"HOT NEWS GUYS!" Rose memekik hebat seraya berlari ke tempat Tama, June dan Lisa duduk di meja kantin.
June menautkan alisnya sambil berdecak kesal. "Rose! Jangan teriak-teriak, pleaseee,"
Rose menyengir lebar, permintaan maaf. Beberapa detik kemudian wajahnya menjadi serius sambil menatap ketiga temannya, terutama Tama. Membuat gadis itu mengernyitkan dahinya.
"Tadi pas gue ngantri beli bakso, gue denger dari kak Deya sama kak Momo lagi gosipin kak Tristan sama kak Naya." Ucapnya serius dengan mencodongkan tubuhnya membuat ketiganya juga mencodongkan tubuhnya. "Kata mereka, kak Naya berangkat bareng sama kak Tristan." Katanya serius.
Tama menjauhkan tubuhnya sambil berdecak. Matanya menatap malas kearah Rose. "Kalo itu gue tadi udah liat di parkiran sama kak Chandra." Ucapnya malas lalu menyesap jus jambu di depannya. "Lagian, lo ngapain ikut-ikutan gosip. Apalagi denger dari kakel."
June menelisik raut wajah Tama. "Lo gak cemburu, Tam?"
"Buat apa gue cemburu? Gue bukan siapa-siapanya dan gue gak punya hubungan apa-apa sama kak Tristan." Katanya malas. Ia paling malas membicarakan hal yang beginian. Apalagi menyangkut Tristan.
"Tama." Panggil seseorang membuat Tama menoleh melihat Tristan ada di belakangnya. "Nanti ke ruang osis. Ada rapat."
Tama mengangguk pelan. Ia agak ngeri mendengar suara Tristan yang begitu ketus. Melihat Tristan sudah pergi, June, Lisa dan Rose menatap Tama dengan seksama.
"Tama," panggil Lisa membuat Tama menatapnya. "Tadi waktu lo ngomong, kak Tristan udah ada disitu."
"Oh."
Tama beranjak dari duduknya dengan santai membuat ketiga temannya menganga.
"Bilangin sama pak Rudi, gue izin gak masuk ke kelasnya."
"Iya," setelah Tama pergi, ketiga temannya saling bersitatap. "Tama bener-bener gak peka banget."
"Gue heran sama dia. Padahal gue tau kalo dia masih suka sama kak Tristan, tapi dia tetep aja nyangkal perasaannya."
"Tapi sih gue liat dari kemarin-marin, kayaknya dia lagi deket banget sama kak Kei."
"Apa jangan-jangan Tama suka sama kak Kei?!" Sentak Lisa pelan. "Waktu ultahnya Tama, gue liat kak Kei kasih bunga ke Tama waktu dia mau masuk ke mobil."
"Bunga yang di upload sama Tama?!"
"Iya!"
***
Rasanya gue pengen banget waktu cepet-cepet selesai. Gue gak tahan banget di sini. Dan mata gue juga gak pernah lepas dari dia sama sekali dari tadi. Apalagi kak Tristan juga liatin gue intens banget. Seharusnya gue biasa aja kalo dia kayak gini. Tapi entah kenapa sejak malam dimana dia nyatain perasaannya sama gue, setiap kali kita bersitatap, gue ngerasa aneh.
"Tam,"
"Iya!" Kata gue kaget saat kak Jeka nyenggol sikut gue tiba-tiba. "Kenapa, kak?"
Kak Jeka ngelirik di belakangnya. Ngebuat gue dengan malas harus ngeliat kak Tristan. "Lo dipanggil." Bisiknya.
"Iya kak, kenapa?" Tanya gue sesopan mungkin.
"Ketua kelas lo siapa?"
"Mark, kak."
"Nanti pulang sekolah, lo bilangin sama dia jangan pulang dulu. Suruh dia kesini. Lo juga." Ucapnya tanpa ngeliat gue.
"I-iya, kak."
Rapat selesai, gue menghela napas lega. Akhirnya selesai juga rapat. Saat gue kembali ke kelas, gue ngeliat yang lain pada ribut. Gak ada pak Rudi di mejanya. Mungkin guru juga rapat. Sebelum duduk gue manggil Mark di pojokan yang lagi main gitar.
"Woi,"
Dia noleh ke gue sambil naikin sebelah alisnya. "Napa?"
"Lo dipanggil sama kakak lo tuh nanti di ruang osis pulang sekolah." Kata gue dan balik ke tempat duduk gue.
***
"Jeka," panggil cowok bermata tajam itu membuat Jeka menoleh padanya. "Menurut lo, gue harus ngejar Tama apa enggak ya?"
Jeka menautkan alisnya setelah melihat dan mendengar ucapan Tristan. Tangannya memegang dahi cowok itu lalu menggeleng pelan. "Gak panas." Ucapnya langsung di jitaki oleh Tristan. "Lo kenapa?"
"Gue bimbang, Ka." Katanya pasrah dan bahunya yang tegak menurun. Menghela napas, ia berkata, "Tama suka sama Kei. Dan gue gak tau harus gimana."
