Bab 4

“Lo pesan apa, By?" tanyaku sambil membaca buku menu yang diberikan pelayan pada kami. Meskipun aku sudah hafal semua menu di sini tapi aku tetap saja membaca menu yang tertera setiap kali datang kemari. Bisa dibilang aku dan Byon bisa makan di restoran ini tiga sampai empat kali dalam satu minggu. Resto ini terkenal murah dengan rasa yang lezat, aku bahkan sudah berlangganan hampir dua tahun terakhir, mungkin sejak aku bekerja diperusahaan tempatku bekerja saat ini yang bergerak di bidang Otomotif.

"Sate aja. Sama,—" Byon terdiam, dia menatap buku menu dihadapannya.

"Sate satu, ayam kalasan satu, juss strowbery satu sama,—“ aku mendongak, kembali menatap Byon yang masih serius dengan buku menu.”—apa By?" Aku mengetuk buku menu dihadapan Byon.

"Lemon tea dan kripik kulit mbak. Yang pedas ya…" Kata Byon.

"Eh, sama nasi capjay satu dan juss strowbery satu lagi!" kata Byon.

Aku mendongak menatapnya. "Elo laper atau apa?" Aku berdecak sambil geleng kepala mendengar pesanan makanannya yang begitu banyak.

"Hehehe, ada tamu satu lagi." Kata Byon sambil meringis.

"Lagi traktir klien ceritanya?" tanyaku penuh selidik.

Byon hanya nyengir, setelah membacakan kembali pesanan kami pelayan pun pergi meninggalkan kami berdua.

"Capjay, juss strowbery, Eh,—" aku berhenti berguman lalu menatap Byon cepat.

“By,—“

"Mand! Di sini!" pekik Byon sambil melambai ke arah belakangku.

Deg. Refleks aku menoleh ke belakang, mengikuti arah tatapn Byon.

“Armand,” gumamku pelan hamper seprti bisikkan.

Armand yang mengenakan kemeja biru muda dengan lengan kemeja yang digulung ke atas, tak lupa senyum ceria terukir di wajahnya.

"Hei! Apa kabarnya nih," sapa Byon sambil berdiri dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Armand ketika ia sudah berdiri berdiri di samping meja tempat kami duduk.

"Baik, sangat baik." Katanya dengan senyum lebar.

Aku mendengus dan cemberut melihat interaksi mereka, kenapa dia selalu mengekor di belakangku?—sama seperti dulu waktu kuliah.

"Kebetulan saja, Nia." Kataku dalam hati, menenangkan kegelisahan yang ditimbulkan karena efek bertemu Armand setelah sekian lama.

"Nia!" seru Byon dan menyadarkanku dari diskusi monolog antara otakku dan hatiku.

"Bisa geser dikit? Lo mau Armand berdiri aja di situ!" tegur Byon sambil mengibaskan tangannya meminta diriku untuk bergeser.

"Ups, sorry!" sahutku pura-pura sambil meringis.

Saat aku akan bertanya kenapa tidak duduk saja di sebelah Byon aku mngurungkan niatku karena kursi di samping Byon penuh dengan barang bawaannya. Seharusnya tadi aku menyarankan dia untuk meninggalkan barang-barangnya di mobil saja atau menawarkan kursiku yang ditempati barang-barangnya itu.

"Hai Nia," sapa Armand ketika duduk di sebelahku sambil tersenyum dan melambai.

"Ha—hai," sahutku gugup.

"Hei, kalian berdua kenapa?" tegur Byon.

"Walaupun kalian berdua udah putus, nggak perlu canggung gitu kali!" Byon terkikik.

Aku melotot ke arah Byon, sejak kapan aku putus dengannya? Dan sejak kapan aku pacaran dengannya?

Aku menoleh ke arah Armand yang tertawa, bisa-bisanya dia ikut tertawa seperti itu.

"Apa yang elo ketawain? Huhh!" protesku galak pada Armand.

"Aku senang kamu masih sama seperti dulu," ujarnya sambil menepuk punggung tanganku yang ada di meja.

Aku kaget dan segera menarik tanganku. Byon terkikik melihatku merona merah antara kesal, kaget dan malu. Dia tahu benar bagaimana perasaanku pada Armand.

Dulu sewaktu di kampus, aku dan Armand memang akrab sekali sampai tidak terpisahkan. Dimana ada aku, di situ pasti akan ada Armand sampai gosip menyebar bahwa kami berdua berpacaran dan sampai akhirnya Armand mengakui bahwa dia jatuh cinta pada mahasiswi ekonomi yang cantik dan tentu saja seumuran dengannya. Di antara teman-teman kuliah, aku lebih tua dua tahun karena begitu lulus SMA aku tidak langsung melanjutkan kuliah. Aku lebih memilih istirahat, menikmati perjalanan tour ke Milan dengan kakak sepupuku Nathania dan Athena. Sejak Armand berpacaran dengan gadis lain, aku mulai menjaga jarak dengannya bahkan memutuskan hubungan dengannya. Sampai akhirnya aku bertemu kembali pagi ini.

"Pesanannya mbak," kata pelayan yang tadi mencatat pesanan kami sambil datang membawa pesanan kami.

Inilah kelebihan lain restoran ini, selain murah dan enak yaitu cepat.

Aku mendesah melihat makanan ini. Selera makanku sudah hilang saat aku melihat wajah Armand.