Korain High School, South Korean
6 Years Ago
Prom Night, tak ada satu siswa?pun yang berusaha meninggalkan tempat kecuali Hee-ra. Seluruh angkatan,?mulai dari kelas satu sampai tiga berkumpul dalam ruangan, menggunakan gaun serta tuxedo terbaik mereka, tak lupa topeng karena tema Prom Night kali ini adalah 'Who Are You?'
Berbeda dari sekolah lain, Prom Night yang diselenggarakan oleh sekolah Hee-ra memang diadakan setiap tahun dan diikuti seluruh angkatan dengan harapan bisa mendekatkan hubungan antara senior dan junior. Dengan kata lain, Hee-ra akan menghadiri 3 Prom Night selama duduk di bangku sekolah menengah atas.
Gaun hitam metalik serta high heels setinggi?lima?centi rupanya bukan pilihan yang tepat bagi Hee-ra. Ia duduk di bar seorang diri setelah Yi-soo dan Hae-jin pamit untuk berdansa dengan pasangan mereka.
Ah, single saat Prom rupanya lumayan buruk. Kalau saja si brengsek Han-sung tidak memutuskannya dua minggu lalu dan berpaling pada gadis lain ketika hubungan mereka baru berjalan selama satu bulan, Hee-ra pasti tak sendirian malam ini.
Terlebih lagi, netranya kini mendapati sosok brengsek itu tengah tertawa lepas bersama gadis pujaan barunya. Serius, apa mereka memang berniat pamer kemesraan di depan Hee-ra?
Oh, Han-sung dan Bo-ra memang menggunakan topeng, tapi hanya sebatas mata dan hidung, sehingga tak aneh kalau Hee-ra dapat mengenali mereka dengan mudah.
Cih, kalau mereka sampai putus, Hee-ra adalah orang pertama yang akan menertawakan keduanya.
"Alone, young lady?"
Hee-ra terkesiap, vokal seorang lelaki membuat kekesalannya pada Han-sung dan sang kekasih pudar sejenak. Ia menengok, mendapati seseorang tengah berdiri di sampingnya. Tuxedo hitam dengan dalaman putih melekat sempurna di tubuh pria itu. Tak lupa topeng setengah wajah ikut menyempurnakan penampilannya.
"Boleh aku duduk?" tanyanya lagi.
"Oh?" Hee-ra menjawab dengan kaku, ia menatap kursi kosong di sebelah dan mengangguk. "Tentu."
Setelah mendapat persetujuan, pria itu segera duduk. Tubuhnya agak condong ke arah Hee-ra, berniat untuk mengatakan sesuatu.
"Tidak?punya teman kencan saat prom ternyata tidak enak." Ia tertawa.
Hee-ra mengangguk setuju. Datang ke Prom seorang diri memang sangat menyedihkan. "Ini prom pertamaku, bagaimana denganmu?"
"Terakhir." Pria itu berhenti sejenak dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Aku meninggalkan pasanganku yang membosankan."
"Oh?" Hee-ra tertohok. Mungkinkah pria yang berada di sampingnya hampir mirip dengan Han-sung? Si brengsek yang pergi setelah bosan?
"Dia terlalu posesif dan berpikir kalau aku hak patennya." Seolah mengerti pikiran negatif Hee-ra, ia mencoba menjelaskan. "Player, aku tahu dia sering bermain di belakang." Tawa hampanya kembali terdengar.
Merasa tak enak?karena?telah memikirkan yang tidak-tidak, Hee-ra berniat untuk meminta maaf. Matanya menatap penuh makna, setulus hati mengatakan permintaan maafnya. "Maafkan aku..."
"Tidak masalah." Senyuman manis terukir di bibir pria itu. Tak nampak perasaan tersinggung sama sekali dari suaranya.
Sepersekian detik kemudian, pria itu bangkit sembari mengulurkan tangan. "Mau berdansa?"
