WebNovelKEI57.89%

DENGANNYA

Pagi ini hujan mengguyur Jakarta, membuat ku jadi malas berangkat. Mamih sudah sibuk, memaksa ku memakai sweater padahal aku sudah jelas-jelas gak mau, nanti keliatan gendut, tapi mau bagaimana lagj. Argumen Mamih lebih kuat dari aku.

Hari ini Theo mengantar ku sampai kelas, katanya sedang ingin saja. Alhasil keributan terjadi, bagaimana tidak, ada anak langit di lantai dua.

Kami semua selalu memanggil anak kelas 3 dengan sebutan itu, alasannya sederhana, karena mereka semua kelasnua di atas. Jadi jarang sekali ada kemunculan mereka disini, bahkan mereka punya tangga sendiri yang langsung menuju lapangan.

"Kei, kok lo udah masuk sih?" ucap Bastian sesaat setelah aku masuk kelas. "Kan gue mau besuk lagi hari ini."

"Kampreeet, bilang aja mau ngosongin isi kulkas dirumah gue." jawab ku sewot. Ku lihat meja di depan ku masih kosong, Tyo belum datang.

Aku kembali mengingat kejadian semalam, melihat dirinya yang lain. Dia yang begitu hangat. Oh Tuhan, jantung ku berdebar kencang sekali.

"Lo masih sakit?" sebuah tangan mendarat di dahi ku. Tyo. Dingin sekali tangannya, bajunya agak sedikit basah.

"Udah engga," jawab ku, pandangan ku tak lepas darinya.

Bell masuk berbunyi, dia segera menarik kembali tangannya, ku lihat Bu Indah masuk dengan membawa box besar di tangannya.

"Nomer absen ganjil, maju kedepan." perintah Bu Indah. Dia menyuruh kami mengambil satu kertas di tangannya.

Aku dan Disa saling berpegangan tangan saat mengambil kertas tersebut, berharap dapet partner yang beres.

"Itu, partner kalian sampai akhir semester, sekarang duduk dengan partnernya masing-masing."

"Iya bu," jawab kami malas.

Aku mengintip tulisan di dalam kertas yang dilipat empat itu. Nomer absen 18. Stefano Prasetyo. Aku menang lotre!

Aku segera kembali ke meja ku mengambil sticky notes dan selotip. Ku tuliskan "Hai, partner!" pada sticky notes lalu menempelkan kertas yang ku punya dengan selotip di bawahnya.

Ku ambil buku paket Kimia lalu menarik kursi ku, "Tyo, geseran.." ucap ku padanya.

Dia hanya menatap ku bingung, aku tidak bisa menahan tawa bahagia ku.

Aku menempelkan sticky notes itu di mejanya. "Ayo cepat-cepat." suara Bu Indah memenuhi kelas. Tyo menggeserkan kurisnya pasrah.

"Ibu jelaskan dulu tentang materinya, perhatikan." Bu Indah mulai menjelaskan.

Aku melihat termos yang biasa dia berikan pada ku di pojok meja, segera saja ku ambil sticky notes di meja ku.

"Mau" tulis ku, lalu ku berikan padanya.

"Apa?" tulisnya pada sebuah kertas baru.

"Itu, yang anget." tambah ku.

"Gak boleh pelukan dikelas." tulisnya lagi. Aku menatapnya sakartis.

"Bukaaaaaan!" balas ku.

"Jadi?" kali ini dia tempelkan di tangan ku. Aku mengembalikan sticky notesnya tanpa ku tulis apapun, alhasil dia menoleh pada ku.

"Mau itu," bisik ku sambil menunjuk-nunjuk ke arah termos namun dia tidak merespon apapun, hanya terus saja menatap ku. "Mau, Tyo" ucap ku lagi.

Dia akhirnya mengambil termos itu lalu memberikannya pada ku, segera ku tambahkan gambar hati pada sticky notes yang terakhir.

Bell pulang pun bernyanyi, "Tugasnya ada di halaman 24, minggu depan di presentasikan."

Aku mengembalikan kursi ku ke belakang, merapihkan buku-buku ku. Termos miliknya masih dalam genggaman ku. "Tyo,"

Dia menoleh menatap ku, "Abisin aja, emang buat lo." deg. Aku menatap punggung itu yang berjalan menjauh.

Aku selalu ragu, apa mengejarnya adalah hal yang benar? Maksud ku, jujur hati ini masih sakit karena kepergian Bram. Bram dulu segalanya bagi ku, dari awal hanya ada dia tapi hadirnya Tyo membuat ku melupakan tentang Bram. Dia yang begitu dingin, sulit untuk ku raih. bahkan senyumnya tak pernah ada. Kemana senyum itu pergi?

"Thalia Cassandra! Pulang gak?" teriak seseorang yang berdiri di depan pintu dengan rambut basah.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ku lalu berjalan ke arahnya. "Kak, sehari aja lo gak aneh-aneh, bisa gak?" ucap ku lalu menutupi rambut basahnya dengan sweater ku.

Di parkiran saat Theo sedang memanaskan mobil, aku melihat Tyo sedang menggeser sebuah motor yang menghalangi motornya untuk keluar. "Tyo!" panggil ku, dia menoleh.

"Kei, masuk buru." Theo memanggil, aku tidak terlalu menghiraukan.

"Hati-hati ya!" ucap ku lagi pada Tyo, tapi dia tidak merespon, hanya menatap ku diam. Dingin itu.

Motor Tyo melaju kencang meninggalkan ku dalam dalam biru. Aku tak melepaskan termos ini dari pelukan ku, walaupun terasa sangat dingin menyentuh kulit ku. Pertanyaan terus muncul dalam benak ku, kenapa dia selalu berubah-ubah?