Secangkir Kopi Pahit (Bab VIII)

Verton tampak bingung dengan perkataan Laudir.

"kenapa dia begitu?" rintih Verton pelan.

Namun saat sedang melamun, tiba-tiba ponsel milik Verton berdering.

"appa?"

Verton pun menjawab panggilan itu.

"hallo?" jawabnya.

"nenek sedang di rumah sakit, keadaannya sangat kritis, kemarilah untuk penghormatan terakhir" jelas ayah Verton.

Verton menghela nafas dengan panjang.

"baiklah"

Verton bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit itu.

Sesampainya di rumah sakit itu, Verton pun langsung berlari menuju tempat keberadaan neneknya.

"bagaimana keadaan nenek?" tanya Verton dengan nafasnya yang tak beraturan.

"kemarilah, nenek sudah menunggumu" ujar ibu.

Verton pun mulai mendekati kasur yang terdapat sang nenek sedang terbaring lemah disana.

"nenek, apa nenek mencari ku?" tukas Verton dengan mata sudah memerah menahan tangis.

"cucuku, kau sudah sangat besar sekarang, izinkan untuk nenek pergi sekarang dari dunia ini" ucap nenek dengan sangat lemah.

Tak terasa air mata  Verton mengalir sangat deras.

"bukannya nenek sudah berjanji akan melihat ku sukses, ku mohon jangan pergi nek" pinta Verton sambil menangis kuat.

Ibu pun menghampiri anak laki-lakinya itu.

"biarkan nenek untuk pergi, kau tidak kasian melihat nenek tersiksa dengan penyakitnya?" ujar ibu sambil mengelus kepala anaknya itu.

Mendengar hal itu, tangisan Verton pun semakin kuat.

Matahari telah keluar dari persembunyiannya, dan membuat lelap seorang Laudir terbangun.

"hah, sudah pagi" desah Laudir sambil menggosok matanya dengan pelan.

Ia pun bangun dari kasurnya dan langsung menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.

Yuka sepertinya sangat sibuk dengan perkerjaan, dan membuatnya hanya bisa menyiapkan roti bakar untuk adiknya itu.

Setelah beberapa jam, Laudir pun turun dari lantai atas dengan fokus melihat layar ponselnya.

"ada apa?" tanya Yuka melihat raut wajah adiknya berubah.

"nenek Verton meninggal" jawab Laudir dengan nada terkejut.

Yuka sedikit terkejut mendengar jawaban dari Laudir.

"unnie, apa aku boleh izin sekolah?" pinta Laudir.

Yuka mengangguk pelan.

"pergilah, nanti unnie akan menjelaskannya dengan ayah"

Laudir pun sedikit tersenyum mendengar jawaban kakaknya itu.

Laudir menatap dirinya di cermin di kamarnya itu.

"baju ini seperti jalan hidupku" gumamnya melihat pakaian yang ia pakai serba hitam.

Rumah Duka

Semua orang datang untuk memberikan penghormatan terakhir bagi nenek Verton.

"kami sangat berduka atas kepergian nyonya Jung Si" ucap pria tua itu kepada ayah Verton.

"terimakasih"

Saat semua orang sedang sibuk menerima para tamu, Verton lebih memilih untuk menyendiri.

"apa kau akan seperti ini terus?" ujar seseorang secara tiba-tiba.

Verton menegakkan kepalanya, dan betapa terkejutnya ia melihat seseorang itu.

"kau?" ujar Verton sedikit terkejut.

Laudir pun duduk disebelah Verton.

"nenekmu mungkin sudah tenang di atas sana" tukas Laudir sambil melihat orang-orang yang sedang memberikan penghormatan terakhir pada nenek Verton.

Mendengar hal itu, tangisan Verton pun pecah.

"kenapa harus secepat ini!" Ujar Verton menangis kuat.

Laudir yang tak tega melihat kesedihan pria yang sangat ia cintai itu, langsung menarik Verton ke dalam pelukkannya.

"setiap manusia pasti akan pulang ke tempat asalnya" ucap Laudir dengan lembut sambil mengelus kepala Verton.

Verton menangis semakin kuat di pelukkan Laudir.

"ku mohon jangan seperti ini, hatiku sangat hancur melihatmu terluka" batin Laudir sambil memeluk Verton.

Semua tamu sudah pulang dari rumah duka itu, rupanya Verton menangis sampai tertidur di pelukkan Laudir.

"kamu sudah lama disini?" tanya ibu Verton melihat Laudir.

Laudir mengangguk pelan.

"iya tante" jawabnya dengan sopan.

"apa dia tertidur?" ujar nyonya Jung melihat Verton yang tertidur di pelukkan Laudir.

Laudir melihat kearah Verton, ia sedikit terkejut melihat Verton rupanya tertidur di pelukkannya.

Ibu Verton sedikit tersenyum melihat tingkah Laudir.

