Terpisah

Setelah beberapa menit beristirahat, aku mendengar suara Miku memanggilku.

"Umm..Nero-kun." Panggil Miku

"Hmm." Gumamku merespon panggilannya.

"Aku..minta maaf karena tidak berusaha lebih keras untuk mencarimu dan bahkan hampir meninggalkanmu." Aku mendengar Miku berbisik dengan nada sedih. Aku menghela nafas dan membuka mataku,lalu menatapnya dan memegang tangannya yang sedang tergenggam di pangkuannya.

"Miku-chan, aku malah senang kau tidak berfokus untuk mencariku. Aku malah khawatir jika kau terus mencariku. Karena akan sangat berbahaya jika kau berfokus mencariku." Kataku kepadanya.

"Tapi.. aku sangat senang kau peduli dan mengkhawatirkanku." Ucapku sambil tersenyum kepadanya.

"Aku…aku sangat takut jika kau tak selamat…aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika..jika…"

"Sssttt. Aku tak akan kemana-mana oke." Ucapku menghapus air matanya.

"Jangan menangis oke. Lagipula sekarang aku sudah tak apa-apa kan." Ucapku.

"Mmhm." Dia mengangguk kepadaku.

Setelah diam beberapa detik, aku memutuskan untuk mengambil peta dari tasku, melanjutkan mencari rute yang akan kami lalui.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku masih melihat peta. Kami sekarang berkendara di dekat tepi laut…. Kuharap bus akan terus sepi seperti ini, namun ternyata harapanku sia-sia, Tsunoda dan gengnya mulai membuat keributan.

'Baiklah, Shido akan segera beraksi. Jadi aku sudah mengatahui dimana kita sekarang, jadi sekarang aku harus mencari tempat untuk bertemu jika kita terpisah.' Pikirku sambil melihat peta mengabaikan keributan itu.

Memindai peta, aku menemukan sebuah taman yang berada di dekat salah satu jembatan yang lebih kecil dan relatif dekat dengan posisi kami.

'Hmm ini bisa berhasil, masih di daratan yang sama dan jembatan disana sepertinya kecil, jadi kemungkinan tidak akan tersumbat atau diblokir.' Pikirku

Saat aku menyelesaikan pikiranku, aku tersentak ke depan saat bus tiba-tiba berhenti. Shizuka melepas sabuk pengamannya dan berbalik.

"Aku tidak bisa mengemudi dengan semua teriakan kalian!"

Tsunoda terlihat membeku sejenak, sebelum teriak lagi. Tentang hal-hal yang tidak ingin kudengarkan, tentang memiliki orang-orang yang benar dalam tim atau omong kosong lainnya.

"Lalu apa yang kau inginkan." Tanya Saeko saat dia berdiri disamping Shizuka dan menoleh ke Tsunoda.

"Aku tidak tahan dengannya." Teriaknya sambil menunjuk ke….aku?

'Hm yah aku tak peduli.' Pikirku sedikit kaget dia menunjukku bukan Takashi.

"Aku tidak tahan dengan pengecut itu, kenapa kita harus membawa beban seperti dia." Tsunoda terus berteriak.

Miku ingin berbicara membelaku, namun aku menghentikannya. Aku juga melihat Rei ditahan Takashi dan Kohta ditahan Saya.

'Jadi aku bertukar peran dengan Takashi? Yah apapun, bajingan ini harus diberi pelajaran atas apa yang dia lakukan di sekolah. Kali ini aku tidak akan membiarkannya begitu saja.' Pikirku sambil perlahan bangkit, aku menghampiri dirinya dan perlahan memiringkan kepalaku sedikit.

"Berhati-hatilah kalau berbicara, bajingan."

Tsunoda kehilangan kesabaran yang sedikit dia miliki, berteriak dan maju menyerangku. Dia dikuasai oleh amarah buta saat berlari ke arahku.