Wanita mana yang tidak luluh ketika seorang pria memintanya berdansa dengan semanis itu? Tanpa pikir panjang, Hee-ra mengangguk. Ia menyambut uluran tangan sang pria yang kemudian dituntun menuju ke lantai dansa.
Pemain musik memainkan lagu From this Moment On milik Shania Twain dengan saksofon dan gitar. Hee-ra melingkarkan kedua lengannya di leher pria itu, sementara sang pria misterius memeluk lembut pinggang Hee-ra.
Entah sihir apa yang telah memantrai otaknya, tapi Hee-ra sangat menikmati dansa mereka. Aneh memang, tapi inilah faktanya Kedua mata yang saling bertemu, begitu dalam dan mencari kejujuran. Wanginya aroma parfum yang tercium dari tubuh pria itu mampu menyihir Hee-ra untuk terus tinggal. Ia ingin terus seperti ini.
"Kau suka dengan aroma citrus?" tanya pria itu tiba-tiba.
Tatapan Hee-ra melembut. "Aku menyukai apapun yang menyegarkan."
"Kemarilah." Pria itu menuntun kepala Hee-ra agar bersandar di dadanya, tangannya semakin erat memeluk pinggang Hee-ra. "Kau bisa menciumnya dengan lebih jelas sekarang."
Pipinya merona, Hee-ra tak pernah diperlakukan semanis ini sebelumnya. Pria itu memeluknya dengan erat, memberikan kehangatan yang begitu nyaman dan memabukkan. Pikirannya melayang, harapan untuk terus bersama hadir begitu saja dalam benak Hee-ra.
Walau ia tak tahu seperti apa rupa pangeran yang tengah menjadikannya putri malam ini, tapi siapa yang peduli pada penampilan kalau jiwa sudah terkoneksi dan hati nyaman pada sifatnya?
DOR!
DOR!
DOR!
Tiba-tiba suasana berubah kacau. Seseorang yang entah berasal dari mana meluncurkan tembakan ke lampu hingga membuat semua orang terkejut. Mereka berlarian, berusaha keluar ruangan dan menyelamatkan diri, sementara bunyi peluru masih terdengar dari segala arah.
Hee-ra kebingungan, tiba-tiba tangannya ditarik oleh pria itu. Menembus kerumunan orang panik sama saja dengan bunuh diri. Bisa-bisa sebelum keluar malah mereka tertembak lebih dulu.
"Tetaplah bersamaku!" perintah pria itu. Tubuh besarnya melindungi Hee-ra. "Aku berjanji kau akan selamat, tetaplah bersamaku dan jangan panik."
Hee-ra mengangguk, ia mengikuti apa yang diperintahkan oleh pria itu. Mereka berdiri di pojok, menempel ke dinding, sementara Hee-ra membenamkan diri dalam pelukannya.
Mereka bisa melihat kilatan wajah orang-orang yang tertembak ketika cahaya lampu hidup-mati dalam sejenak. Hee-ra berdiri kaku, bibirnya memucat melihat darah di mana-mana. Pembunuhan terencana, kenapa harus anak SMA yang menjadi sasarannya? Apa salah mereka?
Hee-ra merasakan sesuatu terjatuh di kepalanya, ia mendongak, mendapati topeng pria itu terlepas, dan rasa terkejutnya semakin besar ketika menyadari bahwa pria yang tengah memeluknya... pria yang napasnya tersenggal-senggal... dan pria yang berusaha melindunginya adalah....
"Ahn Dae-hyun?"
Mendengar Hee-ra memanggil namanya, dagu pria itu mengeras. Ia terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya menunduk dan membalas tatapan Hee-ra. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Lagipula Dae-hyun bingung harus menjawab bagaimana. Otaknya berpikir cepat, mencoba mengalihkan perhatian Hee-ra dengan kembali menarik lengan gadis itu dan berusaha keluar ruangan meski beberapa penembak brutal masih menguasai.
