Secangkir Kopi Pahit (Bab Vl)

e esokkan paginya, semua orang tampak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke kantor pengacara.

"wow! Ternyata sepupuku ganteng juga" goda wanita yang masih remaja itu.

"Krystal? kapan kau datang?" ujar Verga sedikit kaget.

"seminggu yang lalu, kata ayah kau akan melanjutkan bisnis paman, benar bukan?" tukas Krystal sambil duduk di tempat tidur Verga.

Verga hanya mengangguk pelan, kemudian Kembali menatap dirinya di cermin besar itu.

"apa lagi yang kau lihat? Kau sudah sangat sempurna" ucap sepupunya itu sambil tertawa kecil.

Setelah 1 jam Verga pun turun dengan Krystal.

"sudah siap?" tanya ayah dengan semangat.

Verga hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum.

Semua keluarga besar itupun berangkat menuju kantor pengacara keluarga itu.

"ayolah, jangan gugup seperti itu" Krystal sedikit memukul pundak abang sepupunya itu.

Verga hanya menatap kesal.

Sesampainya di kantor itu, Verga tampak gugup dan menarik nafas dengan dalam.

"ibu percaya sama kamu" ujar ibu sambil mengelus lembut kepala anak laki-lakinya itu.

Verga pun mengangguk sembari tersenyum.

Setelah selesai mengerjakan tugas, Laudir pun membaringkan tubuhnya pada kasur yang sudah sangat ia rindu-rindukan sedari tadi.

Namun, tiba-tiba ponselnya miliknya berdering.

                                        LINE

Verton

Hii! lagi apa?

                                                                    Kim Laudir

                                                                                      ?

Verton

besok, berangkat sama-sama gimana?

                                                                     Kim Laudir

                                            Makasih, aku bisa sendiri

Verton

aku maunya berangkat sama kamu titik!!

                                                                      Kim Laudir

                                                                        Terserah 

Laudir melempar ponselnya, dan menghembuskan nafas kasar.

"aku ngak boleh kalah, ayolah Laudir kamu sudah bertahan selama 6 tahun jangan kalah" ujar Laudir pada diri sendiri.

Laudir mengacak-acak rambutnya, kemudian beranjak dari kamarnya.

Di ruang utama terlihat Yuka yang sedang sangat sibuk menatap layar laptopnya.

TAK!! Suara sangat kuat itu membuat Yuka tersentak kaget.

"La-Laudir?" rintih Yuka sedikit kaget.

Ternyata sumber suara itu berasal dari pintu yang ditutup oleh Laudir.

"unnie" panggilnya.

Yuka hanya mengangguk dengan wajah yang masih sedikit pucat akibat terkejut.

"aku ingin kopi pahit" pintanya.

"malam-malam begini?" tanya Yuka kurang yakin.

Laudir hanya mengangguk pelan.

"ada apa? kau ada masalah?" kepo Yuka pada adiknya itu.

Laudir hanya menggeleng pelan.

"tidak, aku hanya ingin saja" ucapnya berbohong.

"baiklah, tunggu sebentar" tukas Yuka, lalu mulai ke dapur untuk meracik kopi pahit itu.

Laudir pun menghampiri kakaknya itu.

"apa dia yang mengajari unnie meracik kopi?" tanya Laudir sambil melihat Yuka sedang meracik kopi.

Yuka hanya mengangguk sambil tersenyum.

"apa kau tak merindukannya?" ujar Laudir dan membuat pergerakan Yuka terhenti.

Yuka pun tesenyum tipis.

"untuk apa aku merindukannya, aku bukan siapa-siapa untuknya" tukas Yuka dengan mata yang mulai berkaca-kaca menahan tangis.

"ini pasti karna ayah bukan? kenapa ayah selalu begini! Kenapa dia tidak bisa melihat kita bahagia!" amarah Laudir.

Yuka menarik Laudir kedalam pelukannya.

"bagaimana pun, dia tetap ayah kita" bisik Yuka pada Laudir.

Laudir mengangguk pelan.

"sudah jadi!" ujar Yuka saat sudah selesai meracik kopi.

Laudir tersenyum tipis.

