"Sonia," panggil Byon yang menyadarkanku dari lamunanku di masa lalu.
Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Perasaan ini masih ada,By." Seolah aku berbicara begitu padanya.
"A—apa kubilang! Jangan terlalu pedas juga pesennya!" protes Byon sambil tersenyum kaku.
Aku tertawa kecil mendengar ucapan Byon. Aku lebih memilih memalingkan wajahku kea rah luar, menatap jalan raya yang sudah mulai basah karena hujan.
"Sini," Armand tiba-tiba mencicip makanan yang aku pesan untukku tadi.
Aku dan Byon saling pandang, menatap Armand seolah ini hal aneh meskipun dahulu dia sering seperti ini padaku.
"Sekarang nggak suka pedas ya?" tanya Armand setelah mencicip makananku yang sebenarnya tidak terasa pedas di lidahku.
"Eh, i—iya," sahutku ragu.
"Jangan dimakan sambelnya," katanya lembut.
Allah mencintaiku... selamanya...
Bunyi nada dering ponsel Byon membuat kami bertiga menatap Byon.
“Wait,” katanya tanpa suara sambil mengangkat tangannya supaya aku tidak menginterupsinya.
"Hallo." Kata Byon terdengar ragu. "Oh,hai!"
Aku menatapnya, mencoba menebak kira-kira siapa yang menelfonnya dan membuatnya memekik riangseperti itu.
"Sebentar," kata Byon yang berdiri dan berjalan menjauhi meja kami.
Aku geleng kepala dan kembali melanjutkan makan siangku, aku berharap bisa segera menghabiskan makananku dan segera kembali ke kantor.
Aku kembali menatap Byon yang terlihat bahagia. Byon lama sekali, kalau aku dan Armand ditinggal berdua seperti ini terasa canggung dan aneh. Aku melihat jam di tanganku.
"Istirahat masih lama kok," sahut Armand.
"Hm? Oh, iya," aku menarik bibirku ke atas dengan kaku lalu kembali diam dan melanjutkan makanku.
Aku benar-benar sudah kehilangan selera makan saat ini dan ini karena pria yang duduk di sebelahku.
"Setelah lulus kamu ke mana?" tanya Armand mencairkan ketegangan di antara kami.
"Kamu tiba-tiba hilang," gumamnya pelan dengan suara aneh yang terdengar seperti kesal.
"Oh, aku pergi ke Milan. Mengunjungi sepupuku di sana," sahutku gugup dan lagi-lagi aku menarik sudut bibirku ke atas dengan kaku. Aku berhenti menyendok makananku dan meminum juss yang ada di hadapanku.
"Jadi sejak kapan kamu kembali ke Indonesia?"
Aku menoleh menatapnya, kenapa dia jadi manusia yang ingin tahu kehidupan orang lain?
"Tiga tahun lalu,” sahutku singkat.
"Itu artinya selama tiga tahun kamu di Milan?" tanya Armand.
Aku mengangguk pelan, lalu aku menoleh pada Byon yang tak kunjung masuk. Aku tidak ingin Armand menggali hidupku enam tahun terakhir ini—dia bukan siapa-siapaku yang berhak tahu apa yang aku lakukan selama ini. Semuanya tidak ada manfaatnya! Baik untukku ataupun untuknya.
"Jadi—"
"Bagaimana kabar Ivon?" potongku cepat menyela kata-kata Armand.
Dia terdiam sesaat dan menatapku dengan tatapan yang aku tidak tahu apa artinya. Dia tersenyum kecil lalu menarik napas dalam-dalam.
"Baik," jawabnya singkat tanpa ekspresi apa-apa.
Aku tersenyum kaku dan mengangguk, “Mereka masih menjadi pasangan.” Gumamku dalam hati.
"Sorry lama!"
Aku kaget saat Byon tiba-tiba bersuara dan duduk kembali di kursinya.
"Kalian kenapa?" tanya Byon sambil menatapku.
"Tidak apa-apa kok.” Aku tersenyum kecil “Apa ada masalah?" Tanyaku lagi karena melihat Byon yang terlihat cemas.
"Oh ya Mand, apa kantormu dari sini jauh?" tanya Byon.
"Tidak. Ada apa? Mau mamp—"
"Gue masih ada kerjaan By! Gue nggak bisa mampir ke kantor Armand!" potongku cepat sebelum Armand menyelesaikan ucapannya dan sebelum Byon mengluarkan ide gilanya.
