WebNovelKEI52.63%

DIA DATANG

Mereka pulang sekitar setengah enam sore, setelah menghabiskan seluruh makanan yang Mamih pesan dari kathering. 17 orang, gila juga.

Sore sampai menjelang malam ku habiskan di kamar, mencatat materi kemarin dan hari ini. Rasanya tangan ini sudah hampir putus.

Ponsel ku berdering, layarnya menunjukan sebuah panggilan masuk dari nomer yang tidak aku kenal. "Halo,"

"Dengan Thalia Cassandra?" tanya pria di ujung sana.

"Iya, saya. Siapa ya?" tanya ku.

"Gue di depan rumah lo. Ini Tyo." seketika otak ku mati, untuk apa dia datang kesini? Tau dari mana alamat rumah ku? Tunggu dulu, aku kan lagi marahan.

Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di kepala ku, aku segera turun kebawah, untung saja tidak ada siapa-siapa diruang tengah. Motor merah itu terparkir di depan gerbang. Dia disana. Celana jeans indigo dan kaos putih polos. Tanpa kacamata. Dan rambut rapih kebelakang. Aku meninggal.

"Hai," dia menyapa saat aku sudah di hadapannya.

"Lo ngapain kesini?" tanya ku to the point, ingat, aku masih marah.

"Gue mau jenguk." sorot matanya tajam namun menghangatkan entah kenapa.

"Kenapa gak sama yang lain tadi siang?"

Dia diam, menatap sepatunya. Mungkin.

"Tau dari mana alamat gue?" aku bertanya lagi.

"Kemarin liat lo turun dari taksi disini."

"Lo ngikutin gue?" aku menuduh.

"Rumah gue di blok b." jawabnya, kini aku yang terdiam. "Lo sakit apa?"

"Kelamaan nangis jadi pusing trus demam." aku menjawab ketus, sedikit disengaja membawa-bawa kata nangis.

"Kenapa?" tanyanya, kini dia menatap ku dengan benar.

"Apanya?"

"Kenapa nangis?"

Aku terdiam tidak tahu harus menjawab apa.

"Maaf," ucapnya pelan, entah kenapa kejadian itu terulang lagi di kepala ku.

"Buat apa?" aku mencoba menahan air mata ku.

"Buat air mata lo." jawabnya begitu menyesal, detik itu juga air mata ku akhirnya jatuh.

"Ga perlu,"

"Gue gak bermaksud buat lo nangis." ungkapnya.

"Tapi faktanya gue tetep nangis karena omongan lo." ku coba mengatur emosi ku, namun air mata ku tak berhenti.

"Jangan nangis."

Aku mendekat lalu menyandarkan kepala ku di dadanya, menangis sepuasnya. Dia hanya diam mematung sampai aku mereda.

"Udah?" tanyanya di sela tangis ku, dia mendorong bahu ini agar bisa melihat ku.

"Udah," jawab ku pasrah.

"Lo masuk sekarang," pintanya.

Lalu perlahan sebuah cahaya menyinari kami berdua, asalnya dari sebuah mobil sedan putih. Papih. Mobilnya berhenti, tidak bisa masuk karena kami berdua menghalangi gerbang.

"Gue langsung balik ya" ucapnya, kemudian menyalakan mesin motornya, setelahnya dia melaju kencang meninggalkan ku.

Aku membuka gerbang agar mobil Papih bisa masuk.

"Siapa tadi?" tanya Papih saat sudah keluar dari mobil. Aku memeluk Papih sambil berjalan masuk.

"Temen aku, mau jenguk." jawab ku.

"Kata Mamih kamu demam?"

"Sekarang udah enggak, Papih bawa apa?" aku menanyakan paper bag hitam di tangan Papih.

"Bubur, buat anak Papih yang lagi demam."

"Asiiik," teriak ku girang, ku bawa paper bag itu ke meja makan. Ada beberapa mangkuk di dalamnya, ku buka satu per satu untuk melihat isinya.

Papih kembali dari dapur membawakan segelas air hangat untuk ku. "Abisin ya, jangan di buang." Papih berpesan.

"Siap komandan!"