Bab 3

"Ni—Nia, Sonia!" kataku gugup dan segera menjabat tangannya dengan cepat.

"Kita bertemu kembali, lama tidak berjumpa," kata pria itu sambil tersenyum.

"Kalian saling kenal?" Pak Burhan tersenyum lebar dan menatapku dan pria di hadapanku ini bergantian..

"Iya."

"Tidak!"

Kami berdua menyahut bersamaan pertanyaan pak Burhan.

Pak Burhan dan Renata menatap kami berdua bergantian, terlihat jelas tatapan heran di wajah pak Burhan dan Renata.

Aku menggigit bibirku, untuk apa pria dihadapanku ini harus menjawab ‘iya’.

"Baiklah,—“ pak Burhan tersenyum padaku. “—mungkin ini urusan anak muda," kata pak Burhan menengahi ketegangan yang tercipta di antara diriku dan pria dihadapanku yang belum juga mengalihkan tatapannya dariku.

"Kita akan segera mulai meetingnya," gumam pak Burhan pada akhirnya.

"Bodoh," rutukku dalam hati, menghardik diriku sendiri.

“Baik pak. Kalau begitu saya permisi dulu.” Renata segera buru-buru keluar.

Aku menggigit bibirku karena harus tinggal di ruang meeting ini sebagai sekretaris Manager Produksi, dan mau tak mau aku duduk di sebelah putra bungsu pak Burhan.

***

Aku masih berpura-pura sibuk dan berharap semua orang segera keluar dan pergi makan siang tanpa perlu mengajak diriku. Aku tersenyum bahagia saat aku berbalik ruang meeting ini sudah kosong.

Aku berjengit kaget saat ponsel di kantong celanaku bergetar dan membuat pahaku geli.

"Hallo,By. Ada apa?" tanyaku sambil berjalan mendekati saklar dan mematikan lampu ruang meeting.

"Makan siang dimana? kebeteluan gue searah kantor lo nih, biasa ada janji sama klien." Katanya yang terdengar lelah karena macet.

"Belum tahu By. Ke tempat biasa aja lo mau?" Tanyaku sambil melayangkan pandanganku ke seluruh ruang meeting ini, memastikan semua sudah beres dan tidak ada yang terlewat.

"Okelah, kita ketemu di sana ya? Atau mau gue jemput?" tanya Byon lagi.

"Bentar," aku menoleh ke kiri kanan, mencari-cari keberadaan Intan.

Aku berdecak, Intan sedang sibuk berbicara dengan Armand.

Sial, kurasa hari ini kesialanku akan dimulai.

"Jemput ya, Intan lagi sibuk!" kataku akhirnya.

"Ok! Cepatan turun, perut gue udah protes terus dari tadi!" celetuk Byon dengan suara ketus seperti biasanya kalau dia kelaparan.

"Iya, sabar ya," sahutku yang kemudian mengakhiri panggilan Byon.

Aku duduk dikursiku, membereskan berkas-berkas yang sudah menumpuk dimejaku.

"Aku juga lapar," gumamku dalam hati yang aku tujukan pada berkas-berkas itu.

“Mana ya, kok nggak ada sih…” gumamku sambil membalik-balik berkas di mejaku.

“Byon bisa keluar tanduknya kalau gue lama,” aku berkacak pinggang menatap berkas di meja dan mendesah panjang. Mas Anto, OB di kantor juga cepat hilang kalau makan siang seperti ini, padahal aku mau titip untuk foto copy.

“Dimana ya?” Aku menggaruk leherku yang tidak gatal sambil mencoba mengingat dimana aku meletakkan berkas itu terakhir kalinya.

Aku berbalik, memunggungi layar laptopku dan menatap lemari di belakang kursiku sambil mengamatinya.

“Ck! Efek lapar memang dasyat! Dimana ya berkas. Lo kalo’ dicari aja nggak ketemu, giliran nggak dibutuh aja kelihatan depan mata. Sssshhh, oh iya di laci!” Aku berbalik dan segera membuka laci-laci mejaku.

"Ehm," suara seseorang membuatku kaget dan mendongak.

Muncul wajah Armand dengan senyum lebar terukir di wajahnya.

"Eh, ma—maaf saya tidak tahu anda di sini," gumamku pelan lalu berdiri.

Aku melirik Intan yang ada di mejanya sedang menatapku sambil meringis.

"Apa kamu sibuk siang ini?" tanyanya datar.

"Berkas-berkas anda akan saya siapkan setelah makan siang pak. Saya rasa tidak akan memerlukan waktu lama," kataku dengan suara gugup.

"Kenapa bicara formal denganku?" tanya Armand sambil mendengus kesal.

Dia memalingkan wajahnya dariku ke arah lain, aku meringis saat Intan tiba-tiba berpura-pura sedang menelfon seseorang ketika Armand menatapnya.

Aku menatap ponselku yang bergetar dan membuat sedikit suara di meja.

“Byon,” gumamku pelan, dia pasti sudah sampai di depan kantor.

"Um, maaf pak, saya ada janji makan siang dengan teman. Saya permisi dulu kalau anda tidak keberatan," kataku sambil meringis.

Armand menatapku tajam, aku tahu kini dia terlihat kesal dengan sikapku.

Aku segera menyambar tas ku tanpa mempedulikan Armand lagi.

“Aku akan mengatasinya nanti,” ucapku dalam hati.

Yang aku pedulikan saat ini adalah Byon yang akan meledak jika aku tidak segera turun.