Armand menoleh ke arahku dengan alis berkerut.
"Bukan… Bukan..." Sahut Byon sambil mengibaskan tangannya di depanku.
"Aku memang berniat mampir ke kantor Armand, tapi bukan hari ini. Aku ada janji dengan klien," kata Byon sambil memasukkan ponselnya dan memanggil pelayan, memberitahu pelayan itu supaya membungkus satenya yang belum sempat ia makan.
Aku menatapnya bingung ke arah Byon .
"Mand, bisa kamu tolong aku dan antarin Sonia ke kantornya? Nggak jauh kok, yaa... pleaseeeee" pinta Byon dengan wajah memelas.
Aku melotot ke arahnya. Bagaimana bisa dia menyuruhku menumpang di mobil Armand, sementara dia tahu hubunganku dengannya tidak sebaik beberapa tahun yang lalu.
"Iya, nanti Sonia akan aku antar, kalau dia mau dijemput pulang juga tidak apa-apa. Kan kita—"
"Tidak perlu! Aku bisa balik kantor naik TJ, dekat juga," sahutku cepat sebelum Armand menjelaskan bahwa dia adalah atasanku di kantor saat ini.
Aku melirik Armand yang kembali menatapku begitu mendengar ucapanku.
"Tidak apa-apa Sonia, aku sama sekali tidak keberatan," sahut Armand pelan sambil menatapku.
"Oke! Gue pergi dulu ya, kalian lanjutkan aja makan siangnya. Kalau pulang, dia nggak perlu kamu anter. Dia bisa pulang sendiri, kadang body guardnya jemput soalnya," kata Byon sambil membereskan barang-barangnya.
"Ngapain sih Byon promosi segala!" seruku dalam hati.
Aku mendesah kesal ketika melihat Byon benar-benar sudah hilang dari pandanganku, kalau aku tahu akan seperti ini, aku lebih mmilih makan siang di kantin kantor saja daripada satu meja dengan Armand.
"Kamu sudah selesai makan?"
Aku menoleh, menatap Armand sesaat sebelum akhirnya meminum jus di depanku. "Iya," jawabku singkat.
Aku mengabaikan desahan napas Armand, aku tidak ingin mengingatnya atau pun peduli dengannya. Bagiku dia hanya masa lalu yang harus aku lupakan.
"Kamu nggak suka aku muncul lagi dalam hidup kamu?" tanya Armand sambil mengeluarkan dompetnya dan melambai pada pelayan supaya datang.
"Aku saja yang bayar!" seruku tanpa menghiraukan pertanyannya.
"Tidak usah. Kamu traktir aku lain kali," katanya.
Dia tersenyun pada pelayan yang datang lalu membayarnya.
"Ambil saja kembaliannya mbak," katanya sambil tersenyum manis.
"Tidak akan ada lain kali!" jawabku pedas.
"Pasti ada, semakin kamu menghindariku semakin aku akan mendekatimu." Katanya yakin sambil menatapku.
"Hhh, benar juga…" Gumamku pelan.
Aku tahu pasti bagaimana Armand. Jika dulu dia berusaha mati-matian supaya bisa berteman denganku, kali ini aku tidak akan mengijinkannya, dia tidak akan bisa berbuat hal yang sama padaku—aku bukan Sonia yang dulu dia kenal.
***
Di dalam mobil aku hanya diam, memandang ke jalan tanpa ingin bersuara atau menatap Armand. Hujan turun rintik-rintik ketika mobil ini berhenti di persimpangan lampu merah. Orang-orang mulai berlari dengan buru-buru mencari tempat berteduh. Para pengendara motor mulai menepi dan sibuk memuka jok motornya, mengeluarkan jas hujan dan dengan asal menggunakan jas hujannya karena hujan yang turun semakin deras. Jalanan yang biasanya macet itu kini sedikit lengang, mungkin karena hujan yang tiba-tiba turun dengan deras mengguyur ibu kota siang ini.
“Wah, sudah lama nggak main hujan.” Armand bergumam pelan sambil bersiul riang.
Begitu lampu menyala hijau, Armand segera menjalankan kembali mobilnya.
