Kepalaku terasa semakin berat, selesai ujian meja beberapa hari lalu kesehatanku memang sedikit menurun. Tapi aku tidak akan menyerah, aku masih di sini—di depan pintu apartemen satu-satunya pria yang aku sukai.
Suka? Well, Keenan bilang aku sudah masuk golongan stalker karena pandanganku hanya tertuju pada satu pria. Tapi, walau pun Keenan memiliki wajah yang sama dengannya aku tidak tertarik padanya, wajah dingin dan datar Arion lebih memikatku sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Mungkin perasaan ini bukan hanya sekedar suka, aku sudah cinta mati padanya.
Di kampus banyak pria tampan yang merelakan dirinya aku caci maki, tapi mereka tetap saja nekad menyatakan cintanya. Aku bahkan sudah berusaha bersikap tomboy tapi mereka masih saja mengejarku, mungkin mereka menganggapku gadis yang sangat cantik.
'Narsis ga apa-apa, biar lo jadi PD lagi!' bukan kata-kataku tapi itu kata-kata manusia super narsis sejagat raya, siapa lagi kalau bukan Keenan.
Play boy seantero jagad raya versi Gabby.net.
Bagaimana tidak play boy kalau hampir semua gadis cantik di Jakarta ini pernah berkencan dengannya. Dia bahkan berkencan dengan wanita yang berbeda-beda setiap harinya.
Making Love?
Aku tidak tahu seberapa jauh Keenan saat berkencan dengan gadis-gadis, aku hanya berharap dia segera menemukan gadis idamannya dan tidak merepotkanku lagi. Dan aku berharap dia segera bertobat sebelum penyakit HIV menyentuhnya.
Tapi anehnya kenapa gadis-gadis itu ikhlas-ikhlas saja dan suka rela tidur dengan Keenan yang kalau di kalkulasi mereka hanya berkencan selama satu jam dengan Keenan.
Hhh, sinting memang, tapi sayangnya Keenan adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.
Sudah ribuan kali dia mengingatkanku untuk menjauhi Arion.
“Dia lebih brengsek daripada gue!” kata Keenan entah sudah ia ucapkan berapa kali padaku.
Saudara macam apa yang menyebut kakaknya sendiri brengsek?
Aku duduk di lantai dan sesekali menengok ke pintu, siapa tahu Arion muncul dari balik pintu.
Apa dia marah padaku?
Memikirkannya saja membuatku kembali tersenyum.
Aku menumpukan kepalaku di kedua lututku yang kini sudah menyatu.
Aku sedikit menggigil. "Demam, sial!" umpatku pelan setelah aku menyentuh dahiku dengan telapak tanganku.
Aku memejamkan mataku sejenak karena rasa demam dan kepalaku semakin berat.
"Rion..." bisikku pelan sambil menghembuskan napas pendek.
Bukk!
"Awas kalau kalian mengganggunya lagi!" suara lantang keras itu membuat dadaku berdetak cepat. Wajah blesterannya sangat manis—sesama blesteran.
Deg, jantungku berdegub ekstra keras saat mataku bertumbukan dengan mata abu-abunya saat dia menoleh padaku sebelum akhirnya dia mengarahkan mengalihkan pandangannya.
"Lo nggak apa-apa?" suara merdu dan lembut itu membuatku mengalihkan pandanganku dari sosok malaikat pelindungku.
Cantik!
Seperti boneka dengan mata abu-abu dan rambut sedikit merah.
"Abby sayang... ayoo..."
Abby sayang?
Patah hati!
Malaikatku sudah punya pacar, aku menunduk lesu menatap tanah berumput itu.
"Abby saying, buruan!" aku mendongak saat seorang cowok datang dan merangkul gadis berwajah seperti boneka ini.
Pacarnya yang mana? aku jadi bingung. Ada dua pria memanggilnya Abby sayang.
"Gue pulang dulu ya, dua kakak gue udah nggak sabaran..."
Kakak?
Demi Neptunus, bolehkah aku melompat bahagia? Ternyata mereka kakaknya.
Ayeyyyyyyyyyyyyyyyy.....
"Arion Smithhhhhh!!!" gadis boneka itu meneriakkan namanya saat dia dengan cepat mengacak rambut gadis boneka itu.
Arion Smith...
Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Jatuh cinta pada malaikat penyelamatku.
Dingin....
Air...
Hujan?
Banjir?
Oh...ghos...