Setelah berhasil keluar dengan selamat, Dae-hyun langsung meninggalkan Hee-ra begitu saja. Ia tidak mengucapkan kalimat perpisahan, melainkan menghindar karena identitasnya telah terungkap.
Melihat Seo-jun menari bersama Emma dengan gerakan seintim itu membuat Hee-ra agak mengerutkan kening. Beberapa kali ia sempat menyadari tatapan penuh arti yang dilemparkan Emma pada sang kekasih. Bukan bermaksud negatif, tapi bukankah mata tak bisa berbohong?
Emma memang telah memiliki kekasih. Seorang pria London berambut pirang, matanya biru bening dan berperawakan tinggi-besar. Tapi menurut kabar yang beredar, mereka selalu bertengkar dan memutuskan untuk?break?beberapa kali.
Kembali muncul penyesalan dalam hati Hee-ra. Seharusnya hari ini dialah yang sedang melakukan gladi bersih, dialah yang seharusnya berada dalam pelukan Seo-jun, dialah yang seharusnya dipandang penuh perasaan oleh Seo-jun.
Masih dalam kegundahan, tiba-tiba ponsel Hee-ra bergetar. Ia mengangkat alis, sudah lama Dae-hyun tidak menelepon, tapi hari ini pria itu kembali muncul. Mungkinkah ia sudah kembali?
Dengan malas Hee-ra menekan tombol jawab. Oh tentu, ia memang tidak menyukai sikap Dae-hyun, tapi bukan berarti Hee-ra akan mengacuhkan panggilan pria itu.
"Halo?" Hee-ra memulai lebih dulu.
"Ada apa dengan suaramu?"
"Aku?" Hee-ra membuang napas kesal. "Katakan, apa maumu?"
Seolah tak mendengar pertanyaan Hee-ra, Dae-hyun kembali mengulangi pertanyaannya.?"Ada apa denganmu? Kenapa nada bicaramu seperti itu?"
Sejujurnya, Hee-ra sering merasa bahwa Dae-hyun sangat peka terhadap perubahan kecil yang terjadi padanya. "Katakan saja apa yang kau mau, Ahn Dae-hyun."
"Ah..."?Dae-hyun mendesah. "Pasti gara-gara kekasih yang kau banggakan itu akhirnya menatap gadis lain dengan perasaannya."?Ia tertawa.?"Sudah kubilang,?kau seharusnya tidak menjalin hubugan dengannya, sister."
"Dan kau seharusnya tidak terlalu banyak bicara."
Tawa Dae-hyun kembali meledak. Hee-ra berbicara demikian??Wow, pasti?mood-nya benar-benar buruk.
"Well..." Dae-hyun menggantung perkataannya selama beberapa detik.?"Pulanglah sebelum jam tujuh. Aku ingin makan malam denganmu."
"Aku tidak janji." Matanya kembali melirik ke arah Seo-jun dan Emma. "Kusarankan kau makan malam lebih dulu karena mungkin saja aku tidak berniat untuk bertemu denganmu."
"Begitukah?"?nada sarkasme jelas terdengar,?"aku akan menunggumu, Shin Hee-ra."
"Terserah." Begitu selesai berbicara, Hee-ra langsung memutus panggilan tanpa pamit. Ia segera memasukkan ponsel ke tas dan terpaksa kembali menatap pemandagan mengesalkan di depannya. Saat matanya kembali terfokus ke panggung, Seo-jun dan Emma sudah tak ada. Hee-ra mengedarkan pandangan, mendapati Seo-jun tengah berbicara dengan?Mrs. Sanders di bawah panggung. Sementara Emma tak tahu di mana.
"Shin Hee-ra?"
Seseorang menepuk pundaknya, Hee-ra menengok dan mendapati Emma sudah berdiri di samping. Tangan kanannya menjinjing sepatu, sedangkan tangan kirinya memegang ransel kecil.