Di ruangan itu susanan cukup cangguh, Verga terus saja memainkan jari-jari tangannya agar tak terlalu gugup.

"kenapa dengan tanganmu? Gatal?" ujar Krystal menggoda.

"diamlah!" bisik Verga kesal.

Krystal hanya tertawa kecil.

Tak begitu lama, datanglah laki-laki yang sudah lumayan tua itu masuk ke dalam ruangan.

"jadi ini yang namanya, Verga Putra Wijaya?" tanya pengacara itu.

Verga pun mengangguk sopan.

"oke, coba kamu baca dulu berkas-berkas ini, dan pahami" ujar pengacara itu memberi begitu banyak berkas yang harus di baca olehnya.

"kak Verga ngak suka membaca" ucap Krystal sedikit teriak.

"benarkah? Nanti setelah menjadi pemilik perusahaan ini, kau akan lebih banyak membaca berkas-berkas seperti ini bahkan lebih susuah" jelas pengacara itu sambil sedikit tersenyum.

Verga berbalik dan melirik adik sepupunya itu dengan kesal.

Krystal hanya menjulurkan lidahnya.

Setelah berjam-jam, Verga pun akhirnya selesai membaca berkas-berkas itu.

"sudah paham?" tukas pengacara itu.

Verga mengangguk pelan.

"baiklah, mari kita mulai serah terimanya" ucap pengacara itu.

"silahkan bapak Wijaya untuk menandatangani berkas ini" sambung pengacara itu sambil memberikan berkas pada ayah Verga.

Ayah pun mulai menandatangani berkas-berkas itu.

Selesai bertemu dengan pengacara, keluarga Wijaya pun pergi untuk makan malam bersama.

"wah berarti kak Verga akan pergi ke Kanada dong?" ujar Krystal.

"kenapa? Nanti saat kau pulang dari Belanda, kau pasti sangat kangen karna tidak ada kakakmu yang ganteng ini" tukas Verga panjang lebar dengan bangga.

"ish apaan sih?"

"eh! Berarti kakak akan ketemu dengan kak Yuka dong?" ucap Krystal dan membuat semua keluarga Wijaya terdiam.

Verga yang tadinya tersenyum pun berubah menjadi datar.

"Krystal, jangan ungkit kak Yuka disini ya" tukas ibu Verga dengan lembut.

Krystal mengangguk paham.

"Verga pamit ke toilet dulu" ujar Verga lalu pergi dari tempat itu.

"aku harap dia tak memikirkan gadis itu lagi" bisik ayah pada ibu.

Di dalam toilet Verga terus saja membasahi wajahnya dengan air.

Ia menatap dirinya di cermin toilet itu.

"apa kenangan yang buruk yang akan aku terima?" rintih Verga sambil melihat dirinya dari cermin itu.

Flashback

hari ini adalah hari kelulusan bagi siswa/siswi ACG School Jakarta, tentu saja hari yang sangat tegang untuk para siswa.

"huh, aku harap bisa lulus dengan nilai bagus" ucap remaja wanita itu pada temannya.

"apapun hasilnya, kamu sudah berkerja keras" jawab remaja putri itu.

"kamu sih udah pasti nial tinggi, juara sekolah terus"

"Yuka" panggil seseorang pada gadis berhoodie hitam itu.

Yuka menaikkan satu alis.

"a-ayah kamu masuk rumah sakit" tukas siswa itu.

Yuka yang begitu kaget langsung pergi dari sekolah itu tanpa menunggu hasil kelulusan.

Selama perjalanan menuju rumah sakit, Yuka tidak bisa merasa tenang, hatinya sangat sampai-sampai ia tak tau harus berbuat apa selain menangis.

Sesampainya di rumah sakit, Yuka langsung bergegas menuju ruangan tempat ayahnya di rawat.

"ayah!" tukas Yuka lalu menghampiri sang ayah yang sedang berbaring lemah itu.

"ibu bagaimana ayah bisa kecelakaan?" sambung Yuka sambil menangis.

"kata polisi ada seseorang yang telah merusak rem mobil ayah, hingga mengakibatkan rem blong" jelas ibu.

"apa Laudir tau kejadian ini?" tanya Yuka sambil melihat sang ayah.

