yezra, dan matanya masih berwarna hitam. Tapi ia sangat yakin bahwa mata Yezra tadi berwarna merah! "Matamu?"

Yezra langsung menoleh dan menghela napas pelan ,"Kau melihatnya?" Dyeza mengangguk pelan, "Susah untuk dijelaskan!"

Mengernyit, Dyeza bertanya "Maksudnya?"

"Besok akan kujelaskan!” ucap yezra dan di oleh anggukan dari Dyeza.

Dyeza hendak berkata sesuatu, tapi ia urungkan saat mereka sudah sampai di ruang utama.

"PERHATIAN! PANGERAN YEZRA DAN TUAN PUTERI DYEZA MEMASUKI RUANGAN!"

Suara penjaga di depan pintu yang mengabarkan kedatangan Yezra dan Dyeza terdengar nyaring sampai ke penjuru ruangan.

Dyeza memegang tangan Yezra erat guna untuk mengurangi kegugupannya. Ia dan Yezra mulai berjalan mendekat ke singgasana.

Di depan sana, tepatnya di atas singgasana, duduk sang raja yang melemparkan senyum hangat. Di samping kanan singgasana terdapat 6 buah kursi yang di duduki oleh 3 pangeran, dan menyisakan 3 kursi yang kosong. Sedangkan di samping kiri terdapat 4 buah buah kursi yang diduduki oleh 3 orang, dan otomatis menyisakan 1 kursi kosong.

"Hormat kami yang mulia!" Dyeza dan Yezra serempak membungkuk hormat saat di depan Raja Varlsyien.

"Duduklah!" Dengan segera mereka duduk setelah mendapatkan perintah.

Dyeza berdehem sekilas karena bingung harus duduk di sebelah mana. Dikursi paling pojok, Dreynan memberi isyarat dengan dagunya agar ia duduk di sebelahnya. Ia pun langsung mengerti dan berjalan pelan kemudian duduk di samping Dreynan.

"Selamat datang kembali di kerajaan kami, nak.”

Kebingungan langsung melanda Dyeza saat raja Varlsyien selesai mengucapkan hal itu. Apa ia pernah datang kesini? Seingatnya ia baru pertama kali kesini.

"Kau tentunya lupa dengan mereka bertiga bukan?" tanya raja Varlsyien seraya menunjuk ketiga lelaki di depan Dyeza dengan dagunya.

Dyeza hanya tersenyum kikuk dalam menanggapinya. Jujur ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

"Dia Jendral besar Grayson!" tunjuk sang raja kepada lelaki berwajah datar yang mengenakan baju perang.

"Hormat hamba tuan puteri!" ucap Jendral besar Grayson dengan sedikit menundukkan kepalanya.

"Sedangkan dia adalah panglima Lyano!" Kali ini raja Varlsyien menunjuk seorang lelaki berjubah hijau dengan pedang yang disarungkan ke pinggang.

"Salam tuan puteri!" Sama seperti si jendral besar, Panglima Lyano yang terlihat lebih muda juga menundukkan kepalanya.

"Dan yan terakhir, dia adalah Pangeran Hrym." tunjuk sang raja kepada seorang lelaki tampan berjubah biru yang sebelah matanya tertutup oleh eyepatch, "Putera dari mendiang selir Hwan."

Bulu kuduk Dyeza merinding saat melihat seringaian misterius terpatri dengan jelas di wajah pangeran Hrym. Firasatnya mengatakan kalau pangeran Hrym bukanlah pria baik-baik.

"Hormat hamba tuan puteri!" ucap Rhym dengan seringaian yang masih setia di wajahnya. Matanya menatap intens ke arah Dyeza dengan aura negatif.

Dyeza yang menyadarinya hanya bisa menggenggam erat tangan Yezra yang sedang duduk tenang. Kepalanya langsung menoleh ke samping saat tangannya yang lain digenggam erat oleh Dreynan. Ia hanya tersenyum paksa untuk membalas Dreynan yang tersenyum manis padanya. Dan langsung mendengus pelan saat melihat Zarel yang mengedipkan sebelah matanya genit.

Di samping Dreynan juga ada Eyden yang sedang menatap lurus kedepan dengan mimik wajah yang susah ditebak. Lelaki itu bak patung hidup karena diam sedari tadi tanpa pergerakan selain deru napasnya.

Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati Dyeza. Dimana Asrein?

