"Kamu sudah mau pulang?"
Pertanyaan yang terlontar sebelum aku mengatakan hallo itu membuatku menahan napas untuk sesaat.
Aku mendesah panjang, seharusnya aku tidak mengangkat panggilan telepon ini jika saja aku tahu Armand yang menelepon.
"Belum. Ada apa?" tanyaku dengan nada kesal.
"Bisa masuk sebentar? Aku tidak mengerti tentang laporan ini. Jika kamu tidak keberatan,—" dia terdiam dan menggantung ucapannya dan itu berhasil membuatku menggeram kesal.
"Baiklah." Kataku akhirnya.
"Siapa?" tanya Intan.
"Byon,” aku tersenyum menatap Intan. “—sudah, Pulang sana sebelum hujan. Kamu kan naik motor…" kataku sambil mengibaskan tanganku, bermaksud mengusirnya supaya dia tidak curiga jika aku masuk ke ruangan Armand. Jika saja Intan tahu Armand yang menelfon pasti dia akan berdiri di sini seperti bodyguard yang siap membela tuannya.
“Sana-sana…” Aku kembali mengibaskan tanganku pada Intan karena dia masih saja berdiri di hadapanku.
"Okelah mbak, duluan ya… daaa..." Katanya yang segera pergi.
Begitu Intan hilang dari pandanganku, cepat-cepat aku membereskan berkas-berkas dan semua pekerjaanku yang menumpuk di meja.
Aku kembali menatap mejaku dan memastikan semua sudah beres jadi setelah membantu Armand sebentar aku bisa segera langsung pulang.
“Ok!” Aku mengangguk lalu berjalan menuju ruang kerja Armand.
“Masuk!” serunya ketika aku mengetuk pintu.
Begitu aku membukanya, terlihat dia menunduk dan serius dengan berkas yang ada di mejanya. Terlihat jelas kalau dia tidak mengerti sesuatu. Kerutan di keningnya dan garukkan kecil dilehernya adalah tanda dia sedang kebingungan, itu adalah yang aku pelajari selama aku mengenalnya.
"Ehm,—" aku bersuara supaya dia melihatku dan menyadari kehadiranku. "—apa yang bisa kubantu?" tanyaku melanjutkan karena dia masih saja menunduk.
“Ap—“
Armand mendongak, menatapku yang berdiri tegak dihadapannya dan tentu saja tatapan tajamnya itu membuatku terdiam.
“Sadar Nia!” seruku mengingatkan diriku untuk tidak terpengaruh dengan pesona Armand yang menurutku sangat mematikan bagiku.
"Um, Mana yang kamu tidak mengerti?" tanyaku sambil berjalan mendekat padanya.
Armand tersenyum padaku lalu meletakkan bolpoin dari tangannya.
"Aku tidak mengerti apa alasanmu menghilang begitu saja," gumamnya.
“Astaga, ternyata ini jebakan!” desahku dalam hati.
"Jadi ini urusan diluar urusan kantor?" tanyaku sambil bersedekap dan menatap kesal padanya.
Armand tertawa kecil, dia bersandar dikursinya lalu memainkan bolpoinnya yang ada di meja.
"Sebaiknya aku pulang saja, sebentar lagi—" Aku terdiam saat tiba-tiba hujan turun dengan deras seolah alam memintaku untuk terus berada di dekat Armand.
Armand menoleh ke luar dan tersenyum kembali. Dia tahu, aku takut naik kendaraan sendiri saat hujan deras seperti ini.
"Duduklah di sini sebentar, atau kita bisa pergi ke cafe di seberang. Minum kopi, bagaimana?" tawar Armand dengan senyum kemenangan.
"Sebaiknya aku pulang kalau memang tidak ada yang bisa aku bantu soal pekerjaan. Selamat sore pak Armand," kataku sambil tersenyum dan sedikit membungkuk hormat lalu berlalu meninggalkannya.
Aku akan menunjukkan pada Armand bahwa aku bukan Sonia Redlyn yang dia kenal semasa kuliah, aku berbeda.
