Saat ini.
“Jamuuuuu….. Aku butuh jamuuu kunir aseeem….” Berbaring di dalam kereta dan memegangi perutnya, Manur sedari tadi meracau. “Sudah berhari-hari, tapi kok bisa desa-desa yang kita lewati tidak ada yang menjual jamu atau bahannya!?”
Wuri yang duduk di depan pun terkekeh. “Sabar ya, Daru. Perempuan memang ada kalanya begitu.”
Daru cuma tersenyum tipis, tapi itu hanya sebentar saja. “Apa kau benar-benar akan mencuri pusaka itu kalau pemiliknya tak bisa dibujuk, Putri?
“Demi Dewa, pertanyaan itu lagi?” Manur memegangi jidatnya. “Dan kau masih saja memanggilku dengan sebutan kebesaran istana itu, padahal aku sudah tidak di istana dan belum ingin kembali ke istana!”
“Kita sudah sampai pasar, Ndok,” kata Wuri.
Begitu kereta berhenti, Manur melompat keluar.
Daru menghela napas. Apakah mereka benar-benar harus sampai mencuri? Tak adakah cara lain? Apa Manur sebegitu putus-asanya sampai merasa harus melakukan perbuatan tercela itu?