"Aku tidak membawa mobil hari ini, jadi aku meminta tolong pada Seo-jun untuk mengantarku pulang. Tapi, dia bilang aku harus mendapat persetujuan darimu." Ia berhenti sebentar. Senyumnya merekah lebar. "Padahal itu mobilnya, tapi karena ia sangat menghargaimu, jadi kuputuskan untuk mengikuti keinginannya dengan meminta izin padamu. Bagaimana?"
Tunggu dulu, apa Emma tengah mengatakan kalau seharusnya ia tidak perlu meminta izin pada Hee-ra untuk pulang bersama Seo-jun?
Hee-ra menaikkan kedua pundaknya bersamaan, mengikuti alur permainan Emma. "Kalau dia tidak keberatan, akupun begitu."
"Benarkah?" Mata Emma berbinar. "Baiklah, akan kukatakan kalau kau memberi izin." Emma megedipkan sebelah mata. "Aku akan menghampiri Seo-jun dulu." gumamnya kemudian langsung berlari meninggalkan Hee-ra begitu saja.
Wanita seperti Emma memang selalu mengatakan tujuannya dengan gamblang. Kelihatannya gadis itu agak tertarik pada Seo-jun. Tapi entahlah, Hee-ra berharap perasaannya salah.
Beberapa detik kemudian, Hee-ra merasa namanya dipanggil. Ia mendapati Seo-jun tengah melambaikan tangan, lantas pria itu berlari ke kursi penonton, menghampiri Hee-ra yang tengah berusaha berdiri menggunakan kruk.
"Am I needed?" napasnya tersenggal, Seo-jun mengulurkan tangan dan merangkul erat pinggang Hee-ra.
"Kau memberi izin pada Emma,?hm?" Seo-jun sesekali melirik Hee-ra sembari terus membantu gadis itu menuruni tangga.
"Kita harus membantu orang yang membutuhkan."
Seo-jun tertawa, ia mengacak-acak pelan rambut Hee-ra. "Good girl." pujinya.
Mereka langsung menuju ke parkiran, Emma sudah berada di sana, berdiri di samping mobil Seo-jun. Begitu keduanya sampai, Emma mengubah raut wajahnya.
"Aku tidak biasa duduk di belakang, bolehkah aku duduk di depan?"
Seo-jun langsung memandang Hee-ra penuh tanya. Sebelumnya, tak ada seorang pun yang meminta padanya untuk melakukan ini.
"Bolehkan, Shin Hee-ra?" Emma mengedip-kedipkan matanya, bibirnya mengerucut.
Hee-ra tidak ingin kelihatan seperti kekasih yang terlalu sensitif. Ia mengangguk. "Boleh, aku akan duduk di belakang." balasnya yang kemudian langsung masuk. Membiarkan Emma kesenangan karena duduk di depan.
Adanya Emma dalam mobil membuat suasana lebih gaduh. Gadis itu terus-terusan mengoceh, bukan pada Hee-ra, tapi Seo-jun.
"Kudengar ada restoran enak di dekat sini, sebenarnya aku agak lapar." Emma mengelus perutnya, sok kelaparan.
Jujur saja hal itu membuat Hee-ra cukup jijik. Apa dia memang suka cari perhatian seperti ini? Sedangkan Seo-jun yang notabenenya tidak menyadari sikap berlebihan Emma malah membalas, "Kau mau kita berhenti untuk makan malam?"
"Tentu saja!" Emma menepuk kedua tangannya antusias. "Kita tidak pernah makan bersama, bukan?"
"Aku tidak bisa ikut." Hee-ra menyahut.
Emma yang baru saja selesai bicara langsung menengok, menatap Hee-ra dengan ekspresi seolah memang tidak mengundangnya untuk ikut makan malam. Dalam artian, Emma hanya berniat pergi bersama Seo-jun. Menjijikkan sekali gadis itu.
