Bicara Masa.

"Anggap kita adalah masa lalu, supaya kita bisa belajar tentang apa aja hal buruk yang terjadi dulu, semua kesalahan kita, gak akan pernah lagi terulang ketika kita memutuskan untuk jadi masa depan bagi satu sama lain nantinya."

Adira diam-diam mengukir senyum tipis di bibirnya.

"Jadi, kita bakal jadi masa depan buat satu sama lain nanti?" tanyanya, senyumnya merekah.

Aditya mengangkat bahu, yang tentu saja membuat gadis di depannya menautkan kedua alis.

"Gak ada yang tahu gimana ke depannya, Ra. Aku juga gak mau lagi mengada-ngada atau kasih harapan baru apapun ke kamu," Laki-laki itu menatap lurus ke arah kedua tangannya yang terlipat di atas meja. "Rasanya, takdir gak lagi berpihak ke aku, dia lebih memilih untuk buat jalan cerita sendiri, yang kita bahkan gak tahu gimana akhirnya."

"Semuanya udah ketebak, Dit. Buktinya, aku pulang ke kamu sekarang. Apa lagi?"

Aditya menggeleng. "Pulangmu bukan karena aku, Ra. Kamu harus ingat itu."

Adira membisu mendengar kalimat yang baru saja terucap dari bibir Aditya. "Mungkin sekarang cerita kita mirip sama gimana Melodi dan Irama dulu, 'Prajurit yang menjaga Tuan Putri ketika Sang Pangeran sedang berkelana'."

"Tapi Prajurit gak pernah sekalipun ninggalin Tuan Putri di awal cerita, Aditya."

"Karena sudah saatnya Tuan Putri bertemu Pangerannya di luar sana."

Mata Adira memanas. "Prajurit gak akan biarin Tuan Putri cari Pangerannya sendiri di luar sana."

"Ra..."

"Kamu harusnya tahu untuk gak perlu lagi bahas ini, Adit. Itu masa laluku," ucap Adira, suaranya bergetar.

"Aku juga bagian dari masa lalu kamu, kita sama-sama masa lalu, Ra."