Sudah cukup lama Asrita berdiri di tempat itu, memandangi sebuah pohon besar yang sebagian tubuhnya ditancapi banyak senjata.
“Indah sekali,” gumamnya. “Siapa pun pasti akan tahu kalau ini bukan pohon biasa. Lihatlah ruangan ini, tak ada cahaya matahari masuk, tapi dia bisa menjulang tinggi.”
Sementara Asrita menunjuk pucuk pohon yang hampir tak terlihat karena tenggelam oleh kegelapan di ruangan luar biasa besar itu, seorang wanita berambut emas meringis kaku di belakangnya.
“Yah… Tak ada pohon biasa yang memancarkan cahaya merah temaram seperti ini,” ujar si rambut emas. Alih-alih menatap ke arah yang ditunjuk Asrita, mata biru terangnya justru terpaku ke bawah.
Asrita sedikit memain-mainkan rambut keritingnya, mulai berjalan mengitari pohon. Si rambut emas buru-buru mengikutinya.
“Namamu Awu, kan?” tanya Asrita, sedikit melirik kulit si wanita, yang nyaris seputih pualam.