BAB 1: Good Bye Jakarta.

Sebuah mobil BMW Hitam dan Fortuner hitam berhenti tepat di Lobby Airport Internasional Soekarno Hatta. Seorang gadis cantik berumur 22 tahun mengenakan jeans biru, sweater pink, sepatu kets dan menenteng ransel kulit turun dari mobil sedan itu. Rambut panjang halus kecoklatannya, berkibar-kibar tertiup angin.

Setelahnya, turun pasangan Gerhard dan Cecilia Adnan, orangtua dari Adelia. Menyusul di belakang sang mama, tante mita sang asisten. Keduanya orangtuanya masih sibuk dengan HP mereka masing-masing, sedangkan Adelia tidak sabar untuk masuk ke dalam airport dan terbang secepat mungkin.

Ia telah di terima di Curtin University jurusan Public Relations di kota Perth, Australia. Namun ia akan mengikuti sebuah bridging program, dimana ia akan melatih kemampuan bahasa Inggrisnya, khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan mahasiswa pasca sarjana universitas tersebut. Apapun itu, Adelia tidak perduli. Ia tidak sabar untuk mengenyam kebebasan yang hakiki di negeri orang tanpa di cekoki orangtuanya. Karena begitu ia pulang, ia sudah harus mulai bekerja rodi untuk perusahaan sang bunda, Cecilia Marcomm, sebuah jasa konsultasi di bidang media massa, event dan communication crisis.

Adelia memandang sang papa yang masih sibuk dengan HP miliknya, sedangkan mama tampak sedang berdiskusi dengan asisten pribadinya. Hari ini, Adelia akan berangkat sendirian ke Perth. Orang tuanya sangat sibuk sehingga tidak mungkin menyisihkan waktu 3 atau 4 hari mengantarkannya ke sana.

"Nanti akan ada pihak konsultan pendidikan yang akan jemput kamu, trus nganter kamu ke asrama. Besoknya, dia juga yang akan nganter kamu ke kampus untuk daftar ini itu. Kamu udah 22 tahun, harusnya bisa ngurus semuanya sendiri, mama papa ga usah ikut. Nanti pas spring, mama papa akan kesana", begitu kata mama.

Sebagai anak tunggal dari seorang wanita sukes, Adelia kadang merasa sangat tertekan. Masa-masa SMP dan SMA dihabiskan untuk belajar, les dan les. Masa-masa kuliahnya di sebuah universitas swasta juga banyak diisi dengan belajar serta magang di perusahaan sang mama. Apalagi sang mama merupakan salah satu dosen terbang disitu, membuatnya tidak bisa sering-sering bolos deh. Sang papa sendiri adalah seorang partner di sebuah kantor akuntan publik yang cukup terkenal. Beliau super sibuk. Padahal anaknya cuma satu ya. Hihihi

Sang supir dengan sigap menurunkan 2 koper besar yang berisi segala baju-baju dan perlengkapan Adelia di Australia nanti. Adelia sudah dengar cermat menyusun belasan baju, jaket, sepatu, tas, serta peralatan belajar yang ia perlukan. Sang mama memaksa untuk membawa 2 set seprei, piring, gelas, bahkan botol air minum. Padahal disana juga bisa beli ya. Tapi ya sudahlah. Yang penting mama dan papa Adelia sudah memastikan dana yang tak terbatas untuk memulai tinggal disana. Setelah itu, setiap bulan ia hanya akan dijatah untuk makan 2x sehari dan uang bus doank. Huaaaaaaa....

Saat ini mereka sedang duduk disebuah ruang tunggu. Mama dan papa Adelia tidak bisa memasuki lounge karena mereka tidak memiliki boarding pass. Mereka juga kelihatannya tidak betah, dan ingin cepat-cepat menyuruh Adelia masuk, sehingga mereka bisa kembali bekerja. Sang mama hari ini ada sebuah event seminar besar yang diadakan sebuah instansi pemerintah. Ia dan sang asisten sudah gelisah. Ingin rasanya Adelia mengusir mereka secepatnya. Satu-satunya anak mereka akan berangkat kuliah di luar negeri, kok gak sedih sih?