“Aku tidak akan terpengaruh!” kataku dalam hati.
Ketika aku akan meraih handle pintu, tiba-tiba aku mendengar Armand membisikkan sesuatu di telingaku. Tentu saja hal itu membuatku sangat kaget, sejak kapan dia meninggalkan kursinya dan berjalan cepat di belakangku.
Aku menoleh dengan cepat sampai membuat leherku terasa sakit. Armand kini berdiri sangat dekat denganku. Aku bahkan bisa mencium aroma tubuhnya, wangi parfumnya masih sama seperti dulu.
Aku menelan salivaku saat melihat matanya yang menatap tajam kearahku, seolah memperingatkan aku akan suatu bahaya.
"Minggir!" seruku keras karena dia mendesakku menempel dengan pintu dan tak memberiku ruang gerak antara tubuhnya dan pintu ruang kerjanya.
"Bisa kita ulang kembali?" tanyanya.
"A-apa?" tanyaku sambil melotot padanya, bermaksud membuatnya takut karena aku marah, tapi yang ada suaraku terdengar gugup dan bergetar.
Armand tertawa kecil dan itu membuatku semakin jengkel. "Kamu bersedia?" tanyanya sambil menyeringai.
"Menjauhlah sedikit! Kamu menjepitku!" protesku.
"Kamu tahu—"
"Aku tidak ingin tahu!" seruku sambil mendorong tubuhnya supaya menjauh dariku. Namun itu sepertinya hal yang sia-sia. Aku mendengus kesal dan memalingkan wajahku ke arah jendela.
"Baiklah,—" kataku akhirnya. "—kita mulai dari awal..." Lanjutku.
"Mulai dari awal? Maksudmu dari kita berkenalan?" tanyanya sambil tertawa sumbang.
Aku mengangguk dan tentu saja Armand tidak setuju, terlihat dari tatapan tajamnya padaku.
"Aku harus pulang!" kataku dengan penekanan pada kata pulang.
"Jadi, menyingkirlah..." Pintaku.
"Aku boleh mengantarmu?" Tanyanya.
"Tidak! Aku bawa mobil dan aku tidak ingin merepotkan siapa-siapa!" sahutku Ketus.
"Hm—" Armand menggosok-gosok dagunya seperti orang yang sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Armand," geramku kesal karena dia tidak juga menyingkir dari hadapanku.
"Menyingkirlah, kita bukan anak kecil lagi..." Kataku hampir putus asa.
"Kenapa kalau kamu mau kita seperti dulu, kita harus mulai dari awal? Kamu bahkan terlihat takut dan kesal padaku." Armand menaikkan alisnya sambil menatapku tajam.
Mulutku terkunci rapat, tidak ada satu kata yang bisa aku katakana untuk menyanggah ucapannya. Apa yang dia katakana memang benar, aku takut dan kesal. Aku bukan takut padanya, tapi aku takut pada diriku sendiri—pada perasaanku sendiri lebih tepatnya.
Aku menghembuskan napas panjang dan itu membuat Armand mengerutkan dahinya. Rasanya aku ingin mengulurkan tanganku dan mengusap kerutan di dahinya yang membuatnya cemas. Aku mengepalkan tanganku untuk menahan supaya aku tidak mengulurkan tanganku seperti dulu saat kami masih bersama.
“Arm—“
"Ahh, tapi memang begitulah dirimu saat bertemu teman pria untuk pertama kalinya, meskipun hanya ingin berkenalan,—“ sudut bibir Armand tertarik ke atas, “—selalu galak.” Katanya keumudian sambil tersenyum lebih lebar.
“Hhhhh...ya sudahlah," ujarnya kemudian lalu memundurkan kepalanya sejenak lalu berbisik padaku yang membuat jantungku berdebar cepat.
Dia berbalik menjauh dariku, membiarkanku bebas dari cengkeramannya. Tapi kata-kata yang dia bisikkan benar-benar mengusikku—aku masih Armandilo mu.
"Pulanglah dan hati-hati," ucapnya yang terdengar seperti ejekan.