Aku menyeringai merasakan kepalaku yang berat dan berdenyut. Aku mengerjapkan mataku dan tersenyum. Wanita di sampingku yang kini tidur lelap dan nyenyak itu membuatku damai. Perjuanganku selama dua tahun pendekatan padanya tidak sia-sia.
Semalam aku mendapatkannya setelah kembali membuat ulah seperti biasa. Well, aku bukan pria sebaik Arion tapi aku pria yang terus berjuang untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, termasuk mendapatkannya. Kata Daddy yang merupakan super heroku 'kejar terus dan perjuangkan apa yang menjadi sumber kebahagiaanmu'.
Klasik memang ucapan Daddy, tapi toh aku menjalani prinsip itu.
Daddy, apa kabarnya ya?
Apa mereka masih suka mesum di depan umum ya? Orang tuaku, meskipun mereka terpaut usia yang sangat jauh toh mereka bahagia, bahkan sejak kami sudah besar mereka semakin mesra dan mesum. Yah, meskipun Daddy sih yang mesum. Aku rasa, aku mewarisi sifat mesumnya Daddy, sedangkan Arion mewarisi sifat galak dan dinginnya Mommy.
“Aku akan mengunjungi mereka saja setelah ini.” Putusku.
Mommy dan Daddy sekarang ada di Itali bersama kakekku yang sedang membangun peternakan dan aku bisa membayangkan bagaimana cerewetnya Mommy kalau Daddy tidak ikut ke sana.
Saat mata hitam bulat itu terbuka dan mengerjap untuk beberapa kali aku pun tersenyum.
"Morning, Sonya..." aku tersenyum lebar dan mengecup bahu telanjangnya.
"Kamu..." spontan dia kaget dan mendorongku. Dia duduk dengan bingung dan menatapku.
"kita,—"
"Ya, kita melewati beberapa jam yang sangat panas!" aku nyengir.
"Shit!" makinya kesal.
Dia segera menarik selimut dan itu membuatku terkikik geli.
"Nya..." panggilku.
"Don't say anythink, Kee!" teriaknya kesal.
Dia masuk kamar mandi dengan membanting pintu keras-keras.
"Astaga, dia lucu sekali. Semalam saja dia sangat hot di ranjang. Bagaimana bisa dia kembali galak seperti biasanya? Ck!" aku bangkit dari tempat tidur dan segera memakai boxerku karena aku baru ingat kalau di sebelah ada Arion dan Gabby, sahabatku yang cinta mati pada kakakku itu.
Mengintip!
Yahhh, aku akan mengintip mereka.
Aku segera membuka pintu pelan-pelan, berharap mereka berdua masih berpelukan mesra di tempat tidur. Akhirnya Gabby bisa menaklukkan gunung es itu.
“Sepi, mereka pasti belum bangun.” Aku terkikik geli membayangkan akan memergoki mereka berdua dalam selimut yang sama dengan wajah berseri.
Aku segera mengendap-endap, terdengar suara orang berbicara dari dapur.
“Arion?” aku mengerutkan dahiku.
Aku menoleh kearah jam dinding, waktu menunjukkan pukul 9.15am.
Aku rasa aku bangun kesiangan.
“Eh, wait! Kenapa Arion masih disini? Mereka ke Singapore kan pukul delapan pagi!” gumamku.
Akhirnya aku langsung menemui Arion tanpa mengendap-endap lagi.
"Pagi brother, bagaimana malammu? Kalian terlambat ke bandara karena terlalu hot yaa..." aku tertawa menyindir sambil menyalakan TV.
"Apa dia masih tidur?" tanyaku yang membuat Arion membeku seketika saat menatap layar Televisi. Aku mengikuti arah pandangan Arion.
"Aishhhh, pagi-pagi berita pesawat jatuh!" protesku.
"Jangan diganti!" pekik Arion histeris.
“Kenapa sih anak nih?! Bikin aku jantungan aja!” gerutuku.
"Singapore, Itu pesawat Gabby?" tanyanya padaku.