"Kenapa?" Pertanyaan Seo-jun berhasil mengalihkan fokus Hee-ra dari Emma.
"Aku ada janji makan malam dengan Dae-hyun." jawab Hee-ra singkat.
Seo-jun menaikkan alis. "Dae-hyun sudah pulang?"?tidak biasanya kau bersemangat menemuinya. "Makan malam keluarga?"
Hee-ra menggeleng. "Mama dan papa sedang berada di luar kota."
"Hanya kalian berdua?" Ada nada tak senang dari pertanyaan Seo-jun.
Hee-ra mengangguk. "Begitulah."
Emma tak mengerti pada arah pembicaraan Seo-jun dan Hee-ra. Mereka membicarakan saudara Hee-ra layaknya orang lain. Seperti bukan saudara, melainkan pria pada umumnya.
"Kalau begitu kita langsung pulang saja." Seo-jun kembali memfokuskan diri ke jalanan. "Kelihatannya makan malam kalian sangat penting."
Setelah melambaikan tangan pada Seo-jun yang berjanji akan langsung mengantarkan Emma pulang, Hee-ra menutup matanya sembari menarik napas dalam-dalam. Keputusannya untuk pulang sebelum jam tujuh mungkin akan segera disesali. Kalau saja tadi Emma tidak menumpang, kalau saja gadis itu tidak terlalu banyak mengoceh, dan kalau saja Hee-ra tidak merasa muak, pasti sekarang ia masih bersama Seo-jun, bukannya malah membiarkan pria itu berduaan dengan Emma dalam mobil.
"Kau sudah pulang?"
Vokal familiar seorang Ahn Dae-hyun terdengar. Pria itu keluar dari balik gerbang. Selama beberapa saat, Hee-ra mencoba mengenali figur di depannya. Tidak, ia bukannya lupa pada wajah Dae-hyun, hanya saja ada yang berbeda dari sang kakak hari ini.
Dae-hyun mengenakan?sweater?merah marun, rambutnya dicat coklat, matanya memiliki lingkaran gelap yang menunjukkan bahwa akhir-akhir ini ia kurang tidur.
"Kau bilang tidak ingin bertemu denganku, eh?"
Hee-ra memalingkan wajah begitu mendapati senyum kemenangan Dae-hyun. "Aku hanya ingin menjadi adik yang baik." Ia berhenti sebentar. "Kakakku baru pulang dari luar kota dan di rumah tak ada orang, pasti sangat buruk bagimu."
Dae-hyun terkekeh, "Tidak juga." Ia mendekat ke arah Hee-ra, tangan kanannya mengulurkan sebuket bunga berisi beberapa batang anyelir merah, akasia dan tulip kuning. Tunggu dulu, tidak ada mawar?
"Aku mampir ke toko bunga tadi." Dae-hyun menunduk. "Sang penjual bilang, aku harus memberikan mawar merah pada kekasihku. Tapi... sayangnya kau bukan kekasihku. Jadi kubelikan kau anyelir, akasia dan tulip ini."
Hee-ra memicingkan mata, tak langsung menerima buket bunga dari Dae-hyun.
"Kau tidak perlu khawatir, aku tidak memberi racun atau mantra pada bunga ini." Dae-hyun meraih tangan kanan Hee-ra, menuntunnya agar mau memegang buket bunga darinya. "Kau tidak pernah mempercayai perasaan yang selalu kutunjukkan dengan kata-kata, kuharap bunga ini bisa menggambarkan bahwa yang selama ini kau dengar bukanlah omong kosong belaka."
Tak ada penolakan dari Hee-ra, ia menjilat bibir bawahnya yang mulai kering. Mata itu... untuk pertama kalinya selama beberapa tahun, Hee-ra melihat kesungguhan di sana. Dae-hyun yang ada di depannya malam ini bukanlah Dae-hyun yang kejam, melainkan Ahn Dae-hyun yang pernah membuatnya jatuh cinta ketika SMA.
