Didampingi Lesmana, raja berdiri di dalam ruangan yang digunakan untuk menyekap Manur. Pembuluh darah di lehernya begitu menonjol. Dia sedang bersiap melakukan ritual ‘semedi’nya ketika mendengar ribut-ribut itu. Baru saja mencari tahu apa yang terjadi, Manur sudah keburu kabur, meninggalkan korban-korban yang bergelimpangan di lorong-lorong istana.
Dia terlalu meremehkan Manur. Atau lebih tepatnya, mereka semua meremehkan Manur.
“Kalau aku ada di posisi Surya waktu itu, mungkin aku yang akan mati.” Raja bersimpuh di dekat mayat Surya, tak memedulikan darah yang merembes ke celananya. Dengan tangan bergetar, ia menutup mata ajudannya itu.
Beberapa detik berlalu dalam kesunyian. “Silahkan, Lesmana. Ada yang mengganggu pikiranmu, kan?”