"Mama banjir!" teriakku kencang.
"Aaaawwwwww!" aku meringis saat kepalaku entah terbentur apa, yang pasti saat ini terasa berdenyut-denyut.
"Shit!" makian itu membuatku mendongak dan mimpi!
"Gue mimpi!" gumamku.
Mimpi ini sangat nyata, Arion berdiri di hadapanku sambil memegang dahinya dan masih mengumpat tidak jelas.
Sakit? Entah kemana perginya sakit kepalaku yang tadi entah terbentur apa itu.
"Kaya'nya elo udah sehat—" nada dingin itu bergema digendang telingaku. Tapi apa kalian tahu bahwa nada bicaranya terdengar lembut dan merdu memenuhi indra pendengaranku. Apa mungkin aku harus ke THT?
"—dan karena lo udah sehat sebaiknya elo segera pulang," kata Arion datar.
Pulang?
Aku membuka mataku, mengamati keadaan sekitarku. Tempat tidur dengan sprei hitam, bad cover hitam, meja hitam, cat dinding abu-abu gelap, miniatur anggota avenger di lemari kayu berwarna hitam, meja gambar arsitek, dan dihadapanku ada poster Coldplay dengan ukuran super besar.
Aku menoleh kearah Arion yang berdiri di sebelah kiriku.
"I-ini nyata?" tanyaku yang membuat Arion melotot padaku.
Well,itu aku anggap sebagai jawaban 'ya'
"Aaaa! astaga... astaga..." aku tersenyum lebar dan riang.
"Ini kamar lo Rion?! Dan... i-ini... kasur lo?" pertanyaanku tampaknya membuat Arion semakin kesal, tapi apa peduliku. Aku sudah terbiasa dengan sikap dinginnya, aku anggap sikapnya itu kebalikan dari sikap dinginnya. Semakin dia kesal semakin aku beranggapan dia senang.
Aku merebahkan tubuhku dan berguling ke kiri dan ke kanan dengan gembira. Menghirup aroma tubuh Arion yang biasa berbaring di sini sebanyak-banyaknya.
Ini peristiwa langka!
"Astaga, nggak kebayang. Gue tidur sama Arion... hihihi..." aku terkikik.
"Apa lo bilang?!" Arion tiba-tiba menarikku dan membuatku kaget.
Mata kami bertemu dan....
Deg… Deg… Deg…
Please some one call ambulance!
"Ulangi apa yang lo bilang..." Arion menggeram dan terdengar menahan marah.
"A-apa?" fix, aku gugup bercampur takut.
Bukan takut dengan Arion malaikat pelindungku tapi aku takut Tuhan akan mencabut nyawaku saat ini juga karena serangan jantung.
Ini pertama kalinya kami sangat dekat hanya dalam jarak beberapa centi saja.
God, jangan cabut nyawa hamba mu ini sekarang. Ok, aku bukan umat yang taat tapi aku sangat memohon. Jangan sekarang.
Matanya terlihat sangat abu-abu dan astaga, napasnya yang berhembus menyapu wajahku seakan membuaiku dan membuatku lupa ingatan.
Bibirnya...
Astaga, ingin sekali aku menggigitnya dan—ini pasti karena aku bergaul dengan Keenan, otakku jadi mesum!
Tapi—ini kesempatan langka!
Lakukan...!
Jangan!
Do it Gabb!
Do it...
Do...
It...
Aku memejamkan mataku dan membukanya dengan cepat.
Dengan keberanian extra aku meraih kerah baju Arion dan menariknya mendekat padaku.
Dengan cepat aku mencium dan merasakan bibir hangat Arion yang—oh, GOD!
Thanks God.
Aku belum mati saat merasakan ciuman pertamaku dengannya.
My First kiss, just for my angel!
Ok, sebentar lagi pasti akan ada petir menyambar dan teriakan Arion yang seperti badai itu akan segera menyambarku.
Satu...
Dua...
Tiga...
Empat...
Lim..
Bruakkk!
"A, Gu... e... Shit!! Sorry..."
Keenan!
Ya itu suara Keenan yang terdengar sedikit mabuk.
"Gab? Is it you? Kalian berduaaa, ups! Sorry A. Lanjutkan saja..." dia terkikik dan kembali menutup pintu, langkahnya yang menjauh masih diiringi tawa.
"Lo semakin demam!" suara Arion menarikku ke alam nyata.