"Senang melihatmu lagi, Shin Hee-ra." Dae-hyun menarik kedua ujung bibirnya bersamaan. Senyuman manis nan polos yang dulu membuat jantung Hee-ra berdebar sangat kencang, untuk pertama kalinya kembali lagi.
Memang kilatan tentang masa lalu kelam mereka masih terbayang dalam benak Hee-ra, dan tentu saja hal itu tak akan pernah bisa dilupakan. Bagaimanapun, melihat Dae-hyun membunuh menggunakan tangannya sendiri pasti membuat siapapun trauma, bukan? Terlebih lagi, dulu Hee-ra masih memiliki perasaan pada pria itu.
Dae-hyun menatapnya penuh makna, ia menarik dagu Hee-ra agar mendongak. "Shin Hee-ra, aku memang jahat, tapi aku tak akan pernah melukaimu."
Hening selama beberapa detik, Dae-hyun berniat mencium Hee-ra, mengatakan betapa rindunya ia pada gadis itu, tapi sebisa mungkin ditahan. Ia hanya tidak ingin mendapat penolakan, itu saja.
Dae-hyun menurunkan tangannya dan bergerak menuju lengan Hee-ra. Digenggamnya tangan kiri gadis itu erat-erat. "Jangan lari lagi, Shin Hee-ra. Kau milikku, mengerti?"
Hee-ra membiarkan Dae-hyun menggandengnya ke mobil, ia juga tak mengeluarkan suara sedikitpun untuk membalas perkataan Dae-hyun barusan. Toh, Dae-hyun tak pernah mendengarkannya, bukan? Lagipula Hee-ra juga sudah terlalu lelah untuk menolak dan terus menolak.
Dae-hyun berkendara dengan santai, walaupun tidak ada percakapan atau sekadar basa-basi antara keduanya, entah bagaimana perasaan hangat tiba-tiba menyelimuti suasana. Mereka hanya saling terdiam, tiada rasa canggung atau takut. Hee-ra sendiri tak mengerti, mungkinkah selama ini ia rindu pada Dae-hyun? Sehingga saat kembali bertemu dengan pria itu malah rasa hangat yang menyeruak dalam hatinya?
Mereka berhenti di salah satu restoran. Jaraknya hanya beberapa kilometer dari rumah, walaupun begitu, Hee-ra maupun Dae-hyun belum pernah ke sini sebelumnya. Dae-hyun langsung membukakan pintu untuk Hee-ra, membantu gadis itu keluar, mengingat keadaan kaki sang adik yang belum begitu pulih.
Dae-hyun mengeluarkan kartu bewarna emas dari saku dan menunjukan pada seorang pelayan. "Aku sudah memesan tempat atas nama Ahn Dae-hyun." gumamnya.
Lantas, sang pelayan membuka daftar nama tamu?VIP. Ya, restoran ini memang terdiri dari beberapa ruangan dengan dua fasilitas. Delapan puluh persen ruangan bisa didatangi kapanpun, layaknya restoran biasa. Namun dua puluh persen lainnya hanya bisa digunakan apabila sang pembeli telah memesan.
"Saya akan mengantar anda?Mr. Ahn." sang pelayan menyunggingkan senyum dan berjalan mendahului keduanya.
Mereka mengikuti sang pelayan dari belakang. Jujur, Hee-ra cukup terkejut melihat betapa ramainya restoran ini. Tentu saja, tiap hari ia selalu lewat dan mengamati restoran ini tak pernah sepi, banyak mobil berderet bahkan sampai berada di luar batas parkir. Tapi Hee-ra tidak menyangka kalau di dalam rupanya lebih ramai dari apa yang dibayangkan.
Matanya memicing, bayangan dua orang anak manusia yang tak asing membuat Hee-ra menghentikan langkahnya. Seorang wanita dan pria duduk di dekat jendela kaca, jauh di keramaian, tenggelam dalam suara berisik juga alunan musik.