Cowok bewajah kelinci itu tergelak mendengar curhatan temannya. "Lo nyerah gitu aja? Kei sama Tama belum pacaran, kan?"
Tristan mengangguk lesu.
"Ya lo manfaatin kesempatan yang ada. Lo buat dia jatuh cinta sama lo. Masa cuman segitu doang perjuangan lo. Laki kan lo?"
"Anjir, lo." Tristan meninju pelan bahu Jeka sambil tersenyum simpul.
"Tapi gue yakin seratus persen kalo Tama suka sama lo. Dia kayaknya ragu kalo dia beneran suka sama lo, soalnya lo gak pernah nunjukin kalo lo suka sama dia. Makanya dia kasih alasan kalo dia suka sama Kei."
"Emangnya harus ada bukti gue suka sama dia?"
Jeka mengangguk. "Ya iyalah! Kalo gak ada pembuktian, dia gak bakalan tau kalo lo serius suka sama dia. Bahkan selama lo di deketnya dia, lo cuma bisa marahin dia doang. Gak ada manis-manisnya sedikitpun kalo ngomong."
"Emang gue gula apa."
Jeka menaikan bahunya. Sambil mencibir. "Terserah lo deh mau dengerin kata gue apa enggak. Intinya, lo jangan nyerah perjuangin cinta lo sama Tama." Cowok itu menepuk bahu Tristan dua kali. "Tapi asal lo tau aja,"
Tristan menoleh. "Apa?"
"Kei pernah bilang ke gue kalo dia suka sama Tama." Jeka ingin sekali tertawa saat itu juga melihat reaksi Tristan. "He likes her as sister, Tris."
Rasanya hati Tristan kini sudah disiram air anget setelah mendengar ucapan Jeka sebelum cowok itu bilang kalau temannya menyukai Tama sebagai adik. Dia tersenyum bahagia sekarang. Di dalam otaknya, ia sedang membuat rencana bagaimana ia akan menyatakan perasaannya pada Tama.
"Thanks, Ka." Ucapnya lalu beranjak dari duduknya.
***
"Ck!" Decak gue kesal setelah melihat pesan dari kak Chandra kalo dia udah pergi duluan. Katanya sih dia ada kerja kelompok di rumahnya kak Bagas.
Gue sekali lagi lirik jam tangan gue. Udah pukul 3 sore dan angkot di hari Jum'at udah jarang banget. Sekalinya ada, lagi gak narik. Mau mesen gojek, kuota gue abis. Sial.
Sekolah sekarang udah sepi banget. Palingan cuman ada anak eskul basket sama futsal. Kalo gue minta numpang sama Mark, dia gak bawa kendaraan dan nebeng sama kakaknya.
"Mau sampe kapan lo diri disitu?"
Tama menoleh kala mendengar suara yang di kenalnya. Di saat itu juga dia berdecak melihat orang itu yang sedang di dalam mobilnya. Tama membuang muka dan menatap jalanan yang sepi.
"Gue kan udah pernah bilang, 'jangan ada jarak ya. Anggap aja kalo gue gak pernah ngomong ini ke elo. Cukup kayak sehari-hari kita di sekolah. Suka berantem gak jelas'. Tapi lo seakan-akan hindarin gue kayak hama."
Mata gue dengan perlahan menatapnya yang natap muka gue dengan lembut. Mendengar ucapannya barusan, gue ngerasa bersalah. Gue akuin sekarang gue sedikit kasih space semenjak malam itu. "Sori, kak. Gue gak bermaksud."
Dia tersenyum--manis?
"Ayo masuk."
Gue ragu-ragu buka pintu mobilnya dan duduk disamping dia. Kak Tristan nyalain musik. Dan musik ini bikin gue ingat saat pertama kali gue berangkat sekolah bareng sama dia. Lagu Vapor.
"Kak Naya gak bakalan marah?" Tanya gue pelan.
"Kok lo nanyain dia?" Kak Tristan nengok sebentar.
"Bukannya tadi pagi lo berangkat bareng sama dia?"
"Berangkat bareng bukan berarti gue jadian kan sama dia?" Dia tergelak sama ucapannya sendiri. "Kalo kayak gitu, berarti saat gue jemput lo waktu itu, kita udah jadian dong?"
Sial
Pipi gue rasanya panas bener denger gombalannya. Gue langsung buang muka. Dan sekarang kak Tristan keliatan manis lagi ketawa. Padahal biasanya gue ngeliat dia ketawa, gue rasanya pengen banget nonjok giginya. Tapi sekarang, beda.
"Biasa aja kali liatinnya. Ileran tuh."
Tanpa sadar gue udah ngeraba bibir gue dan mata gue mendelik ngeliat dia yang tergelak. Menghela napas, gue ngatur posisi duduk biar nyaman.
"Kok bukan kearah rumah gue?" Tanya gue saat baru sadar kalo kak Tristan enggak jalan kearah rumah.
"Lo bawa baju ganti, kan?"
Gue ngangguk.
"Kasih kabar dulu ke bunda lo. Gue mau ngajak lo makan."