Ibu menggeleng pelan.

"ibu tidak ingin membuat dia panik di korea sana, lagi pula ayah sudah mulai membaik" tukas ibu.

"apa ayah habis bertemu dengan paman Wijaya?" tanya Yuka dengan nada dingin.

Ibu mengangguk pelan.

"kata asisten perusahaan, ayah berangkat menemui paman Wijaya untuk membicarakan hal penting" ucap ibu.

Tak berpikir terlalu lama, Yuka pun pergi dari ruangan itu dengan raut wajah emosi.

Kediaman keluarga Wijaya

Yuka pun masuk ke rumah mewah itu dengan sangat emosi.

"keluar kau paman Wijaya!" teriak Yuka begitu kuat dan membuat semua orang di rumah itupun turun ke lantai bawah.

"Yuka?" rintih Verga saat melihat kekasihnya itu.

"maaf pak, wanita ini memaksa untuk masuk, kami akan mengusirnya" ucap pengawal itu, kemudian berniat ingin membawa Yuka untuk keluar dari rumah itu.

"lepaskan! Saya ingin bicara dengan orang yang ingin membunuh ayah saya!" tukas Yuka sambil menunjuk kepada paman Wijaya.

"Yuka cukup!" teriak Verga menghampiri kekasihnya itu.

"jaga bicara kamu!" desah Verga menahan Amarah.

"kenapa! Ayah kamu memang ingin membunuh ayah aku!" teriak Yuka lebih tinggi dan mata yang sudah memerah menahan tangis.

"Yuka!!" bentak Verga sangat kuat, dan membuat semua orang di rumah mewah itu tersentak kaget.

Verga pun menarik Yuka begitu kasar untuk keluar dari kediaman Wijaya.

"lepaskan!" ujar Yuka begitu kesakitan.

Verga pun menghempaskan tangan Yuka begitu kuat, dan membuat Yuka menjerit kesakitan.

"sudah ku bilang jaga bicaramu!" teriak Verga begitu emosi.

"jaga bicara ku? Ayah kamu ingin membunuh ayah aku Verga!!" tukas Yuka sambil menangis.

"apa buktinya? Jelaskan!"

"kamu ngak percaya dengan aku? Hah!" ucap Yuka begitu marah.

"bukan seperti itu, dia ayah aku Yuka" tukas Verga begitu lembut untuk menenangkan kekasihnya itu.

"jadi kamu membela ayah kamu? Oke, aku ngak mau ketemu sama kamu lagi!" ujar Yuka begitu marah kemudian pergi meninggalkan Verga.

"Yuka tunggu!" teriak Verga.

Setelah beberapa minggu, setelah ayah pulang dari rumah sakit, Yuka pun berangkat untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi di Kanada.

Yuka sangat berbeda dengan sang adik, Yuka lebih menurut dengan perintah dan keinginan orang tuanya.

"unnie yakin ingin berkuliah disana?" tanya Laudir.

Yuka hanya mengangguk pelan.

"tidak berpamitan dengan dia?"

"aku merasa bersalah setelah kejadian itu" ujar Yuka dengan raut wajah begitu sedih.

Ternyata setelah polisi menyelidiki lebih lanjut, pelakunya bukanlah paman Wijaya, melainkan orang asing.

"jadi, unnie akan pergi begitu saja?" ucap Laudir.

Yuka mengangguk pelan.

"Laudir, apa kau mau menolong unnie?" tanya Yuka pada adiknya itu.

"apa?"

"apa kau mau menjaga dia untukku?" pinta Yuka begitu dalam.

Laudir sempat terdiam sejenak, kemudian mengangguk sembari tersenyum.

20:00 Wib pesawat Yuka pun mulai terbang meninggalkan Indonesia.

Kediaman Wijaya

Verga berbaring sambil menatap kosong langit-langit rumahnya.

"Verga" panggil Davin.

Verga hanya menoleh dan tak menjawab.

"lo tau ngak? Yuka udah berangkat ke Kanada" tukas Davin yang baru sampai itu.

Verga hanya mengangguk dengan raut wajah datar.

"lo ngak pamitan sama dia?" tanya Davin penasaran.