"Seo-jun?"
Ia menatap Dae-hyun sebentar, meminta izin untuk mendekat ke arah pria dan wanita yang berada cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Meski Dae-hyun telah menggelengkan kepalanya, bukan Hee-ra namanya jika mau menurut.
Gadis itu tetap pada pendiriannya, ia berjalan mendekati Seo-jun dan Emma. Bukankah mereka bilang akan langsung pulang? Kenapa malah berhenti dan makan malam di tempat ini?
"Seo-jun?" Suaranya bergetar, pria yang tadinya tertawa bersama dengan wanita di depannya langsung berhenti. Matanya membulat seolah tak percaya Hee-ra ada di tempat yang sama dengannya. "Kukira kau langsung mengantarnya pulang." lanjut Hee-ra, masih dengan nada yang stabil, berusaha tidak menunjukkan kemarahan di dalamnya.
"Shin Hee-ra?" pekik Seo-jun, ia langsung bangkit dan keluar dari meja, berdiri tepat di samping Hee-ra. "Aku... Eh... kami—"
"Aku yang mengajaknya makan." Emma memotong. "Maaf, tapi aku tadi kelaparan dan kebetulan ada restoran tak jauh dari rumahmu. Aku yang memaksa Seo-jun untuk berhenti."
Oh, tentu. Tanpa diberitahupun Hee-ra sudah sangat yakin kalau Emma lah yang meminta agar mereka makan di sini. Tapi kenapa Seo-jun harus tertawa selebar itu? Ia kelihatan senang sekali. Ia bahkan tidak mengirim pesan setelah mengantar Hee-ra ke rumah dan memilih untuk menghabiskan waktu bersama Emma.
Seo-jun buru-buru menarik kursi. "Duduklah, kau mau pesan apa?" tanyanya sambil mengulurkan tangan pada Hee-ra.
Bukannya menerima, Hee-ra malah terdiam. Ia membiarkan tangan Seo-jun hampa selama beberapa saat.
"Tidak perlu, aku datang bersama kakakku." akunya.
"Dae-hyun?" Seo-jun mengedarkan pandangan untuk mencari tahu keberadaan Dae-hyun. Benar saja, netranya berhasil menemukan sesosok pria ber-sweater?merah marun yang tengah menyusul ke sini.
"Halo." Dae-hyun memaksakan senyuman. "Tidak kusangka kita akan bertemu di sini."
"Hee-ra mengatakan kalau kau sudah pulang dan mengajaknya makan malam." gumam Seo-jun.
"Dan kau makan malam dengannya karena Hee-ra memutuskan untuk pergi denganku?" Dae-hyun menaikkan alis, senang melihat ekspresi tegang dan kesal yang ditunjukkan Seo-jun.
"Well." Dae-hyun nampak berpikir sebentar. "Aku sudah sangat lapar. Maaf kami tidak bisa bergabung dengan kalian karena aku sudah memesan tempat di ruang VIP. Kuharap makan malam kalian menyenangkan."
Mungkinkah Dae-hyun berniat memanasi Hee-ra dengan berkata seperti itu? Ia seolah mendikte bahwa Seo-jun adalah pria brengsek yang meninggalkan kekasihnya seorang diri di ruma dan malah bersenang-senang dengan gadis lain.
Dagunya mulai mengeras, namun ia masih berusaha menutupi kekesalannya. "Kami pergi dulu." ucap Hee-ra cepat dan kemudian berbalik.
"Aku akan menghubungimu setelah ini." gumam Seo-jun penuh perasaan.
Hee-ra menengok sedikit, ia sengaja tak memandang Seo-jun. "Habiskan saja makananmu, jangan mengantar Emma pulang terlalu malam, Kim Seo-jun." balasnya kemudian mulai melangkah pergi.