"Nah itu dia! Mbak Wien! Sini Mbak Wien!", teriak mama Cecilia pada sesosok wanita berusia 45 tahunan. Adelia tercekat. Mbak Wien... atau yang biasa ia sebut tante Wien, atau terkadang dipanggil Dokter bedah Wien, adalah seseorang yang cukup ia kenal. Karena ia adalah...

"Oowww calon besaaaann! Udah sampe aja!", sang tante Wien berjalan cepat dan kemudian bercipika-cipiki dengan mama Cecilia dan kemudian menyalam papa Adnan. Di belakangnya, menyusul om Abraham, partner papa di Adnan & Abraham Public Accountant. Mereka berempat bercengkrama layaknya baru ketemu di hari raya, meriah dan sumringah. Tapi tidak hati Adelia. Ia memiliki firasat buruk. Biasanya, bila ada tante Wien dan om Abraham, artinya...

"Bastian! Ayo cepet sini. Salam dulu om Gerhard dan tante Cecilia", perintah om Abraham. Sang cowok mengenakan kemeja biru muda, celana jeans biru tua dan sebuah jaket kulit. Ia menggunakan sepatu booth kulit berwarna hitam. Rambutnya pendek namun poninya agak gondrong, sengaja tidak ia pomade dan dibiarkan berantakan di dahinya. Adelia menatap cowok itu dengan tatapan super sinis dan tajam bak ular cobra. Ngapain cecunguk itu disini?

Bastian Abraham. Nama yang sangat tidak asing di keluarga Adelia. Selain orang tua mereka pendiri kantor keuangan itu, bunda mereka merupakan teman sejati ketika mereka SMA. Keluarga Adelia dan Bastian bahkan tinggal di kompleks yang sama! Sudah angan-angan mereka saling menjodohkan anak tunggal mereka dari kecil.

Rencana itu semakin membara, ketika Bastian memasuki Universitas Indonesia jurusan Akuntansi. Papa Gerhard Adnan melihat ini sebuah kesempatan. Ia tidak mungkin mewariskan perusahaan akuntan publiknya kepada Adelia yang jelas-jelas sangat membenci angka. Ia harus mencari menantu seorang akuntan, yang bisa ia percayai. Siapa lagi calon terbaik selain Bastian, yang pada dasarnya sudah memiliki 50% saham itu dari papa Abraham? Sempurna bukan?

Padahal, Adelia sangat-sangat membenci cowok itu. Mereka pernah satu SMP di sebuah sekolah swasta. Bastian merupakan anak badung yang selalu membully ia dan teman-temannya. Begitupun, guru-guru tidak bisa berkutik. Anak itu memiliki otak yang encer dan unggul di beberapa cabang olahraga. Dan yang paling menyebalkan adalah, beberapa teman-teman Adelia sendiri melihatnya sebagai cowok yang ganteng. Hueeeekkk.

"Adel, Tian, hayu kalian check-in dulu bareng-bareng. Biar duduknya bisa deketan. Mita, tolong bantuin mereka ya. Minta mang Udin untuk bawa kopernya sampai ke konter check-in", perintah mama Cecilia kepada asisten dan supirnya. Adelia dan Bastian menurut dengan enggan, dan mengikuti tante Mita sang asisten. Adelia berusaha untuk berjalan menempel kepada asisten Mitha dan menghindari bertatapan mata dengan cecunguk.

"Tante Mita, Adel minta tolong banget, usahain dudukku, seeeeeeeejauh mungkin dari cowok itu. Paham?", perintah Adelia. Tante Mita mengangguk-angguk. Tapi tentu saja tidak akan ia turuti. Yang menggaji dia kan, bu Cecilia. Hihihi.

Setelah selesai mendapatkan boarding pass, Adelia langsung menyeret sang mama. "Mama! Kenapa ga ngomong sih kalo Bastian juga kuliah di Perth? Apa dia kuliah di kampus yang sama? Enggak kan ma? Enggak kan ma?" pinta Adelia dengan mata beruang.

"I don't know....", kata sang ibu acuh sambil mengecek HP miliknya.

