Di dalam kereta kuda yang kembali dikemudikan Galih, Empu Paser sibuk mengamati pusaka berukiran bunga-bunga Wijayakusuma milik raden Wardana. Sesekali dia menyipitkan mata, membolak-balik pusaka berwarna perak tersebut, dan mendekatkannya ke cahaya lentera.
Sementara itu, Daru membisu, masih berusaha mencerna cerita tentang hubungan empu Paser dan Nagra yang baru saja didengarnya.
“Sebenarnya aku tak mau mengganggu Empu, tapi aku sangat penasaran,” gumam Manur, ikut mengamati pusaka itu. “Kalau tidak memakai kuda atau kereta, bagaimana empu bisa sampai di sini? Menumpang kereta orang? Waktu pertama kita bertemu, Empu juga…”
“Tidak, aku tidak menumpang apa pun,” sela Empu Paser, sedikit terkekeh.
“Lalu, bagaimana caranya?”
“Itu tidak penting.” Sang empu mengubah kekehannya menjadi helaan napas. “Yang lebih penting adalah, ini bukan logam Walaka. Memang sangat sulit membedakan perak dan logam Walaka, tapi bisa kupastikan kalau ini perak.”