Saat ini.
Empat hari setelah kematian Wuri, kelompok Daru sampai di sebuah desa yang terang-benderang karena banyaknya obor tinggi yang ditancapkan ke tanah, tanda adanya sebuah perayaan. Galih menghentikan kereta kuda agak jauh dari kerumunan orang di malam itu.
“Biasanya kalau ada acara seperti itu, orang-orang pasar banyak yang berjualan. Lebih baik kita makan dulu,” usul Manur yang melongok dari tirai kereta.
Daru turun, merenungi alunan calung[1], seruling, dan kendang berirama rancak dari tengah dari kejauhan. Ia jadi teringat permainan calung ayahnya dulu. Kalau ada perayaan, beliau pasti dipanggil untuk meramaikan acara.
Nyanyian dari seorang lelaki mulai terdengar, seirama dengan alunan alat musik.
Nang Narekta, wong-wonge makmur.
(Di Narekta, orang-orangnya makmur).
Nduwe Raja, sing sekti mandraguna.
(Punya Raja, yang sakti mandraguna)
Dedemit, ora wani ndulit
(Dedemit tidak berani mencolek)
Tanduran, apa bae urip.