Seraya bersenandung kecil. Manur berjalan riang menuju kudanya. Tetek-bengek perkumpulan bisa dia selipkan dulu di ujung pikirannya. Barangkali perjalanan menuju rumah Aji begitu panjang, tapi ia yakin akan menikmatinya.
“Sudah kau beli oleh-olehnya?” tanya Aji yang sudah menunggu di dekat kuda, memberikan senyum khasnya.
Manur mengangkat bungkusan besek yang baru dibawanya dari pasar. “Sudah!”
“Memangnya apa yang kau beli?”
“Rahasia!”
Wuri yang juga ada di situ pun membisiki Manur. “Ingat, sewalah dua kamar. Kau harus menjaga diri sebelum waktunya nanti.”
Manur terkekeh, melirik tubuh kekar Aji, dari atas ke bawah, kemudian mengamati wajah khas kekasihnya itu. Karena sedang mengobrol dengan Galih, Aji tak sadar sedang diperhatikan.
“Doakan saja aku bisa menahan godaan itu, Mbok.” Manur memajang senyum jahil.
Wuri menyipitkan matanya, jelas sekali memberi peringatan secara halus. Manur justru cekikikan dibuatnya.