Aku mendengus kesal pada Keenan. Dia benar-benar terlalu manja, bagaimana aku tidak menyebutnya manja jika hanya karena ujian meja dia minta memintaku untuk menemaninya, apalagi saat ini teman - teman wanitanya berada di sekelilingku dan tatapan mereka terlihat seperti ingin memakanku karena menganggap aku ini adalah permen kapas.
"Hei... hei... sana... sana! kalian bukannya nyiapin materi ujian malahan nongkrong di sini!" teriak seorang gadis sambil mengibaskan tangannya mengusir mereka semua.
Thanks?
Enggak!
Dia juga sama saja dengan teman-teman wanita Keenan, bahkan gadis ini adalah yang paling mengerikan. Dia sudah seperti penagih hutang kalau bertemu denganku.
Dia adalah sahabat dekat atau bisa dibilang saudara kembar Keenan daripada saudara kembarku. Gabriella Fulston, anak kedua dari tiga bersaudara. Gadis tomboy dan tidak ada manisnya sama sekali, dan yang pasti dia bukan seleraku.
Keenan biasa memanggilnya Gabby, entah hubungannya dimana antara Gabriella menjadi Gabby.
Keenan dan Gabby sama-sama calon dokter aneh. Aku tidak akan merekomendasikan mereka pada kenalan atau mitra kerjaku seandainya mereka berdua bisa membuka praktek—sangat menyeramkan!
Di dunia ini satu-satunya gadis yang tidak tahu malu atau mungkin urat malunya sudah putus ya gadis ini—Gabby.
Dia suka padaku, aku bisa memaklumi kalau banyak gadis yang suka padaku tapi bukan berarti dia yang lebih dulu mengajakku untuk menjadi pacarnya.
Aku bergidik ngeri dengan gadis yang terlalu hyperaktif seperti dia.
Gabby tidak jelek, dia cantik seperti kata Keenan tentang mahasiswi kedokteran di kampusnya tapi aku benar-benar tidak berminat menjalin hubungan dengan sahabatnya itu.
"Rion!Elo kok ngelamun aja sih?!"
Nah, cuma dia yang memanggilku Rion. Terdengar aneh karena semua orang yang mengenalku akan memanggilku dengan panggilan 'A', dan alasannya dia tidak mau memanggilku 'A' karena aku spesial baginya jadi dia juga harus memanggilku dengan nama spesial.
"Elo ngapain disini? Bukannya elo juga ujian meja?" tanyaku kesal.
Dia ini juara kalau membuatku naik darah.
"Gue kan nemenin elo. Gue udah kelar kok ujian mejanya," dia tersenyum lebar—kelewat lebar malahan.
Aku tidak tahu kenapa dengan gadis ini. Seingat ku, kami bertemu baru empat kali, tapi kenapa dia sepertinya sudah mengenalku dari aku masih orok ya?
"Eh,Rion... ummm... Sabtu lo libur kerja kan?"
Nah, pasti mau ngajak ngedate, kan seharusnya aku yang ajak. Disini yang cowok adalah aku, tapi aku tidak mau mengajaknya jalan.
"Napa emang?!"
"Duhhh, judes banget sih lo!" Gabby tersenyum lebar dan menyenggol bahuku.
Dia kini merapatkan tubuhnya padaku, berjinjit lalu berbisik. "Gue punya tiket nonton Coldplay di Singapore..."
Aku menaikkan alisku, bagaimana dia tahu aku pecinta Coldplay?
"Gratis mulai transport dan menginap!" ucapnya sambil menoleh ke kiri dan kanan.
Dia kembali menjauhkan tubuhnya dariku lalu menegakkan badannya dan mata besar miliknya itu bersinar penuh harap.
Green—matanya berwarna hijau?
Softlense!
"Lo pakai softlense?" pertanyaanku memang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan yang dilontarkan Gabby padaku tapi entah kenapa otakku menyuruhku menanyakan hal itu.
"Hah? Aduh... aduhhh..." katanya panik.
"Mati gue! Softlense gue..." dia menutupi matanya dan berjalan mundur.
"Ntar gue telfon!" ucapnya yang kemudian kabur.
Syukurlah depcollector itu pergi, tapi aku tercenung untuk sesaat.
Green—green eye.
Kenapa matanya itu terlihat familiar sekali ya?
***
Friday, 9pm
"A," aku menoleh menatap Keenan menyodorkan ponselnya padaku.
Aku menatap ponsel Keenan dan dirinya secara bergantian.
"Mommy—" bisik Keenan pelan tanpa suara.
Aku menatap ponselku yang ternyata belum aku nyalakan sejak tadi sore setelah selesai meeting.
Aku meraih ponsel Keenan sambil menyalakan ponselku sendiri.
"Hallo mi..."
"..."
"Maaf, tadi ada meeting..."
"..."
"Ya... ya... Kee memang udah selesai ujian meja Mi, tapi ga tahu itu..." aku menatap Kee yang memegang-megang benda antik milikku.