Verga menggeleng pelan, kemudian pergi ke balkon jendela rumahnya.

"dia ngak mau ketemu sama gue lagi" ucap Verga sambil menatap kota Jakarta dari atas rumahnya itu.

BACK

Setelah minum kopi bersama, Laudir pun kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Namun saat ingin terpejam, ponsel miliknya berdering begitu kuat.

"untuk apa mereka menelpon" gumamnya saat melihat layar ponsel yang menelpon adalah ibu.

"hallo?"

"uhm.." jawab Laudir dingin.

"bagaimana keadaanmu? apa unnie mengurusmu dengan benar?" tanya ibu sedikit khawatir.

"hah, setidaknya lebih baik dari di sana" tukasnya dingin.

"maafkan ibu, ibu ngak bisa membela kalian, ibu ngak bisa melawan perintah ayahmu" ujar ibu dengan suara yang mulai parau menahan tangis.

Mendengar hal itu, Laudir sempat terdiam sejenak.

"aku sudah biasa" ucapnya dengan singkat.

"ibu harap kamu selalu sehat disana, ibu di sini sangat merindukan kalian" tukas ibu yang sudah menangis itu.

"baik" jawabnya dengan singkat, lalu mematikan panggilan itu.

Laudir pun menjatuhkan tubuhnya pada kasur empuknya, dan tak terasa pipinya telah dibasahi oleh air mata dirinya.

"aku juga sangat rindu" rintih Laudir pelan.

Kring~~

Lagi-lagi ponsel milik Laudir berdering.

"pergilah ke balkon jendela kamarmu" suruh pria dari panggilan itu, lalu mematikan panggilan.

Laudir sempat terdiam sejenak, kemudian pergi kearah balkon jendela itu.

"Verton?" ujar Laudir pelan.

Verton melambaikan tangannya sembari tersenyum.

Laudir pun turun dari lantas dua, dan menuju keluar untuk menemui sahabatnya itu.

"ada apa?" tanyanya dengan dingin.

"aku lapar" tukas Verton dengan wajah memelas.

"terus?"

"yak! kau ini!" kesal Verton lalu menarik Laudir untuk masuk kedalam mobil miliknya.

"mau kemana?" ujar Laudir bingung.

"udah, diam aja Nona Laudir" ucap Verton sambil memasang sabuk pengaman pada Laudir.

Laudir hanya diam.

Restoran Padang

"sudah lama aku tidak makan ini" ujar Verton dengan lahap menyantap makanannya.

Melihat hal itu, tak terasa senyuman manis terukir di bibir Laudir.

"kenapa kau makan malam sekali?" tanya Laudir.

"aku baru pulang latihan basket" jawab Verton sambil dengan lahap menyantap nasi padang itu.

"pelan-pelan, nanti kau" belum selesai bicara, ucapan Laudir terpotong oleh Verton.

"huk..huk..huk a-air" pinta Verton yang sedang tersedak itu.

Laudir pun memberikan air sambil menepuk-nepuk punggung Verton dengan pelan.

"sudahku bilang pelan-pelan" tukas Laudir khawatir.

Mendengar hal itu Verton pun menatap Laudir, manik mata mereka saling bertemu dan sekarang hanya detak jantung yang begitu cepat yang terdengar.

"aku ingin pulang" ujar Laudir menjauh, dan pergi dari tempat itu.

Verton yang menyadari bahwa Laudir telah pergi pun mengejarnya.

"tunggu!" tahan Verton.

"ada apa?" tukas Laudir tanpa membalikkan badannya.

"biar aku antar" ucap Verton sedikit canggung.

"tidak apa, unnie sedang dalam perjalanan menjemputku" tolak Laudir.

"baiklah, aku temankan menunggu"

Mendengar hal itu, Laudir pun membalikkan tubuhnya menghadap Verton.

"menjauh dariku" pinta Laudir dengan serius.

"k-kenapa?" tanya Verton kaget.

Laudir mengalihkan pandangannya.

"aku hanya ingin sendiri" jawabnya.

"kenapa? Kau harus beri alasan" ujar Verton tak terima.

"aku hanya ingin sendiri! tolong! mengerti" teriak Laudir dengan air mata yang sudah menetes.