"Trus ngapaaainnnn aku hari ini berangkat bareng ama dia? Kuliahan itu baru mulai minggu depan, aku udah rencana mau stay lebih cepet biar bisa jalan-jalan dulu. Kenapaaaaa dia bisa berangkat tepat sekali hari ini, di jam ini, dan penerbangan ini?", tanya Adelia lagi.

"Loh Del, menurut kamu kenapa mama mau ngijinin kamu berangkat sendirian hari ini? Oh wait, kenapaaa mama Cuma ijinin kamu kuliah di Perth, bukan di Melbourne atau Sydney? Tentu saja, karena ada Bastian. Mama tau kalo kamu sama dia bisa saling menjaga dan menemani. Tepatnya, dia yang jaga, kamu yang nemenin hahahahah. Lagian kalian sudah mulai harus latihan loh. Inget, 2 tahun lagi, begitu kalian berdua wisuda, saat itu juga kalian akan menikah. Paham?", tutur mama Cecilia sambil memasukkan HP ke dalam tas tangan kulitnya. Ia memperbaiki letak kaca mata hitam di atas kepalanya.

Adelia menggeleng tidak percaya. Begitu Adelia mau protes…

"Ok, Adel, Tian, langsung masuk aja kalian. Kami mau ada meeting di kantor, mamamu sudah mau ke event. Tante Wien juga ada pasien yang mau operasi siang ini, beliau harus siap-siap. Ok? Akur-akur kalian di Perth ya. Nanti kami gantian nengokin kalian", seru papa sambil memberikan perintah agar semua saling berpelukan. Bastian dengan sigap menyalami kedua orang tua Adelia dan mulai memeluk orang tuanya satu persatu.

Kali ini Adelia tidak dapat mencegah airmatanya untuk turun. Walau kedua orangtuanya selalu sibuk selama hidupnya, tapi mereka selalu pulang kerumah yang sama. Setidaknya mereka bisa sarapan bareng walau fokus mereka akan kemana-mana. Kali ini, mereka akan berpisah setidaknya 4 semester. Sedetik hatinya menciut... apakah ia bisa hidup tanpa kedua orang ini di negeri orang? Airmatanya membanjir dan ia mulai sesegukan. Ia menutup kedua matanya dan menunduk.

Mama Cecilia yang sedari tadi sudah tidak sabar untuk pergi, kontan ikut sedih. Sebenarnya sejak tadi ia gelisah dan kuatir, tapi ia tutupi dengan berpura-pura sibuk dan memikirkan tentang pekerjaannya. Ia kuatir bila ia terlalu memikirkan Adelia, ia mungkin akan mencegah gadis itu naik ke pesawat dan meninggalkannya. Baginya, Adelia masih saja seperti anak bayi di matanya. Akan selalu begitu. Bayinya.

Ia akhirnya memeluk gadis itu dan ikut menangis. Tante Wien tidak mau kalah, beliau juga ikut menangis dan memeluk dua perempuan itu. Kedua papa hanya menatap dengan tatapan haru dan berusaha untuk sabar. Bastian? Ia hanya memutar matanya, membayangkan ia harus bersama cewek baper ini di dalam pesawat nanti. Semoga saja tidak merepotkan.

---

Saat ini Adelia dan Bastian sudah duduk di dalam pesawat. Yang ia tidak paham adalah, kenapa ia masih duduk bersebelahan dengan Bastian Abraham? Padahal jelas-jelas ia tadi sudah memberi instruksi kepada tante Mita agar memisahkan mereka sejauh mungkin. Ia memanggil salah satu pramugari.

"Excuse me, can I change my seat please? I see there are several empty seats on the right side", pinta Adelia.

"Ohhh sorry young lady. This is business class. Passangers are not allowed to change seats. And moreover, I think today, all the business class seats will be full", jawabnya ramah.

Adelia meringis. Tapi ia tidak kehabisan ide. "Miss, is it possible to downgrade to economy class?", tanyanya, yang disambut keheranan oleh sang pramugari. Bastian tidak mampu menahan tawanya. Dasar cewek sinting!