Aku menaikkan alisku. "Dia—"
"Aku harus ke bandara!" ucap Arion yang membuatku ikut syok.
Bandara?
****
Aku segera ikut masuk ke dalam mobil begitu Arion masuk ke mobilnya.
"Mau apa?" tanyanya heran sambil menatap padaku.
"Bandarakan? Kalian berdua bertengkar ya? Bagaimana bisa setelah elo dapat perawannya dan elo main lari gini?!"
Plak!!
Arion memukul kepalaku dengan kesal. Dia meraih ponselnya dan menyerahkan padaku.
"Telfonkan Sonya, katakan untuk ke kantor dan cek so—"
"Astaga!” aku menepuk keningku saat Arion menyebut nama Sonya.
“Gue lupa soal Sonya! tadi waktu aku keluar dia masih mandi sih," aku meringis dan segera mengetikkan nomornya yang sudah di luar kepala di ponsel Arion.
"Dia apa? Bagaimana elo—"
Aku meringis mendengar kata-kata Arion yang menggantung di udara.
"Jangan bilang elo—Oh, God, Shit! Jakarta ini banyak cewek cantik Kee, kenapa elo malahan nidurin pengacara galak gue sih?!" protes Arion kesal dan ini merupakan ucapan terpanjangnya selama dua tahun terakhir ini.
"Elo bakalan berurusan panjang dengan suaminya!" Arion geleng kepala.
"Dia sudah menikah?" kali ini aku kaget mendengar ucapan Arion.
Serius, aku tidak pernah membayangkan meniduri istri orang. "Lo becanda kan A? Elo cuma nakutin gue kan?"
Gugup!
Aku gugup setengah mati!
Bagaimana kalau suaminya tahu?
Aku bakalan mati!
Mommy?
Ya ampun, bagaimana Mommy?
Bagaimana—
Tin....tin... tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnn..........
"Woi... woi... A, awas!"
Bruakkk!
Suara tubrukan dan decitan ban mobil sangat menyakitkan telinga. Mobil membentur pembatas jalan dan berhenti saat menghantam rambu lalu lintas.
Aku mendongak dan rasa pening tiba-tiba menghantam kepalaku. Kurasakan ada sesuatu yang merambat dan mengalir di atas pelipisku. Aku menoleh ke arah Arion yang terlihat terluka lebih parah dariku.
"A," panggilku pelan.
Aku meringis saat menyadari rasa nyeri di perutku.
"Shit! Perut sexy ku," aku mencabut pecahan kaca yang menggores perutku.
"Hallo..."
"Nya, panggil ambulance..." bisikku.
"Hallo... hallo... brengsek lo ya, Kee! Gue—"
"Jalan Antasari, Nya! Call--am…bulan... Aaarrgghhh!" aku meringis.
"Hah? Ambulance? Lo becanda Kee?"
"Kee..." suaranya terdengar kawatir di telingaku.
Kenapa dia kawatir? Aku hanya pengacau dalam hidupnya.
"Maaf Nya soal semalam. Lupakan saja gu-e..." aku mengerjapkan mataku saat pandanganku berubah gelap. Semuanya tiba-tiba berubah gelap dan dingin.
Kurasa penyesalan terdalamku adalah aku mencintai dan meniduri istri orang.
God, jika ada kesempatan, aku janji akan berubah dan melupakannya.
Melupakan!
Melupakan cintaku...
****
Sonya
Aku mengutuk diriku karena terlena dengan pesona Keenan. Pria yang seharusnya aku jauhi dan pria terlarang untuk diriku karena dia adalah adik Arion—klienku.
Aku mendesah panjang saat menatap logam berwarna kuning yang melingkar pas di jari manisku.
"Bima, maafin aku..." aku meringkuk di dalam kamar mandi. Air mataku meleleh, saat kudengar suara pintu dibuka lalu ditutup, aku menyadari Keenan keluar dari kamar.
Bagaimana bisa semalam aku dan dia—astaga, aku tak pernah sefrustasi ini. Aku tak pernah merasakan dihargai, dimanja dan dipuja seperti yang dilakukan Keenan.