Namun kali ini aku tidak menunggunya, aku langsung maju dengan cepat sedikit memiringkan kepala dan meninju perutnya dengan sedikit keras. Setelah itu aku menjambak rambutnya dan menyundul hidungnya, membuatnya jatuh sambil memegangi hidungnya yang berdarah.

Merasa belum cukup, aku segera berlutut diatas tubuhku dan menarik kerah bajunya.

"Orang terakhir yang meninggal didekatku juga berakhir dengan hidung patah. Kau mengisi peran itu dengan sempurna saat ini. Bersyukur aku tidak menggunakan tongkatku yang berdarah untuk memukul wajahmu untuk menguji apakah darah orang yang terinfeksi dapat menularkan kan penyakit. Lain kali kau menimbulkan masalah bagiku atau bagi teman-temanku. Aku akan membunuhmu. Anggap ini peringatan untukmu. Sekarang fuck off."

Setelah itu aku menendang wajahnya hingga membuatnya terlempar ke kaki Shido. Lalu aku mendengar Shido bertepuk tangan.

'Aku mulai kesal dengan sandiwaranya.' Geramku dalam pikiran.

"Kerja bagus Marcial, kamu pasti tahu bagaimana cara bertarung. Tapi ini membuktikan apa yang kukatakan, kita butuh pemimpin, seseorang yang bisa menghentikan pertengkaran seperti ini."

Shido mulai mengoceh tentang bagaimana dia akan mengentikan konflik yang terjadi dan membuat semua orang aman. Semua ocehan tak berguna lainnya. Menyebabkan kawanan kecilnya bertepuk tangan. Dia kemudian mengakhiri pidatonya dengan membungkuk dan tersenyum.

"Sepertinya sudah diputuskan. Sekarang aku adalah pemimpin kelompok ini." Katanya.

Merasa agak sarkastik,aku mulai bertepuk tangan tepat setelah dia menyelesaikan pidatonya. Meskipun ekspresiku memberitahukan bahwa aku tak mendengarkan omong kosong yang dia ucapkan.

"Cheers, Bravo, Bravo. Seseorang beri dirinya piala Oscar. Semua akting itu sangat bagus, jika menurutmu kita benar-benar idiot. Menciptakan masalah dan kemudian bertindak seolah-olah kamu menyelesaikan masalah itu sendiri, hampir seperti para bajingan politisi."

Wajah Shido sebenarnya sedikit berubah setelah mendengar saya mengatakan politisi.

'Heh dari semua yang kukatakan, politisi yang mengganggunya? Kurasa dia sangat membenci ayahnya ya.' Pikirku.

Namun dia dengan cepat mengembalikan ketenangannya.

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan Marcial. Namun jika kamu tidak suka berada dibawah kepemimpinanku. Kamu bebas untuk pergi." Ucap Shido sambil menyeringai.

Seolah mengharapkan itu, Reid an…Toshimi? Melompat keluar dari bus dan mulai menuju terowongan terdekat.

"Sial." Umpatku pelan dengan segera menyusul Rei dan Toshimi keluar bus, aku melirik kebelakang dan melihat Takashi juga keluar mengejar mereka.

Aku segera menarik tangan Rei dan menahannya.

"Takashi hentikan Toshimi-san sebelum dia menjauh." Kataku ke Takashi yang berhenti disampingku. Dia terlihat enggan meninggalkan kami dan segera menghentikan Toshimi.

"Rei, apa yang kau lakukan." Kataku kepadanya.

"Aku benci Shido, aku tak tahan satu bus dengannya." Katanya panas sambil memelototiku.

"Rei dengarkan, aku tahu kau membencinya, persetan aku juga membencinya, tidak ada yang suka dengannya. Namun untuk sekarang kita harus menahannya sebentar. Aku berjanji kita akan berpisah dengannya nanti." Kataku berusaha menenangkannya.