•••••

"Besok? Janji?" ucap Dyeza dengan menatap Yezra tepat di matanya.

Kini ia dan Yezra sedang berjalan di koridor menuju kamarnya. Tadi ia sempat meminta pulang kedunia manusia sama Yezra. Tapi yang diminta menolak dan malah membujuknya untuk tidur di sini malam ini.

Helaan napas keluar dari mulut Yezra, "Baiklah." ucapnya tak rela karena ia lebih suka jika Dyeza tinggal di sini selamanya.

Senyuman langsung merekah di wajah Dyeza, tapi langsung pudar saat otaknya mulai teringat dengan mata Yezra tadi.

"Yezra!" Yang dipanggil menoleh dan mengangkat sebelah alisnya, "Kau berhutang penjelasan padaku!"

Yezra mendengus, ia pikir Dyeza sudah melupakannya, tapi ternyata tidak. Dan terpaksa ia harus memberitahunya, "Sebenarnya---"

Srrkkk... Srrkkk...

Ucapan Yezra terpotong saat terdengar sebuah suara dari balik semak-semak di dekat twman.

Mata Dyeza memicing, “Apa itu?"

"Mungkin hanya kucing!" Yezra mengangkat bahunya pelan, lalu kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Dan Dyeza dengan cepat mengejarnya lalu menarik tangan Yezra hingga membuat langkah lelaki itu kembali terhenti. "Kau belum menjawabnya!"tagihnya.

"Sebelum kau tanyakan itu, aku akan bertanya terlebih dahulu," Yezra memegang kedua bahu Dyeza agar menghadapnya. "Kenapa kau tak bilang jika selama ini kau sering dibully?"

"Bagaimana aku bisa bilang jika aku baru mengenal kalian satu hari." Mata cokelat Dyeza menatap mata hitam Yezra yang memancarkan kesedihan. "Lagipula, kenapa Eyden kemarin tidak menolongku?"

Yezra tersenyum kecil lantas melanjutkan kembali langkahnya, dan tentu saja diikuti oleh Dyeza, "Eyden tidak suka dengan orang yang lemah dan tidak memberikan perlawanan. Kalau saja kemarin kau melawan, pasti dia akan membantumu!"

Dyeza hanya ber-oh ria, kini ia mengerti. Ia menoleh kesamping saat Yezra memegang kembali kedua bahunya.

"Jika kau dibully ataupun sedang kesusahan, panggilah salah satu di antara kami tulus dari hatimu," Yezra menunjuk dada istrinya, "Karena kami pasti akan datang untuk menolongmu. Lagipula kami adalah suamimu dan melindungimu adalah suatu kewajiban bagi kami."

Bolehkah hati Dyeza meleleh sekarang?

"Tapi..."

Yezra menggantungkan ucapannya, dan itu membuat Dyeza penasaran.

"Jangan pernah memanggil Asrein saat kau sedang dibully, ok?" peringat Yezra.

"Memangnya kenapa?" Dahi Dyeza berkerut.

"Karena teman yang membullymu pasti akan---" bibir Yezra bergerak mendekat ke telinga Dyeza lantas berbisik, "Mati."

"Baiklah, Aku harus pergi dulu karena ayah sepertinya memanggilku. Sampai jumpa!" Yezra mengacak rambut Dyeza sebentar lalu kemudian pergi meninggalkan Dyeza yang mematung.

Mati? Eannza dan Levina mati? Dyeza menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak boleh memanggil Asrein!

Dyeza pun melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti. Hingga tak lama kemudian ia sampai di depan pintu kamarnya.

"Hormat kami tuan puteri." ucap kedua penjaga pintu serempak seraya membungkuk dan membukakan pintu.

Dyeza hanya tersenyum dan mengangguk pelan,lantas berjalan memasuki kamar barunya. Ia mendekat ke ranjang dan langsung duduk di pinggirnya. Dan langsung menepuk keningnya saat menyadari kalau Yezra belum sempat menjawab pertanyaannya mengenai matanya yang berwarna merah. Tak apalah, besok juga bisa! Batinnya.

Dyeza membungkuk untuk melepas sepatu kerajaan yang ia kenakan. Ia harus segera beristirahat karena badannya terasa sangat lelah sekali.

Hingga sebuah suara nyaring penjaga pintu kamarnya membuat Dyeza menghentikan aktivitasnya.

"PERHATIAN!!PANGERAN ASREIN BERKUNJUNG KE KAMAR TUAN PUTERI!"

