Saat aku masuk membawakan segelas es jeruk ke ruangan Armand, dia masih sibuk membaca berkas-berkas yang kuserahkan tadi sebelum makan siang.
"Terima kasih," sahutnya ketika aku akan berbalik hendak pergi.
"Nia, bisa kita bicara?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas-berkasnya.
"Soal apa?" tanyaku yang mulai tersulut amarah.
Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, yang aku tahu aku kesal setengah mati tanpa alasan jelas pada Armand.
"Selain pekerjaan aku tidak bisa, masih banyak yang harus aku kerjakan!" kataku lalu berbalik, mengabaikan Armand.
"Lalu kapan kamu ada waktu?"
Aku berhenti melangkah saat tiba-tiba saja Armand sudah berdiri di hadapanku.
"Apa sih mau mu?" tanyaku dengan nada kesal.
"Mau ku?" Armand berjalan mengelilingiku dan itu sangat membuatku tidak nyaman.
"Aku mau kamu tidak menghindariku dan kita bisa seperti dulu," ujarnya lalu berhenti tepat di belakang ku.
"Seperti dulu? Astaga, kita sudah bukan mahasiswa. Kita sudah dewasa!" Kataku mengingatkan.
"Apa enaknya menjadi dewasa,—“ bisik Armand di telingaku yang membuat bulu kudukku meremang. “—kamu yang mengatakan hal itu, apa kamu ingat?" tanya Armand melanjutkan bisikkannya.
"Hufft," aku mendengus pelan, bagaimana aku lupa saat-saat dia menginap di rumah yang di kontrakkan orang tuaku untukku, dia takut mendengar anggapan orang dan saat itu aku mengatakan ‘Apa enaknya jadi dewasa’.
Aku mendongak menatap Armand yang berdiri di hadapanku.
"Dengar Nia, kita bisa seperti dulu bukan?" tanyanya sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
Mata kami saling bertemu, kutatap wajahnya yang sedikit tirus namun kini dia jelas lebih tampan daripada dulu waktu kami masih kuliah—mungkin karena dia sudah dewasa.
"Pak,"
Aku berusaha mundur saat sayup-sayup mendengar suara Intan, tapi bukan. Tidak ada siapa-siapa yang muncul dari balik pintu.
"Aku—"
"Maafkan aku," bisiknya pelan sambil menyentuhkan dahinya pada dahiku.
"Lepaskan!" kataku sambil berjalan mundur dan mengehempaskan tangannya yang membingkai wajahku.
"Pekerjaanku masih banyak!” seruku cepat.
Aku menggigit bibirku, membasahinya dengan lidahku lalu memandang kea rah lain dengan gugup. Jantungku berdebar seperti bunyi gendering, dan aku berharap Armand tidak mendengarnya.
“Aku—aku, aku mau melanjutkan kerjaanku!" kataku yang segera berjalan ke luar dari ruangan Armand.
Kepalaku terasa berdenyut-denyut apalagi saat melihat Intan, dia segera berdiri dan bersiap bertanya sesuatu padaku, namun dengan cepat aku segera berpura-pura sibuk dengan mengambil beberapa ordinary.
"Mbak," Intan berdiri di hadapanku.
"Eh?” Aku menatap Intan, berpura-pura kaget. “Sudah mau pulang ya?" Tanyaku pada Intan yang berdiri di hadapanku dengan dan terlihat canggung.
“Apa tadi benar-benar Intan? Atau hanya halusinasiku saja ya?” tanyaku dalam hati.
"Iya, nggak pulang mbak?"
Pertanyaan Intan membuatku sedikit kaget.
"Sebentar lagi, duluan aja. Tanggung nih," aku mengangkat beberapa berkas dan tersenyum kecil.
“Udah sono! Hati-hati ya,” kataku lagi lalu menatap berkas-berkas di meja.
"Mbak,"
Aku hampir saja memekik kaget ketika Intan kembali memanggilku.
Aku menatap Intan dan mengikuti kemana pandangannya terarah. Aku mendesah saat dia menatap pintu ruang kerja Armand.
"Apa pak Armand berbuat aneh-aneh sama mbak Nia?" Bisiknya pelan sambil sesekali melirik kea rah pintu ruang kerja Armand.
"Aneh?” Aku menaikkan alisku. “Si—siapa?" tanyaku bingung.
"Itu,—” Intan mengedikkan dagunya kea rah ruang kerja Armand. “—Manager baru!”
Aku menoleh kea rah ruang kerja Armand yang masih tertutup rapat. Pintu cokelat besar itu terlihat tidak akan dibuka dalam waktu cepat.
“Pak Armand sepertinya mengintimidasi mbak Nia ya?" Intan terlihat penasaran hingga dia memajukkan tubuhnya padaku.
Aku menaikkan kedua alisku, bagaimana bisa Intan berpikir Armand mengintimidasiku? Meskipun menyebalkan, Armand tidak bisa membuatku takut.
"Ke—kenapa bicara begitu? Pak Armand kan orang baru di sini, rasanya wajar kalau pak Armand banyak tanya dan sering meminta ini itu," sahutku sambil tersenyum kaku.
"Hm, begitu ya?" tanya Intan sambil mengangguk-angguk.
"Apa—"
"Sebentar," kataku memotong ucapan Intan lalu mengangkat telfon di mejaku yang berbunyi.
"Kamu sudah mau pulang?" tanya orang di line seberang.