Wait, dia tidak marah? Apa artinya ini berita bagus? Aku mengikuti gerakannya yang seperti orang linglung, bingung dan gugup?
Seorang Arion Smith gugup?
Salah, salah, ini pasti salah.
Aku menggigit bibirku. "Jangan bilang ini ciuman pertama kamu..." aku kembali terdiam saat menyadari kata-kataku.
Dari elo menjadi kamu tanpa direncanakan. Aku memutar mataku melihat ke sekitar. Jam dinding berwarna putih itu menunjukkan pukul 3.20am.
Arion masih berdiri memunggungiku dan aku merasa sedikit merinding.
"Se-sebaiknya aku pulang. Besok,—“ aku menahan ucapanku, menarik napas panjang lalu menatap punggungnya. “—Um, nanti aku tunggu di Bandara..." ucapku pelan.
"Gue nggak akan datang..."
Deg..
Deg..
Deg..
Ucapannya yang terdegar lembut kenapa terasa berbanding terbalik di pendengaranku? Kenapa aku merasa dia baru saja berteriak padaku?
Arion berbalik dan menatapku, kami saling pandang dalam diam dan membuatku salah tingkah oleh tatapannya. Aku bergerak gelisah saat dia terus menatapku hingga membuatku menunduk malu. Jantungku berdebar keras, tatapannya tajam dan sangat menusuk.
"Elo cantik,—“ katanya pelan dan membuatku tersenyum, akhirnya dia memandangku. Penantiannya selama ini tidak sia-sia, Arion akhirnya menganggapku ada.
“Ri—“
“Tapi gue nggak tertarik sama elo..."
Bibirku kembali terkatup saat Arion memotong ucapanku dan lidahku tiba-tiba terasa kelu. Kata-kata yang sudah di ujung lidahku terpaksa kembali aku telan.
Aku menggigit bibirku, lebih baik dia berteriak dan berkata sadis seperti biasanya daripada berkata lembut seperti ini.
"Kenapa?" itu kata yang keluar dari bibirku.
"Itu cuma perasaan suka sesaat Gabby. Kita bertemu baru empat atau lima kali, jadi tidak mung—"
"Aku pikir juga begitu, tapi aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama ketemu kamu..." bisikku pelan smabil menunduk.
"Ini gila," ucapnya masih dengan nada pelan. “dan apa lo pikir satu ciuman akan buat gue jatuh cinta sama elo?!"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Rion, a-aku—"
"Sekalipun elo nyerahin semua yang elo punya, itu nggak akan buat gue berubah pikiran Gab!"
Deg. Jantungku berdegub cepat, lidahku terasa kaku.
"A!" suara pengganggu satu itu muncul lagi.
Dia melempar sesuatu ke arah Arion. "Gue tahu elo belom pengalaman! Pakai pengaman kalau elo nggak mau nikahin Gabby cepet-cepet!" ucapnya riang.
Dasar Keenan sableng, Eh, tadi tapi dia bilang apa?
“Lihat saja Kee, bakalan gue cincang tuh anak!” geramku dalam hati.
Aku tahu apa yang baru dia lempar pada Arion melihat wajahnya yang geram.
"Gab, pelan-pelan aja ya. Jangan main nyosor, A ini nggak ada pengalaman..."
Slompret nih anak, dia pikir aku juga pengalaman apa.
Aku segera mendekati Keenan dan menjitak kepalanya. "Berisik! keluar sana, keluar!" aku mendorong Keenan dan kini aku berdiri di pintu.
"Lihat? Ulahmu membuat Keenan salah paham!" ucap Arion kesal.
"Dengar Gabby, gue tegesin sekali lagi—“ Arion mengangkat jari telunjuknya kearahku. “—dan untuk yang terakhir kalinya, jadi dengar baik-baik!"
Aku merinding, ini akan lebih buruk dari ujian meja. Aku seperti sedang menjalani sidang hukuman mati.
"Jangan katakan..." kataku pelan sambil geleng kepala.
Arion mengambil amplop coklat di meja dan berjalan mendekat padaku.
Jarak dua langkah dia berhenti dan mengayun-ayunkan amplop itu, dan aku tahu apa isi amplop itu.
"Ajaklah orang yang spesial buat lo, jangan menyia-nyiakan hidup lo hanya untuk mengejar gue..." dia menarik tanganku dan meletakkan amplop itu di tanganku.
"Selamanya gue nggak akan bisa suka elo..."
Deg.
Deg.
Deg.