Bima?
Tidak! Bahkan dia selalu mengabaikanku.
Aku bangkit dan menghapus air mataku. Di dalam cermin yang memantulkan diriku yang sangat berantakan. Eye linerku sudah sedikit luntur, bibirku bengkak akibat ciuman panas semalam. Aku tidak terlalu mabuk saat Keenan menyeretku pergi karena aku berkelahi dengan salah satu wanita penghibur yang mendekati Keenan.
Gila?
Ya aku gila karena aku cemburu!
Aku tak tahu dimana Bima saat aku terbakar cemburu melihat wanita penghibur itu meraba-raba Keenan.
Beberapa kiss mark ada di leher dan mungkin ada di seluruh tubuhku.
"Bitch!" makiku pada diriku sendiri di cermin.
Aku menyalakan kran dan mencuci wajahku, dan aku akan mengabaikan apa yang baru saja terjadi antara aku dan Keenan.
"Sadar Sonya!" ucapku menyakinkan diriku sendiri.
Aku berdiri dan diam di pintu untuk beberapa menit. Sejujurnya aku bingung, bagaimana kalau Arion tahu? Apa dia akan berpikir aku wanita jalang yang suka menggoda laki-laki kaya?
"Hhh… masa bodoh!" umpatku yang segera membuka pintu dengan menghembuskan napa kasar.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dan tak mendapati Keena kembali, kamar ini terasa kosong dan sepi.
Apartement ini terdengar sangat sepi sekali. Aku mengernyit saat melihat fotoku di dalam ruang sidang yang terlihat serius terjepit di antara foto-foto keluarga Smith yang terpasang di sebuah tali yang melengkung di atas meja belajar Keenan.
Aku tersenyum kecut melihat fotoku itu serta tulisan dengan tinta permanen di meja Keenan, ‘I love you nyanya’. Dadaku terasa sesak membaca tulisan kecil itu dengan gambar beberapa hati terbang di atasnya.
Suara melengking lagu Geisha membuatku mencari di mana ponselku berada.
Aku segera meraih ponselku, di layarnya muncul wajah tampan Keenan dengan deretan giginya yang rapi, bersih dan putih.
Deg. Jantungku bergemuruh keras melihat wajahnya. Perasaan terlarang ini sangat menyiksaku setiap kali melihatnya, benar-benar menyiksa.
Aku masih diam menatap ponselku dan pada dering ketujuh aku menyerah lalu menganggakatnya.
"Ha-halo..."
Shit!Shit! Aku gugup sampai suaraku tidak keluar.
Aku menjauhkan ponselku dari telinga dan menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan debaran jantungku yang menggila.
"Hallo..." sahutku sambil memejamkan mata.
"..."
Aku menoleh ke samping dan menemukan foto Keenan sedang berciuman dengan seorang dokter.
Cemburu dan marah bercampur menjadi satu. Kembali perasaan terlarang itu muncul lagi.
"Hallo... hallo—“ panggilku karena telfon di seberang terdengar sedikit berisik. “—brengsek lo Kee! Gue—“
"..."
"Hah? Ambulance? Lo becanda Kee?!"
"..."
"Kee," ok masa bodoh dengan gengsi ku.
Kawatir?
Tentu aku kawatir.
Aku punya pengalaman buruk dengan ambulance.
Karena ambulance membawa Mama pergi untuk selamanya.
"Maaf Nya soal semalam, lupakan saja gu-e—“
"Ha-hallooo! Kee—KEENANNNNN!" aku berteriak keras tapi tidak ada sahutan lagi.
Jalan Antasari?
Apakah dia—apa terjadi hal buruk?
Keenan, dengan gugup aku menelfon ambulance tanpa berpikir lagi.
"Kumohon, tidak terjadi apa-apa..." aku berdoa dan berharap.
Kawatir? Ya aku kawatir padanya, tapi—melupakan? Bisakah aku melupakannya?
Cinta terlarangku—Keenan Smith.