Bab 9

"Pulanglah dan hati-hati," ucapnya yang terdengar seperti ejekan.

Dengan kesal aku pun segera pergi meninggalkan ruang kerja Armand.

Aku berjalan ke mejaku dan mengambil tas dan beberapa berkas yang sudah aku siapkan untuk aku kerjakan di rumah.

“Ok, udah semua,” gumamku pelan. Setelah melihat tidak ada lagi yang tertinggal aku segera berjalan menuju lift sebelum hujan bertambah deras, namun saat kilat putih berkelebat di kaca dan petir yang terdengar menyambar bersahut-sahutan aku berjengit kaget dan menjadi takut. Lututku terasa sedikit gemetar dan jantungku berdebar cepat, aku tidak suka dengan hujan disertai petir seperti ini.

Aku merogoh tasku dan mencoba menelfon Romi tapi itu sia-sia, aku baru ingat kalau hari ini dia naik busway, pagi ini aku sengaja bawa mobil sendiri karena Romi bilang akan kencan dengan pacarnya—Intan. Dan Intan sudah pulang sejak tadi.

"Hhh, nasib-nasib..." Gumamku pelan.

“Terpaksa naik ojol deh,”

Aku segera menggeser layar ponselku, membuka aplikasi dan sial—ponselku langsung mati karena lowbatt.

“Arghhh!” Aku terpaksa berjalan kembali ke mejaku, mencoba memesan taxi dari telfon kantor.

“Arghhh!” kembali aku kesal karena tidak ada yang mengangkat telfonku. Hujan deras seperti ini memang susah mencari taxi. Para supir taxi itu pasti tidak mau taxinya kotor karena penumpangnya kehujanan.

“Tunggu di depan aja deh!” Aku meletakkan telfon kantor dan berjalan kembali menuju lift.

Aku mendengus dan menghembuskan napas dari mulut, mendongak menatap layar LED yang menunjukkan angka tiga. Ku ketukkan ujung sepatuku di dinding dengan gusar, sesekali aku berjengit dan memekik saat kilat menyambar.

“Abaikan Nia,” bisikku pelan.

"Bagaimana kalau tiba-tiba mati lampu dan liftnya tertutup nggak bisa dibuka? Terus nggak ada orang yang tahu," gumamku gusar dan dengan cepat aku menggelengkan kepalaku, menyingkirkan pemikiran yang tidak-tidak yang kini bergentayangan di kepalaku.

"Pakai tangga darurat? Yang benar saja, gue di lantai tujuh, bisa rontok tulang-tulang gue kalau turun pakai highheels begini," aku menggigit bibirku dan berjalan mondar-mandir di depan lift.

"Tunggu orang, tidak mungkin juga. Satu-satunya makhluk di lantai ini selain aku hanya Armand. Menunggu dia? Astaga, dia nanti akan besar kepala!"

Rasanya aku ingin menangis, karena aku yang takut pada hujan deras dan petir. Sebenarnya ketakutan terbesarku adalah merasakan rasa sakit, bagaimana jika aku tersambar petir dan tidak langsung mati tapi tersiksa dulu. Aku bergidik ngeri membayangkannya. Banyak berita di Koran, orang mati karena tersambar petir.

Aku berdiri lemas di depan lift tapi pandanganku tertuju pada pintu tangga darurat.

"Hufttt!" Aku menunduk lesu dan berjalan menuju lift.

Saat tanganku terulur hendak memencet tombol lift, ada jari seseorang yang memencetnya lebih dulu. Aku bersyukur dan mendesah lega karena aku tidak sendirian, namun senyumku hilang saat melihat wajah Armand tersenyum ceria padaku.

"Kenapa harus dia?!" gerutuku dalam hati.

"Maaf, nunggu lama ya?" tanya Armand.

"Siapa yang menunggu kamu! A—aku hanya—"

"Sudah tidak apa-apa," potong Armand sambil menarik tanganku dan mengajakku masuk ke dalam lift yang sudah terbuka. Aku terdiam untuk sesaat, kejadian ini terasa seperti saat dulu kami masih kuliah.

"A—aku bisa jalan sendiri!" seruku sambil menarik tanganku.

Aku berjalan mundur di belakang Armand. Dia terlihat tinggi sekali dan tinggiku hanya sampai sebahunya. Pandangannya lurus ke depan dan terlihat gelisah. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyumnya yang mengembang sejak tadi pagi. Ketika sampai di lantai empat, lift terbuka dan beberapa karyawan bagian pemasaran masuk.

"Hai Nia!" seru seseorang menyapaku dan membuatku kaget.

Aku mendongak mencari sumber suara yang menyapaku. Tampak wajah Damian, tersenyum simpul ke arahku.

"Hai!" sahutku riang sambil melambai dan tersenyum lebar.