"Tapi…" namun sebelum dia bisa menjawab, kami mendengar teriakan Saeko, aku menoleh dan melihat bus yang jatuh menuju kami. Aku segera menarik Rei ke dekat bus kita dan berteriak kepada Takashi.

"Komuro awas." Ucapku sedikit keras. Takashi yang mendengarnya dengan cepat mendorong dirinya dan Toshimi, dan bus jatuh di depan terowongan menghalangi jalan masuk dan keluar ke terowongan.

Aku melihat Saeko menghampiri bus yang terjatuh itu diikuti oleh Rei.

"Komuro kau tak apa.?" Tanya Saeko.

"Takashi?" ucap Rei khawatir.

"Aku tak apa. Kalian pergilah, kita bertemu nanti." Kata Takashi.

"Dimana,?" Tanya Rei

"Kantor Polisi!" kata Takashi.

Aku yang mendengar itu segera bergabung dengan obrolan.

"Tidak, kantor polisi terdekat masih jauh! Harus melalui jembatan dulu dan kita tak tahu apakah jembatan bisa kita lewati! Kita butuh lokasi di dekat sini." Aku berteriak.

"Lalu kemana.?" Dia berteriak kepadaku.

"Ada taman besar, Marui Shigemi, sebelah timur dari sini, dekat salah satu jembata kecil yang menghubungkan ke daratan pusat! Kita bisa bertemu disana hari ini atau besok pukul tujuh! Jika tempat itu dibanjiri mayat, pergilah ke jembatan dan tunggu diatas jembatan atau dibawahnya!" aku berteriak.

Takashi mengangguk kepadaku melalui celah kecil di reruntuhan bus yang terbakar, aku menatapnya dan melihat dia menatapku dengan aneh dan sedikit tidak suka. Lalu dia membalikkan punggungnya dan berlari bersama Toshimi.

Aku melihat ke mayat-mayat yang mendekat, Saeko menyiapkan bokkennya dan Rei menyiapkan tombaknya, hanya untuk mayat-mayat tersebut jatuh terbakar.

"Aku sedang tidak mood menghajar mayat-mayat ini. Ayo kita pergi dari sini, tabrakan ini pasti menarik mayat-mayat disekitar." Kataku kepada Saeko dan Rei.

Saeko mengangguk dan segera kembali ke bus, namun Rei masih sedikit ragu untuk kembali.

"Rei ayo tidak ada waktu. Aku berjanji padamu, kita tak akan lama berada di satu tempat dengan bajingan itu." Kataku kepadanya, melihatnya masih ragu, aku menarik tangannya dan berlari ke bus.

Menaiki bus, aku melihat Saeko berteriak kepada Shizuka untuk mengubah rute, Shizuka mengangguk dan memutar bus. Aku menuntun Rei ke kursiku dan melihat Miku memegangi tasku dengan Kohta duduk didekat tasku.

"Apa terjadi sesuatu." Kataku menatap mereka berdua. Mereka berdua mengalihkan pandangan ke kelompok Shido.

'Tentu saja, aku secara terbuka menentang bajingan itu beberapa saat yang lalu. Sekarang aku akan menjadi targetnya dan kawanan tak bergunanya. Sial terjebak disini sedikit lebih lama lagi pasti akan menyebalkan.' Batinku

"Begitu, terima kasih untuk menjaganya, Kohta, Miku-chan." Kataku kepada mereka

"Jangan sebutkan itu, awasi punggungmu Nero." Kata Kohta saat dia bangun dan menuju kursinya. Aku menuntun Rei untuk duduk di kursiku di samping Miku.

"Kau baik-baik saja Rei." Tanya Miku khawatir

"Mm..Aku tak apa-apa. Maafkan aku karena melompat begitu saja keluar bus." Katanya sedikit menyesal.

"Hm jangan dipikirkan Rei." Kataku sambil melihat-lihat isi tasku dan memastikan semua peralatanku ada di dalam tasku.