19

Sambil berjongkok, Manur terus memandangi wajah pemuda yang ditolongnya itu. Bukan karena wajah tirus pemuda itu, yang menurut Manur cukup tampan. Bukan juga karena satu tahilalat yang menghiasi bagian di dekat sudut kanan bibir si pemuda. Bukan pula karena pemuda itu tampak begitu muda, barangkali umurnya tak terpaut jauh dari Manur. Bukan. Manur menunggu pria itu bangun karena dia punya rencana.

Dan begitu pemuda itu membuka mata, Manur mendekatkan wajahnya. Si pemuda memandangi Manur dengan mata memicing, kemudian melonjak hebat.

“Si…. Siapa kau!?” Si pemuda memegangi kepalanya yang terluka. Ia sedikit mengerutkan kening ketika merasakan bebatan yang begitu tebal dan tidak teratur.

“Aku Laras.” Manur meminjam begitu saja nama salah satu pelayannya di istana. “Sekarang, aku sudah mengobati lukamu… Yah, mungkin kurang bagus, sih.”

Pemuda itu memeriksa lutut kanannya yang seperti dibungkus bola kain besar.