Aku sedikit bersyukur karena dari beberapa orang di dalam lift ini selain Armand ada yang aku kenal. Mungkin aku bisa menumpang mobil Damian.

"Kapan pulang dari Vietnam?" tanyaku dengan riang.

Damian berjalan mundur, berdiri sejajar di sampingku tanpa mempedulikan Armand yang ikut mundur dan berjajar di sampingku.

"Hari ini aku baru masuk kerja. Oh, ya aku ada oleh-oleh nih buat kamu, tapi kamu tahukan. Aku belum sempat bongkar barang-barangku. Hahahaha..." Damian tertawa gelak seperti biasanya dan aku pun terkikik mendengarnya.

"Kamu sendiri kapan pulang dari Milan?" tanya Damian sambil membetulkan kancing kemejanya.

"Dua hari yang lalu baru pulang. Sayangnya kamu nggak bisa ikut di pernikahan Nath, kamu tahu suaminya ganteng banget! Hehehe..." Aku terkikik sambil membantu Damian memegangi tangannya ketika dia mengikat tali sepatunya.

"Masak? Sssshh... kamu berhutang cerita padaku Nia! Pasti ketemu cowok bule di Milan ya?”

Aku hanya meringis dan menjulurkan lidah padanya.

“Jose?” Damian menoleh padaku yang hanya tersenyum lebar.

“Aku akan menagih foto-foto narsismu di Milan! Seandainya tidak ada tugas kantor pasti aku akan terbang ke sana sama kamu," gerutunya kesal.

"Iya-iya. Eh, tadi ngantor naik apa?" tanyaku masih tersenyum lebar pada Damian.

"Aku bawa mobil, kamu mau—"

"Ehm, kita sudah sampai. Ayo!" Armand memotong kata-kata Damian dan segera menggenggam tanganku.

"Kami duluan Damian," ucap Armand tanpa melepaskan genggamannya di tanganku.

"Eh?" Damian terdiam.

Aku yang kaget karena Armand menarik tanganku membuatku hanya mampu melihat Damian yang sama terkejutnya denganku.

"Armand?" tanya Damian yang tiba-tiba berdiri di hadapan kami.

"Astaga!" Damian tersenyum ceria dan tak perlu waktu lama, mereka pun saling berpelukan layaknya dua sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

“Astaga, rencana apalagi ini? Kenapa tiba-tiba seisi kantor begitu akrab dengannya?” bantinku berbisik.

"Sejak kapan kamu bekerja di sini? Wahhh, aku terkejut! Akhirnya kamu menerima tawaran Papamu. Hahhaa..."

Damian dan Armand untuk sesaat melupakan kehadiranku, mereka berdua terlihat asyik mengobrol.

Aku menatap tanganku yang ada dalam genggaman Armand, ini kesempatanku melepaskan diri dari Armand. Saat aku berusaha menarik tanganku dari genggaman Armand, dia berbalik menarikku, meskipun dia tidak menoleh padaku dan semakin aku berusaha melepaskan diri, semakin kuat pula Armand menggenggam tanganku.

"Apa?!" rutukku dalam hati saat melihat Armand menoleh padaku.

"Lain kali kita bisa main basket lagi ya," kata Damian sambil menatap ke arahku dan kembali menatap Armand yang tertawa lepas, yah sepertinya baru kali ini dia tertawa lepas sejak kami bertemu tadi pagi.

"Aku rasa kamu lebih bahagia sekarang,” Damian menatapku kembali.

“Aku senang kamu bisa hidup normal lagi setelah menjalani hidup tidak normal selama lima tahun terakhir ini, hahaha..." Kata Damian diiringi tawanya yang menggelegar.

Memang Damian ini selalu berisik kalau tertawa. Aku terdiam sesaat, menoleh ke arah Armand yang ikut tertawa lepas.

"Hidup tidak normal?" tanyaku dalam hati smabil menatap Armand.

Well, sejak lulus kuliah kami putus hubungan, maksudnya bukan seperti pacar yang putus tapi kami sudah tidak pernah berkomunikasi.

Begitu lulus kuliah aku langsung pergi ke Milan, menetap di sana selama tiga tahun. Di tahun pertamaku di Milan, Byon masih sering memberikan informasi tentang Armand yang terus mencariku dan menanyakan aku berada di mana. Tahun kedua aku sudah jarang mendengar Byon menyebutkan tentang Armand, dan aku sendiri tidak pernah menanyakan tentangnya juga. Sampai beberapa saat yang lalu Byon menyebutkan namanya kembali.

Armand tertawa lagi diiringi tawa Damian dan aku semakin kesal dengan mereka berdua.

"Ehm," akupun batuk-batuk supaya mereka berdua sadar ada aku di sini.

Damian menoleh ke arahku dan aku yakin dia tahu aku kesal sekali saat ini.