"baring kan saja dia disitu, kamu sudah makan?" tukas nyonya Jung.

Laudir menggeleng pelan, lalu membaringkan Verton dengan pelan.

"ayo, mari kita makan bersama" ajak nyonya Jung dan mendapatkan anggukkan dari Laudir.

"bagaimana keadaan orang tuamu?" tanya tuan Jung sambil menikmati makan siangnya.

"baik paman" jawab Laudir dengan pelan.

"tante baru tau, kamu pindah kesini" ujar nyonya Jung.

Laudir tersenyum tipis.

"ayah yang menyuruhku untuk pindah kesini" tukas Laudir, lalu meminum air yang berada didekatnya.

Setelah selesai menikmati makan siang, Laudir pun memutuskan untuk pamit pulang.

"kamu tidak berpamitan dengan Verton?" tanya nyonya Jung, sambil melihat Verton yang sedang pulas tertidur.

"ngak apa-apa tante, biarkan dia beristirahat" ujar Laudir dengan sopan, lalu berpamitan pada keluarga Jung.

Hari ini adalah hari pertama Verga memulai hidup barunya sebagai pemilik perusahaan terbesar di Kanada.

"huh! lo pasti bisa Verga" gumamnya sambil melihat dirinya di cermin.

Setelah selesai bersiap-siap ia pun berangkat menuju perusahaan itu.

Namun saat keluar dari apartemen itu, matanya tertuju pada wanita berparas Korea itu.

"hai!"

Yuka yang sedikit terkejut pun, hanya mengangguk pelan.

"kau ingin berangkat ke kantor?" tanya Verga.

"iya, kau?" Yuka bertanya balik.

"sebenarnya, hari ini hari pertama ku menjadi pemimpin di perusahaan ayah" ujar Verga sedikit ragu-ragu.

Yuka sempat terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.

"baguslah, selamat" tukasnya dengan nada dingin.

Verga yang tau akan maksud Yuka pun, langsung mengalihkan topik.

"dimana adikmu?"

"dia sedang pergi kesuatu tempat, kenapa? kau rindu?" tanya Yuka sedikit curiga.

"yak! un-untuk apa aku rindu?" jawab Verga sedikit takut melihat raut wajah Yuka.

"hmm" Yuka lalu pergi dari tempat itu, dan masuk kedalam mobilnya.

"apa dia cemburu?" batin Verga sambil melihat Yuka yang tlah jauh.

Sesampainya di kantor, Yuka pun langsung menuju ruangannya.

"hah, kenapa hati ku merasa panas saat ia menanyakan tentang Laudir?" rintih Yuka pelan, sambil menatap langit-langit kantor itu.

Namun, tiba-tiba seseorang masuk ke ruangan itu dan membuat Yuka terkejut.

"yak! apa kau tak bisa mengetuk pintu dulu?" kesal Yuka.

"lagian pintunya terbuka sedikit yah aku masuk, nih ice americano untukmu" tukas Gramela sambil meletakkan ice americano di meja kerja Yuka.

Yuka yang masih sedikit kesal itu, langsung meminum ice americano itu.

"kau sedang ada masalah?" tanya Gramela yang sedikit aneh melihat raut wajah sahabatnya itu.

Yuka yang sadar dengan maksud Gramela, sontak langsung membetulkan posisi duduknya.

"t-tidak" Jawabnya gugup.

"kau sungguh tak berbakat menjadi aktor" ujar Gramela yang sadar Yuka sedang berbohong.

Yuka hanya minum ice americano nya itu.

"hari ini kau ada jadwal bertemu client" ucap Gramela dengan santai.

"bukannya hari ini free?"

Gramela mengangguk sebentar.

"apa kau tau, perusahaan yang terkenal di Kanada ini telah berpindah tangan pada anaknya" jelas Gramela.

"yah terus? hubungannya sama aku apa?" tanya Yuka dengan sangat bingung.

Gramela menghela nafas kesal.

"kau itu pemegang perusahaan terbesar di Kanada nomor dua, jadi semua CEO di Kanada menyambut itu" jelas Gramela dengan sangat panjang.

Mendengar hal itu, Yuka langsung menyadarkan kepalanya pada meja kerja.

"kenapa harus aku sih?" desah Yuka dengan raut wajah lemah.

Sesampainya di apartemen, Laudir langsung membersihkan dirinya.

"hah, akhirnya" desah Laudir membaringkan dirinya di kasur empuk yang sedari tadi ia rindukan.

Namun saat sedang asik berbaring, tiba-tiba ponsel miliknya berdering.

"uhm?"

"hallo?" jawabnya.

"hallo Kim Laudir! Hari ini kamu ngak masuk ya?" sapa Kim hye Si dengan semangat.

Laudir sempat terdiam sejenak.

"i-iya hari ini ada acara keluarga" ujarnya berbohong.

"oh begitu, besok berangkat bareng yuk aku jemput" tawar Kim dengan semangat.