"Kenapa?" aku menunduk, aku tak akan sanggup melihatnya.
"Karena hatiku milik orang lain," bisiknya di telingaku.
Milik orang lain? Aku mendongak menatapnya yang kini berdiri tegak di hadapanku.
"Kami akan segera menikah."
Oh, God. Kuatkan hatiku.
"Me-menikah?" bibirku terasa kaku seolah aku baru saja mengoleskan lem besi di bibirku.
"Ya, akhir tahun kami akan menikah. Jadi, aku akan melupakan apa yang baru saja terjadi dan—“Arion menatapku dalam. “—kamu juga harus melupakannya."
Aku?
Kamu?
Kenapa...
"Anggap saja tadi hanya ketidak sengajaan..."
Hatiku sakit, jadi begini rasanya patah hati?
"Oh,—“ aku tersenyum kaku memnatapnya. “Ngg... mmmm... o-oke... yahh... tidak sengaja..." aku menggaruk kepalaku dan kembali tersenyum kikuk.
Rasanya aku ingin tenggelam di lautan paling dalam di dunia ini atau terjun bebas?
Yahh, rasanya aku ingin terjun dan menceburkan diriku ke gunung vulkanik, supaya aku tidak merasakan rasa sakit ini.
"Tidurlah, aku akan tidur di kamar Keenan..." ucapnya datar.
Aku segera menahan tangan Arion saat ia melintas di hadapanku. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya paru-paruku bisa menyimpannya. Aku menggigit bibirku dan aku menatapnya dalam-dalam.
Smile Gabby, yang terakhir...
Aku membuka bibirku hendak mengucapkan sesuatu namun kutahan sesaat. Kembali ku gigit bibirku, menelan salivaku yang terasa bagaikan racun yang mencekik leherku.
"Aku—" aku kembali menarik napas dalam-dalam dan menahannya, aku seakan lupa bagaimana caranya bernapas.
"Aku jatuh cinta padamu sejak tujuh tahun yang lalu.” Aku tersenyum dan menunduk, mencba menahan mataku yang terasa panas.
Kembali aku mendongak dan menatapnya. “Sejak kamu menolongku dari anak-anak sekolah lain yang mengejekku karena mata hijauku,"
Aku menunduk dan menggembungkan pipiku mencari kekuatan untuk melanjutkan kata-kataku.
Kenapa patah hati itu berasa ada biji kedondong ditenggorokan ya?
Aku menghembuskan napas dengan kasar dan tersenyum pahit. "Terima kasih," ucapku pelan.
Aku menelan kembali salivaku yang terasa seperti menelan pasir, berat sekali.
"Ummm, tidak perlu pindah kamar—“ aku melepaskan lengan Arion. “—aku akan pulang saja..." gumamku sambil tertawa kikuk.
Aku berjalan mengambil tasku yang ada di meja dan berlari cepat keluar.
"Oh ya," aku berbalik. "selamat atas pernikahanmu nanti ya. Aku janji,—" aku tersenyum selebar mungkin. “—aku tidak akan mengganggumu lagi. Maaf, maaf karena aku nggak tahu kalau—kalau kamu akan menikah dalam waktu dekat. Kee—“ aku menggerakkan jariku ke udara menunjuk segala arah. “—dia tidak pernah cerita..."
God, help me. Jeritku dalam hati
"Anggap saja aku tidak pernah ada, yeahhh... tidak pernah ada..." aku berjalan mundur perlahan sambil tersenyum.
"Maaf..." maaf karena aku jatuh cinta padamu, Arion.
Blammm!!
Aku segera berlari sekencangnya dan sejauh-jauhnya yang aku bisa dari apartement ini, mengubur segala luka hati.
Aku hanya tidak ingin dia melihatku menangis. Aku patah hati sebelum semuanya dimulai.
****
Arion
Blamm!!
Saat pintu itu terbanting keras aku menyadari ada sesuatu yang hilang.
Apa? Hatiku...
Deg. Deg.
Aku merasakan debaran jantungku yang berdetak cepat.
"Eh, cepat sekali A?" Keenan membangunkanku dari lamunanku.
"Gugup? Sudah, lakukan saja. Sebelum dia terbang ke Eropa..."
Eropa?
"Lakukan pelan-pelan, ok!" Keenan kembali lagi masuk kamarnya setelah mengambil minum.
Aku menggosok wajahku dengan kesal dan menendang pintu. "Shit! Awwwww!!!"