Verton menghembus nafas begitu kasar, dan mulai mendekat pada wajah Laudir.

"kebahagiaanmu, itu kebahagiaan untukku" gumam Verton pelan, kemudian pergi meninggalkan Laudir yang sedang menangis itu.

Laudir menangis begitu kuat, hingga berjongkok.

Yuka yang baru saja sampai ketempat itu, langsung memeluk adik tersayangnya itu dengan erat.

"aku jahat unnie! Aku jahat!" teriak Laudir dalam pelukan Yuka.

"tenanglah, unnie ada disini" ujar Yuka menepuk pelan pundak adiknya.

Yuka pun membawa Laudir untuk masuk ke dalam mobil.

Bandara Soekarno-Hatta

"nanti, saat sudah sampai jangan lupa untuk kabarin ibu oke?" tukas ibu sambil mengelus kepala anak kesayangannya itu.

"iya ma, pasti" jawab Verga sambil tersenyum.

Verga pun mulai mendekat pada ayahnya untuk berpamitan.

"jika kamu bertemu dengan wanita itu, ayah harap kamu merahasiakan hal itu" ancam ayah pada anak laki-lakinya itu.

Verga mengangguk dengan raut wajah datar.

Ternyata, tragedi 4 tahun yang lalu memang rencana dari ayah Verga untuk mencelakakan ayah Yuka dan Laudir, ayah menyuruh salah satu pegawai kantornya untuk merusak rem mobil Tuan Kim itu.

Verga pun beralih menuju sang kakek.

"kakek bangga padamu, setelah ini kakek akan menunggu kabarmu untuk menikah" ucap kakek dengan nada menggoda.

Verga tertawa kecil mendengar hal itu.

"baiklah, sekarang kakek harus selalu sehat oke?" tukas Verga dengan menggengam tangan kakeknya.

"jangan lupakan adikmu yang cantik ini!" teriak Krystal pada kakak sepupunya itu.

Verga mengangguk dengan sedikit tertawa.

"baiklah, Nona kecil" ucap Verga mengacak-acak rambut adiknya itu.

Verga pun mulai memasuki ruang tunggu di bandara itu.

"hah, gue pasti bisa" gumamnya pelan.

Saat sedang menunggu tiba-tiba ponsel Verga berdering, ternyata Davin melakukan video call.

"udah di bandara lo? Jadi juga rupanya" ujar Davin.

Verga hanya tertawa kecil.

"gimana kondisi kedai?" tanya Verga pada Davin.

"tenang aja, kedai senja mempunyai bos yang sangat hebat" ucap Davin bangga.

"terserah lo deh, udah dulu ya gue mau naik pesawat" tukas Verga lalu mematikan video call.

14:00 wib

Pesawat mulai meninggalkan Indonesia.

Yuka langsung membaringkan tubuh adiknya itu ke kasur yang empuk, setelah menangis begitu Kuat Laudir terlelap dalam perjalanan menuju apartemen.

"hem, kenapa kau jadi seperti ini? Kenapa kau jadi takut untuk merasakan cinta dan kasih sayang?" gumam Yuka sambil mengelus rambut adiknya itu.

Yuka pun keluar dari kamar Laudir, ia menuju dapur untuk menyeduh secangkir kopi pahit.

"sudah lama aku tidak meminum ini" rintihnya sambil menatap secangkir kopi pahit itu.

Yuka mulai meminum kopi pahit itu secara pelan, sebuah senyum kecil keluar saat ia telah meneguk kopi pahit.

"rasanya seperti sangat manis, seperti jalan hidupku" ujar Yuka dengan suara parau menahan tangis.

Tak lama setelah, Yuka pun mulai menangis tersedu-sedu.

"hah..hah..hah aku kuat" desah Yuka sambil menangis dengan habat.

Hatinya sangat hancur, adik sangat ia sayang bernasib sama seperti dirinya karena keegoisan dari sang ayah.

"aku tau, hati yang paling hancur bukan karna luka yang diakibatkan oleh orang lain, melainkan dari orang sangat berarti untuk hidup kita" ujar Yuka pada dirinya sendiri.