Begitu gedung kantorku terlihat aku segera melihat ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada seseorang yang akan mengenaliku. Aku mengurungkan niatku yang ingin turun di pintu parkir karena melihat beberapa karyawan yang aku kenal. Aku buru-buru menutupi wajahku ketika melihat pak Umar, satpam gedung ini yang biasanya mengantarkan pesanan makananku.
"Kamu takut padaku?" tanya Armand ketika membelokkan mobilnya mencari tempat parkir.
"Kenapa aku harus takut?" tanyaku kesal.
"Di depan Byon, dua kali kamu menolak tawaranku, di depan papa kamu bilang kamu tidak mengenal ku, lalu di depan petugas parkir kamu menutup wajahmu dan—"
"Sejak kapan sih kamu itu jadi sinetron banget!" protesku kesal.
"Aku tidak takut dengan mu dan aku tidak menghindarimu!" Seruku kesal.
"Baiklah,” Armand menaikkan bahunya lalu tersenyum, “kita lihat saja nanti.” Lanjutnya sambil tersenyum semakin lebar.
“Kamu tahu pasti aku bagaimana," Armand tertawa gelak dan tentu saja itu membuatku kesal.
Begitu Armand menghentikan mobilnya, aku segera beranjak turun dengan perasaan kesal mencapai ubun-ubun.
“Sonia,”
Aku berbalik dan menatapnya kesal. “Berhenti menggangguku!” kataku ketus dan sedikit keras karena kesal.
“Astaga!” pekikku kaget, bagaimana aku tidak kaget jika saat berbalik wajah Intan muncul sambil tersenyum lebar.
Bahkan Intan datang bersama Renata serta Rina, si mulut ember yang suka bergosip di kamar mandi dengan staff lainnya. Rina bahkan tahu gosip terhangat dari staff di lantai tujuh—lebih tepatnya lantai tempatku berada.
"Hai mbak Ni—a," sapaan Intan yang ceria dan centil itu terhenti tiba-tiba, tangannya yang terangkat ke udara melambai itu berubah menjadi terkepal dan menggaruk kepalanya.
Aku melirik dari ekor mataku setelah mendengar suara pintu mobil dari sisi sopir tertutup. Aku yakin Armand kini tersenyum lebar dengan wajah tanpa dosanya.
"Ha—hai," sahutku sedikit gugup.
Intan, Renata dan Rina menatapku dengan wajah yang jelas-jelas terlihat terkejut bercampur tanda tanya besar.
"Selamat siang," sapa Armand yang terdengar ramah.
Aku menggertakkan gigiku menahan kesal sambil tersenyum kaku. "Kenapa sih dia harus beramah tamah!" protesku dalam hati.
"Siang Pak Armand, baru makan siang pak?" tanya Renata sambil tersenyum genit.
"Iya. Baru makan siang, untung tadi ketemu Nia. Jadi dapat info tempat makan yang enak," Armand tertawa dan rasanya ingin kulempar sepatuku ke wajahnya yang tersenyum lebar itu.
"Kapan-kapan bisa makan bareng kita juga pak! Di daerah Kemang ada makanan enak juga pak!" sahut Intan.
"Oh,ya? Wahhh, saya sudah lama tidak di Jakarta jadi tidak tahu dimana makan enak. Dulu waktu saya kuliah ada teman gadis saya yang masakin buat saya, jadi jarang jajan di luar." kata Armand sambil berjalan menuju lift.
"Pacarnya pak?" tanya Rina terang-terangan dan terlihat antusias—yah, antusias mengumpulkan gosip panas calon direktur utama.
"Maaf, pak Armand ini sudah punya pacar ya pak?" tanya Rina lagi, sepertinya dia ini punya naluri reporter.
"Duluan aja ya, aku mau ke mas Anto ambil foto copy-an," kataku pada Intan, aku tidak ingin mendengar lagi pertanyaan-pertanyaan Rina pada Armand.
"Nia," panggil Armand sebelum masuk lift.
"Sekalian tolong bawakan minuman seperti biasanya ya!" Katanya sambil tersenyum.
Aku merengut dan kesal, kenapa dia harus mengucapkan kata ‘seperti biasanya'.
"Iya!" sahutku kesal lalu segera berbalik tanpa mau menghiraukan mereka lagi, tapi aku masih sempat mendengar Rina, Renata dan Intan bertanya sebelum pintu lift tertutup dan membawa mereka pergi.