"Baiklah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar ingin pulang—" kata Damian sambil melirikku, "—kita lanjutkan besok. Hari ini kebetulan aku juga ingin pulang cepat dan tidur." Lanjutnya lagi.

"Hati-hati di jalan ya, antarkan nona manis ini sampai tujuan. Kalau tidak, dia akan mengomel sepanjang minggu. Percayalah deh," ucap Damian sambil mengerling padaku.

"Benarkah? Hmmm, aku pasti akan mengantarnya pulang dengan selamat..." Armand mengangguk.

"Eh, siapa yang mau—"

"Baiklah, aku pulang dulu. Besok ingatkan aku untuk membawakan oleh-olehmu…" Sahut Damian memotong ucapanku kemudian menjabat tangan Armand dan berlalu dari hadapan kami.

“Loh,” aku menoleh pada Damian.

"Baiklah, ayo pulang," kata Armand ringan.

"Siapa bilang aku minta kamu antar? Sudah ku bilang aku bisa pulang sendiri!!" kataku sambil menarik tanganku.

Armand tersenyum ke arahku dan melepaskan tanganku.

"Apa kamu yakin?" tanyanya padaku setelah mendengar suara petir menyambar di langit yang tengah mengguyur kota Jakarta ini dengan hujan deras.

Aku menatapnya dan menciutlah nyaliku untuk pulang sendiri atau menunggu di sini dengan satpam.

"Ba-baiklah. Tapi cuma kali ini saja. Tidak akan ada kedua kali kamu mengantarku!" protesku.

Armand tertawa kecil dan terlihat jelas dia merasa geli dengan sikapku.

"Baiklah, tunggu saja di sini. Aku ambil mobil…" Kata Armand yang segera beranjak pergi ke tempat parkir.

Aku sedikit takut, bagaimana jika tiba-tiba petir itu masuk? Aku memang paranoid dengan petir karena waktu kecil pernah aku melihat orang tersambar petir di hadapanku, itu sangat membuatku takut akan hujan deras dan petir.

Pim… pim...

Suara klakson mobil Audi Armand membuatku kaget dan kembali ke alam sadarku. Aku segera berjalan ke arah mobilnya, Armand membantuku membukakan pintu dari dalam mobilnya.

Romantis? Jangan tanya, dia adalah pria paling tidak romantis sedunia. Aku pun segera menghambur masuk sebelum banyak orang yang melihat.

Setelah di dalam mobil beberapa menit, Armand menyalakan musik slow kesukaannya dan membuatku sedikit relaks.

"Kamu tinggal dimana?" tanya Armand penasaran.

"Arah kemang..." Sahutku pendek.

"Kebetulan sekali, rumahku juga arah sana. Aku menyewa dari temanku, karena kantornya pindah jadi dia pindah rumah juga..." Katanya.

Aku masih diam tidak merespon.

"Rumahnya lumayan bersih, yahhh meskipun tidak seluas rumah keluargaku…" Katanya lagi.

"Kenapa sewa rumah?" tanyaku tanpa bisa menahan rasa penasaranku.

Armand tersenyum kecil ketika menoleh kearahku.

"Temanku adalah sales nomor satu. Sebelum aku bilang iya, dia sudah tahu pasti aku akan menerima tawarannya..." Katanya sambil terkikik.

Aku menghembuskan napas dari mulutku dengan pelan, mendengar tawanya lagi seperti ini terasa seperti mimpi. Aku tak pernah membayangkan akan bisa bertemu dengannya lagi dan berbicara seperti ini, bahkan dalam satu mobil untuk mengantarku pulang.

"Selain itu aku ingin mandiri dan tidak bergantung pada orang tuaku.” Perkataan Armand membuatku menoleh padanya.

“Selama dua tahun di Bussan aku sudah mandiri dan di sini, biarpun dekat dekat orang tua aku tetap ingin mandiri..." Ucapnya sambil mengetukkan jarinya di setir mobil, mengikuti irama musik yang mengalun lembut.

"Ini kemana?" tanyanya ketika sudah masuk area Kemang.

"Masih lurus..." Sahutku.

"Nanti ada McD belok kanan..." Kataku lagi.

"Kamu yakin?" tanya Armand.

"Pastinya. Sudah dua tahun aku tinggal di sana..." Kataku kesal, mana mungkin aku lupa rumah ku gara-gara hujan deras.

"Bangunan samping swalayan itu, berhenti di depan saja…" Kataku.

"Kamu tinggal di sana?" tanyanya kaget.

"Iya. Kenapa?" tanyaku galak.

"Kamu penghuni lantai satu?" tanya Armand ragu.

"I—Eh, bagaimana kamu tahu?" tanyaku heran.

Aku terdiam sesaat, otakku mengingat apa yang sejak tadi diucapkannya.

"Ka—kamu—“ aku ragu sesaat, “—orang baru di lantai atas?"