51

“Diammu itu membuatku khawatir, Daru,” celetuk Manur ketika dirinya bersama Daru dan empu Paser sedang menyusuri jalan desa yang agak berdebu, sudah cukup jauh dari rumah. “Barusan kau bahkan tak ikut dalam obrolanku dan empu Paser tentang dedemit.”

Daru mengambil napas dalam-dalam. “Sejak di keprajuritan, aku terus melakukan langkah yang… Bisa dibilang sebagai langkah yang ‘abu-abu.’ Kau tahu warna abu-abu kalau saling ditumpuk terus menjadi apa?”

“Dan sekarang kau berfilsafat.” Manur mengangkat bahu. “Ah, bukannya mengejek atau apa, tapi… Yah, aku tahu maksudmu.”

“Tapi kau tak bisa menjawabnya, eh?” Daru sedikit tertawa getir.

Manur langsung memijati keningnya. “Aku memang pernah bilang, aku ingin kau menjadi cahaya penuntun…”

“Tapi bahkan kau tak mempertimbangkan pendapatku tadi… Aku takut, Putri. Aku takut, diriku…” Daru menelan ludah, berusaha menahan suaranya untuk tak meledak. “Aku takut akan apa yang terjadi pada kita nantinya.”