Bab 2

Pagi ini udara cukup panas, langit terlihat gelap seakan-akan langit siap menumpahkan berjuta-juta liter air. Sejak diperjalanan aku sudah berharap-harap cemas, kawatir jika hujan turun secara tiba-tiba. Tapi Tuhan sangat baik pagi ini, setelah sepuluh menit duduk dikursi kerjaku hujan turun rintik-rintik.

"Nggak kehujanan mbak Nia?"

Aku menoleh dan mendapati Intan, pacar adikku sekaligus rekan kerjaku itu yang sedikit basah.

"Pagi-pagi berangkatnya," kataku sambil sibuk menyiapkan beberapa berkas.

"Welehhh, sudah sibuk banget nih kaya’nya ya?" tanya Intan yang meletakkan tasnya dan merapikan dandanannya.

"Eh, mbak dengar gosip anak-anak, pengganti pak Santo masih muda ya?" tanya Intan yang buru-buru mendekati mejaku.

Aku menaikkan kedua alisku dan kemudian geleng kepala sambil angkat bahu.

"Yahhhh… aku kira mbak Nia tahu. Kan calon bosnya mbak Nia," kata Intan kecewa.

"Coba tanya pak Roni, mungkin—"

"Aku tahu namanya Armandilo!" sahut Intan cepat-cepat sebelum menyelesaikan ucapanku.

"Armandilo?" tanyaku dengan suara pelan dan ingatanku kembali pada ucapan Byon kemarin sebelum aku pulang.

‘Tenang saja, dia udah ketemu kok! Udah di bumi lagi sekarang.’

‘Armand! Dia ada di Jakarta kata Ivon, dia udah ngabarin soal reuni ini.’

Dan sejak itu pikiranku sedikit terusik, debar itu masih saja muncul setiap nama itu disebutkan.

"Mbak!" seru Intan.

Spontan aku terlonjak karena kaget.

"Ehh, pagi-pagi melamun!" protes Intan yang ternyata sudah kembali ke mejanya.

"A—aku lupa sesuatu," kataku mengalihkan perhatian Intan. “—tapi nggak inget apa.” Aku meringis.

"Aku keruang meeting dulu. Mau siapkan semuanya, kalau pak Burhan datang katakan aku—"

"Iya, sudah di ruang meeting dan akan aku pesankan kopi dan teh untuk para tamu. Sippp!" kata Intan yang sudah hafal dengan titipanku jika ada meeting pagi-pagi.

Aku segera bergegas ke ruang meeting dan menyiapkan semuanya.

Tak lama Renata sekretaris pak Burhan datang menyerahkan bahan presentasi.

"Udah ketemu dengan bos baru mu?" bisik Renata.

Aku geleng kepala dan meliriknya yang tersipu malu.

"Kenapa?" tanyaku sambil menoleh ke arah Renata.

Aku tersenyum lalu meringis. "Pasti ganteng ya? Tuh muka udah kaya’ udang rebus!"

Kami berdua pun terkikik bersamaan.

“Ganteng abis!” sahut Renata.

“Ntar—“ Aku mengurungkan ucapanku ketika melihat pak Burhan masuk dengan beberapa petinggi perusahaan.

“Pagi,” sapa pak Burhan, Komisaris tertinggi di perusahaan tempat ku mengejar dollar.

"Sudah siap Nia?" Pak Burhan berjalan semakin mendekat ke arahku.

"Iya pak," sahutku sambil mengangguk.

“Sip! Kamu memang bisa diandalkan.” Pak Burhan tersenyum padaku.

“Pak, kalau tidak ada yang—“

“Tunggu saja sebentar di sini. Sebentar lagi akan ada perkenalan Manager baru. Kalian berdua tentunya harus saling mengenal terkait pekerjaan kalian.”

Aku dan Renata saling pandang dan mengangguk. Aku segera meletkkan beberapa berkas di tiap-tiap kursi.

“Selamat pagi,” sapaan lembut itu membuatku membeku beberapa detik.

“Tidak! Bukan dia,” gumamku pelan sambil geleng kepala.

"Nia, Renata... perkenalkan ini putra bungsu saya, sekaligus Manager Produksi yang baru di sini," kata pak Burhan sambil tersenyum.

Aku menarik napas panjang, segera saja ku letakkan berkas yang tersisa ditanganku dan berbalik menatap orang yang diperkenalkan pak Burhan sebagai Manager baruku.

Mataku membulat, mulutku sedikit terbuka—terkejut? Ya, aku terkejut, amat sangat terkejut.

"Renata, sekretaris pak Burhan," kata Renata dengan malu-malu serta tersenyum semanis mungkin.

"Armand," sahut pria jangkung yang berdiri di hadapan Renata sambil menjabat tangannya.

Jantungku berdegup cepat ketika mata kami saling beradu. Lidahku tiba-tiba terasa kelu, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Tenggorokanku tercekat dan tiba-tiba stok suaraku habis, ini seperti kisah Ariel dalam dongeng Little Mermaid yang tiba-tiba kehilangan suara emasnya.

"Armand," kata pria di hadapanku itu sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.

Aku hanya menurunkan arah mataku, menatap tangannya yang terulur padaku yang masih diam saja, aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat.

"Pasti salah," gumamku sambil memejamkan mata dan menggeleng pelan.

"Nia!" seru Renata pelan sambil menyenggol lenganku.

"Apa?" Aku membuka mata dan menoleh pada Renata.

Renata melirikkan matanya ke bawah dan aku baru tersadar.

"Oh." Aku tergagap melihat pria di hadapanku itu masih mengulurkan tangannya padaku dan menatapku tajam.

"Ni—Nia, Sonia!" kataku gugup dan segera menjabat tangannya dengan cepat.

"Kita bertemu kembali, lama tidak berjumpa," kata pria itu sambil tersenyum.

"Kalian saling kenal?" Pak Burhan tersenyum lebar dan menatapku dan pria di hadapanku ini bergantian..

"Iya."

"Tidak!"

Kami berdua menyahut bersamaan pertanyaan pak Burhan.