Bab 10

"Kamu penghuni lantai satu?" tanya Armand ragu.

"I—Eh, bagaimana kamu tahu?" tanyaku heran.

Aku terdiam sesaat, otakku mengingat apa yang sejak tadi diucapkannya.

"Ka—kamu—“ aku ragu sesaat, “—orang baru di lantai atas?"

Armand tersenyum lalu mengangguk.

"Astaga!!" kataku kaget sambil menutup mulutku.

Aku kaget bukan main, aku memang baru sampai di Indonesia setelah menghadiri acara pemberkatan Nathania, dan sehari setelah aku pergi , penghuni baru itu datang. Begitu datang aku tinggal di rumah Byon dan tidak sempat bertemu dengan penghuni baru. Kemarin sewaktu pulang dari rumah Byon juga aku langsung tidur, Romi juga kebetulan baru datang kemarin sore.

"Kamu tidak menguntitku kan?" tanyaku ragu.

"Astaga," Armand geleng kepala sambil berdecak.

"Kenapa? Kamu takut sama kehadiran ku?" tanya Armand dengan nada kesal sambil mendengus.

"Apa yang kamu takutkan?" kali ini dia menatapku yang hanya mampu mengedipkan mata dan membuka mulut tanpa bersuara.

"A—aku... aku tidak takut!!" seruku cepat.

Aku segera membuka pintu mobil, namun segera kembali aku tutup begitu petir bergemuruh dan menggelegar mengagetkanku.

“Ya Tuhan,” gumamku sambil mengintip di jendela mobil, sementara kedua tanganku menutup kedua telingaku.

"Tunggu sebentar," kata Armand yang segera keluar dan membuka pagar, memasukkan mobilnya ke garasi.

"Kamu sudah aman,"

Aku mendongak setelah mendengar suara lembut Arman.

“Aman?” tanyaku pelan.

“Iya, sudah aman.” Armand mengedikkan kepalanya dan aku mengikuti gerakkan kepalanya. Dia benar, di sini sudah aman dari petir.

“Ok, makasih!” kataku cepat dan segera berjalan ke arah pintu.

“Mbak Nia!”

Suara keras itu membuatku kaget. Mataku membulat saat menatap Intan berdiri di hadapanku. Aku tidak bisa mundur lagi karena tidak ada jalan mundur. Aku yakin Intan sudah melihat Armand berdiri di belakangku. Aku tidak perlu menoleh untuk memastikan saat ini Armand tersenyum lebar pada Intan dan Romi.

"Pak Armand?" suara Intan yang terkejut melihat Armand yang kini berdiri di sampingku dengan satu tangannya terselip di kantong celana bahannya.

"Mas Armand?" suara Romi tidak kalah terkejutnya dengan Intan pacarnya.

"Benar ini mas Armand?" tanya Romi lagi yang benar-benar tidak percaya.

"Romi ya? Wahhh, lama tidak berjumpa ya," sahut Armand sambil menepuk bahu Romi.

"I-iya, masuk mas..." Kata Romi yang terlihat canggung di hadapan Armand.

Aku mendesah kesal, kini karena sudah sampai rumah dan sudah banyak orang membuat keberanianku yang tadi hilang kembali muncul.

"Tidak perlu mempersilahkan dia masuk, dia penghuni baru di lantai dua!" seruku ketus.

Romi dan Intan saling menatap lalu menatap ke arah ku.

"Benaran mas Armand?" tanya Romi.

"Iya, aku juga baru tahu kalau aku tinggal di atap yang sama dengan Sonia, seperti reuni kan?" tanya Armand sambil tertawa.

“Oh,” sahut Romi sambil manggut-manggut, meringis sambil menoleh padaku yang melotot kesal padanya.

Bagaimana aku tidak melotot padanya kalau Romi terlihat senang dengan kehadiran Armand di rumah ini. Romi dan Armand sudah seperti bantal dan guling, sepaket.

"Apa kamu juga akan membuatkan aku sarapan dan makan malam seperti biasanya?" pertanyaan Armand dengan nada menggoda itu membuatku menolh padanya dan memelototinya.

"Jangan mimpi!" sahutku kesal.

"Dengar ya—"

"Sssssttt... sudah jangan marah-marah, nanti kamu cepat tua..." Kata Armand memotong kata-kataku.

"Apaan sih!" Aku mengibaskan tangan Armand yang hendak menyentuh wajahku.

"Ini bukan reuni!" tegasku yang kemudian berjalan pergi masuk lebih dulu dengan kekesalan yang semakin menjadi.

“Nia!”

Aku menoleh saat Armand memanggilku dengan cengiran lebarnya.

“Berhenti menggangguku!” bentakku kesal yang aku tujukan pada Armand hingga membuat Intan dan Romi berjengit kaget.

"Kakakmu semakin galak saja ya..."

Aku mengepalkan kedua tanganku ketika Armand berkata sambil meringis.

"Sejak kapan dia galak seperti singa betina begitu?"

Aku melotot padanya, memberi peringatan untuk berhenti bicara yang tidak-tidak di hadapan Romi dan Intan. Bisa aku pastikan ada ribuan pertanyaan di kepala Intan yang menatapku dengan bingung.

"Eh,—" Romi hanya meringis lalu menatapku yang melotot padanya dengan galak.

"Hhh, ya sudah. Aku naik dulu, barang-barangku masih banyak yang belum diberesin," Armand menepuk bahu Romi dan berhenti di hadapanku.

“Kamu tidak bisa lari lagi,” ucapnya sambil tersenyum lalu berlalu dari hadapanku sambil bersiul riang.

"Yang, ada hubungan apa antara pak Armand dan mbak Nia?" bisik Intan pelan dan aku masih bisa mendengarnya.

Romi melirikku lalu menoleh ke arah Intan yang penasaran.

Aku menatap Romi yang membawa Intan menuju dapur.

“Yang,—“

"Susssttt..." Romi menempelkan ujung jarinya di bibir.

“Dasar bocah nakal, memangnya aku tidak bisa dengar!” gerutuku kesal.

"Mas Armand itu mantan pacar mbak Nia waktu kuliah..."

"A-apa?!" Intan spontan memekik kaget.

"Sussssttt!"

"Tapi Yang, pak Armand,—"

"Eh, Say, kenapa dari tadi kamu panggil mas Armand pak? Masih muda juga,"

"Habisnya, Pak Armand kan atasan ku dan juga atasannya mbak Nia. Pak Armand malah bosnya mbak Nia dan mbak Nia sekretarisnya," jelas Intan.

"Kamu serius?"

"Wahhh, aku rasa kita harus sering-sering membuat acara bersama."

"Memang kenapa begitu?"

Aku mendengus kesal karena usul Romi barusan.

"Yaaaa, supaya mereka berdua berdamai..." Kata Romi.

Aku menggertakkan gigiku, memangnya aku berperang dengan Armand hingga kami berdua harus berdamai.

"Eh, ngomong-ngomong pak Armand sudah punya tunangan belum ya?"

Pertanyaan Intan membuat kakiku berhenti melangkah ketika akan menghamppiri mereka berdua yang sedang berbisik-bisik tanpa mempedulikan kehadiranku.

"Umm,—"

“Astaga!” Intan memekik kaget ketika menyadari aku masih berdiri di dekat mereka.

“Mbak Nia,—“