"Kee jangan pegang itu!" teriakku saat adik nakalku itu mengayun-ayunkan koleksi Iron Man yang terbuat dari keramik.
"..."
"Sorry Mom..."
"..."
"Oke...bye... love you," ucapku yang kemudian mematikan ponsel Keenan dan melempar ponselnya yang segera dia tangkap dengan tangkasnya.
"Lo nggak keluar?" tanyaku pada Kee yang biasanya jam segini tidak pernah ada di apartmen.
Well, ini apartemen Mommy waktu Mommy masih single katanya.
Aku tidak menyangka ternyata Mommy workholic sama sepertiku.
"Nih, dari Gabby! Tadi sore dia mampir nitip ini buat elo..." Keenan meletakkan amplop coklat di mejaku.
"Apaan?" tanyaku bingung.
"Ishhhh... Elo jadi manusia nggak peka banget sih A! Au ahhh..." kata Keenan lalu ngelonyor pergi.
Sesaat pintu kembali dibuka lagi.
"Jangan PHP in sobat gue!" serunya mengingatkan.
Slompret!
Adik kurang ajar!
Emang siapa yang PHP in sobatnya?
Mereka berdua memang sama-sama error.
Aku membuka amplop coklat titipan Gabby, ternyata didalamnya berisi tiket pesawat dan tiket konser Cold Play.
Aku melempar tiket itu dengan kesal.
Nih cewek memang pede dan pantang menyerah.
Sesaat ponselku bersuara, di layar lima inch yang menyala itu menampilkan nama yang membuatku semakin kesal dan malas. Tak lama suara itu hilang dan berganti pesan whatsapp masuk.
Crazy women
Elo udah terima titipan dari Keenan?
Crazy women
Rion!Kok telp gue ga diangkat?
Crazy women
Gue tunggu di atap apartemen elo...
Crazy women
Gue ga akan pergi sebelum ketemu elo…
Aku melempar ponselku di tempat tidur, “Masa bodoh dengan sahabat Keenan itu!”
Aku berjalan ke arah meja gambarku dan kembali melanjutkan menggambar rancanganku untuk project baru yang akan mulai tiga bulan lagi.
***
Aku menoleh pada ponselku yang kembali menyala, tampak nama pengacaraku yang galak tapi sangat kompeten itu bertengger di sana.
Aku mengehembuskan napas kesal. Kenapa sih wanita-wanita di bumi ini?
"Hm..."
"Tuan Arion Smith! Kenapa dengan anda?! Kenapa saya dapat berita dari asisten saya kalau anda malah main-main dan asyik berpesta dengan anak-anak perusahaan saingan kita?!"
"Kapan?"
"Tentu saja sejak lima menit yang lalu!" teriaknya kesal.
Aku menatap jam di tanganku. Waktu menunjuk pukul satu lewat tiga puluh enam menit—pagi.
Aku menggertakkan gigiku dan kesal. "Saya sedang menggambar di apartemen, urus Keenan!"
"What?! tap-tapi..."
"Nya, pleaseeee..." pintaku dan kemudian terdengar tut panjang menandakan telfon di seberang diputus.
Aku menggerakkan kepalaku yang terasa pegal. Ternyata aku sudah lama duduk di depan meja gambarku dan tak menyadari bahwa Keenan sudah kabur clubing.
Mataku menangkap amplop coklat yang tergeletak di meja kerjaku dan aku menggelengkan kepala.
Meraih ponsel ku lagi dan melihat pesan terakhir dari gadis depcollector itu.
Crazy women
RIOOOONNNNNN.....!!
Crazy women
Gue masih semangat di sini...
Crazy women
Riiiiiiii......onnnnnnnn....
"Ishhhhh, dasar gadis gila!" umpatku saat menyadari jam terkirimnya pesan itu adalah lima menit yang lalu.
Dengan geram aku segera keluar kamar dan berjalan dengan cepat ke pintu.
Ya, aku tidak mau mendengar Keenan berteriak aku pria tak bertanggung jawab dan sadis dengan wanita.
Brukkk!
Suara sesuatu jatuh saat pintu apartmen ku buka. Aku mengerjapkan mata karena suara itu berasal dari tubuh seseorang yang bersandar di pintudan kini jatuh ke lantai.
"Hei... hei..." aku geleng kepala.
Dasar Gadis depcollector gila itu, batinku berbisik.
"Hei... Hei..." aku menyenggol kakinya dengan kakiku.
Aku benar-benar malas dibuat oleh gadis ini. Dan jangan katakan aku pria yang tidak sopan karena menendang-nendang kakinya.
Aku mengusap wajahku dengan frustasi karena gadis ini bukannya bangun malahan tambah meringkuk dan mengeratkan kedua tangannya memeluk tubuhnya.
"Hei..." aku berjongkok menatapnya.
"Gab..." aku terdiam saat melihatnya mengeratkan tangannya.
Cantik...