41

Begitu Manur membuka mata, yang dilihatnya adalah sesosok pria asing. Manur buru-buru bangkit dan duduk, tapi tubuhnya langsung oleng karena kepalanya yang terasa ringan.

“Sudah bangun?” Sosok itu memberikan kekehan agak melengking. “Pelan-pelan saja. Makanlah dulu.”

Kesadaran Manur belum sepenuhnya kembali saat sosok itu menaruh bumbung air dan satu bungkusan daun pisang di hadapannya. Alih-alih bertanya, sang putri justru mengamati sekelilingnya sejenak, menyipitkan mata karena sinar matahari pagi. Perlu waktu beberapa saat sampai dirinya sadar sedang berada di sebuah balai bambu.

Tiba-tiba matanya membelalak. Saat meraba perutnya, selendang yang dicurinya dari istana sudah tak ada. Ia pun susah payah berdiri, walau sendi-sendinya begitu kaku keseimbangannya belum sempurna. “Si… Siapa Anda!?”

Orang tua kurus dengan rambut hitam lebat sebahu yang sedari tadi mengajak Manur bicara itu malah cengengesan. “Duduklah, malu dilihat orang.”