Sedetik kemudian pintu kamar Dyeza terbuka. Dan langsung menampilkan sosok Asrein dengan jubah kebesaran-nya.

Mulut Dyeza spontan menganga lebar karena takjub akan ketampanan suaminya itu. Ia bahkan tak bisa berkata-kata untuk mendeskripsikan betapa tampannya Asrein hingga membuat badannya lemas seolah menjadi jeli. Selama 18 tahun ia hidup, ia sama sekali tidak pernah menjumpai lelaki dengan pahatan wajah se-sempurna Asrein.

Asrein mendekat cepat ke arah Dyeza dan langsung duduk disampingnya. "Kau tidak apa-apa? Bagaimana dengan jarimu?" Ya! Seseorang yang mengintip tadi adalah Asrein.

Asrein memegang jari Dyeza dan mengelus-elusnya seraya mengomel, "Dasar pelayan bodoh! Gara-gara kelalaian mereka, jarimu jadi terluka!"

Dyeza tak menjawab. Ia masih terpesona akan wajah Asrein yang hanya berjarak beberapa jengkal saja dari wajahnya.

Merasa tak di respon, Asrein mendongakkan kepalanya dan terheran, "Kenapa kau malah diam dan menatapiku seperti itu?"

Dyeza langsung tersadar dan rasa gugup malah menderanya. "Eh, tidak apa-apa!" Ia memaksakan untuk tersenyum.

Asrein melepaskan jari Dyeza lantas kembali berujar yang mampu membuat Dyeza membelalakkan matanya, "Tapi kau tenang saja! Aku sudah membunuh kedua pelayan bodoh itu!"

Badan Dyeza kontan makin melemas. Pantas saja sedari tadi ia tidak melihat mereka. Asrein benar-benar kejam!

"Mulai sekarang bilang kepadaku jika ada yang menyakitimu, kau mengerti?"

Spontan Dyeza menganggukan kepalanya, berbohong. Ia tidak akan pernah memanggilnya!

"Baiklah! Kalau begitu istirahatlah. Aku pergi dulu!" ucap Asrein sembari mengusap lembut pipi Dyeza.

Sedetik kemudian Asrein menghilang tanpa jejak. Menyisakan Dyeza yang hanya bisa menggumamkan kata maaf di hatinya. Ia merasa bersalah kepada pelayan tadi. Yang salah itu dirinya, tapi kenapa malah mereka yang menanggung akibatnya?

Dyeza bangkit dari ranjang dan hendak pergi menaruh sepatu, tapi harus terhenti ketika suara nyaring penjaga mengabarkan kedatangan seseorang kembali. Bedanya kali ini berhasil membuat Dyeza merinding ketakutan.

"PERHATIAN!! PANGERAN HRYM MEMASUKI KAMAR TUAN PUTERI!"

dan terheran, "Kenapa kau malah diam dan menatapiku seperti itu?"

Dyeza langsung tersadar dan rasa gugup malah menderanya. "Eh, tidak apa-apa!" Ia memaksakan untuk tersenyum.

Asrein melepaskan jari Dyeza lantas kembali berujar yang mampu membuat Dyeza membelalakkan matanya, "Tapi kau tenang saja! Aku sudah membunuh kedua pelayan bodoh itu!"

Badan Dyeza kontan makin melemas. Pantas saja sedari tadi ia tidak melihat mereka. Asrein benar-benar kejam!

"Mulai sekarang bilang kepadaku jika ada yang menyakitimu, kau mengerti?"

Spontan Dyeza menganggukan kepalanya, berbohong. Ia tidak akan pernah memanggilnya!

"Baiklah! Kalau begitu istirahatlah. Aku pergi dulu!" ucap Asrein sembari mengusap lembut pipi Dyeza.

Sedetik kemudian Asrein menghilang tanpa jejak. Menyisakan Dyeza yang hanya bisa menggumamkan kata maaf di hatinya. Ia merasa bersalah kepada pelayan tadi. Yang salah itu dirinya, tapi kenapa malah mereka yang menanggung akibatnya?

Dyeza bangkit dari ranjang dan hendak pergi menaruh sepatu, tapi harus terhenti ketika suara nyaring penjaga mengabarkan kedatangan seseorang kembali. Bedanya kali ini berhasil membuat Dyeza merinding ketakutan.

"PERHATIAN!! PANGERAN HRYM MEMASUKI KAMAR TUAN PUTERI!"