“Syukurlah, Pak. Jujur saja, aku lebih senang memukuli pria hidung belang daripada melayaninya,” desah Manur saat mereka sudah di luar.
“Kau tak sopan,” bisik Daru.
Bagya hanya tersenyum lebar. “Yah, pendapat orang berbeda-beda. Saya menghargai pendapat Anda, Mbakyu. Sayangnya, saya mencari sesuap nasi itu dari sana. Makan pekerja-pekerja saya juga dari sana.”
“Panggil saja Laras, Pak.” Manur lalu menepuk pundak Daru. “Kalau dia namanya Daru, tapi sekarang dipanggil Darsa.”
“Laras dan Darsa, ya? Hmmm…. Yang kedua sama-sama bisa dipanggil Dar. Ah, itu sangatlah tidak penting. Wah, seharusnya aku membuat pesta penyambutan, tapi aku tak tahu kalian akan datang. Yah, yang jelas aku senang kalian akan membantu di rumahku.”
Seraya mendengar racauan yang tak jelas itu, Manur dan Daru saling bertukar pandang