"ehh"

"ayolah, sekali ini aja" pinta Kim dengan manja.

Laudir menghela nafas pasrah.

"baiklah" tukasnya dengan nada pasrah.

"oke! Sampai ketemu besok!" ujar Kim semangat, lalu mematikan panggilan.

Laudir membaringkan tubuhnya kembali.

"hah, aku hanya ingin tidur" desah Laudir, lalu menarik selimut untuk tidur siang.

Verton terbangun dari tidurnya.

"akhh! Pasti aku menangis terlalu kuat" rintih Verton sambil memegang kepalanya yang sakit.

"kebiasaan kamu ini, ngak pernah berubah" ujar ibu menghampiri anaknya itu.

"uhm?"

"kau tadi ketiduran di pelukan Laudir" tukas adik perempuannya memberi tau.

"a-apa? kau serius?" tanya Verton sedikit terkejut, dan hanya mendapatkan anggukkan dari adik.

Verton menepuk kepalanya dengan tangannya.

"sudah, lebih baik sekarang kamu makan" suruh ibu pada anak laki-lakinya itu.

Verton pun menganggukkan dengan raut wajah yang masih bingung.

Setelah selesai menikmati makan siang, Verton pun bergegas menuju kesuatu tempat.

"oppa?" sapa adik perempuannya saat melihat Verton tampak sangat tergesa-gesa.

Bukannya menjawab, Verton hanya melambaikan tangannya kemudian pergi dari rumah duka itu.

"mau kemana kakakmu? tampaknya sangat penting" tukas ibu melihat Verton pergi dengan cepat.

sesampainya di sebuah taman, Verton langsung menelepon seseorang.

Kring~~

Ponsel milik Laudir berdering sangat kuat.

"uhm?" gumamnya saat melihat layar ponselnya.

"hallo?"

"aku sudah di taman yang kau bilang" ucap Verton dengan nafas tak beraturan.

"kau ke taman?" tanya Laudir sedikit kaget.

"iya, kau kan menyuruhku untuk ke taman"

Laudir menghela nafas panjang.

"Verton, bukannya kau sedang berduka? Pulanglah beristirahat" ucap Laudir dengan lembut.

"tak apa, aku harus menepati janjiku" jawab Verton dengan keras kepala.

"pulang dan beristirahat lah, itu baru kau menepati janjimu" ujar Laudir, lalu mematikan panggilan itu.

Verton mengelah nafas panjang, kemudian masuk ke dalam mobilnya kembali.

"bagaimana, aku sudah terlihat cantik?"

"katanya, CEO baru perusahaan ini sangat tampan"

Semua itu terus saja terdengar di telinga Kim Yuka.

"apa kau tau siapa CEO itu?" ujar Yuka yang melihat Gramela sedang sibuk berdandan.

Gramela hanya menggeleng pelan dan tetap fokus pada cerminnya itu.

Setelah beberapa menit, sebuah mobil mewah pun berhenti di depan perusahaan terbesar itu.

Verga pun keluar dari mobil mewah itu, dengan pakaian serba rapi.

"wahh ganteng sekali!" teriak gadis dibelakang Yuka.

"Verga?" rintih Yuka pelan.

Verga yang melihat ada sosok wanita yang ia sangat cintai itu langsung menghampiri Yuka.

"bagaimana, aku sudah terlihat tampan belum?" bisik Verga pada Yuka.

Semua orang yang berada di tempat itu hanya bisa teriak melihat mereka berdua.

Yuka sedikit mundur menjauh dari Verga, matanya sedikit memerah seperti menahan tangis.

"ada apa?" tanya Verga yang melihat Yuka menjauh darinya.

"apa keluargamu yang merebut perusahaan ini dari tangan ayahku?" ujar Yuka sedikit emosi.

"Yuka! Jaga bicaramu" bisik Gramela yang tidak jauh darinya.

Verga terditerdiam sejenak.

"aku hanya menjalani perintah ayahku" jawab Verga sambil menundukan kepalanya.

Plak! sebuah tamparan sangat kuat melayang ke pipi Verga.

"sudah cukup kalian membahayakan ayaku! ternyata kalian juga yang merebut perusahaan ayah!" teriak Yuka sambil menangis.

Verga hanya diam, dan tak mengeluarkan sedikit pun kata.

Gramela langsung membawa Yuka pergi dari tempat itu.

Sesampainya di taman Yuka menghempaskan tangan Gramela.

"kau tidak bisa melihat kondisi? disana ramai Yuka!" bentak Gramela.

"mereka sudah merebut perusahaan keluarga ku Gramela!" teriak Yuka sambil menangis.

Gramela yang tak tega melihat sahabatnya itu, pun memeluk Yuka.

"tapi disana sedang banyak orang Yuka, kau harus bisa membaca situasi" jelas Gramela dengan lembut.

Yuka menangis menjadi-jadi di pelukan Gramela.