BAB 14: Belum Waktunya: Bastian Edition

Tiga minggu berlalu sejak perkuliahan dimulai, kegiatan perkuliahan Bastian cukup menyita perhatiannya. Selain menatap balkon setiap pagi selama sarapan, ia juga mulai mencicil tugas-tugas dan materi yang harus ia kuasai dari pagi hingga siang. Ia akan tidur setelah makan siang sebentar, kemudian ia akan mandi dan bergegas untuk mengikuti perkuliahan pukul 4 sore atau 7 malam. Pulang kuliah, ia akan makan malam bersama teman satu flatnya, dan mulai mengulang pelajarannya lagi dan tidur pukul 10 malam. And repeat.

Ia menyadari suatu hal tentang teman-teman satu flat atau teman-teman sekampusnya. Mayoritas mereka merasa perkuliahan adalah sebuah pekerjaan yang serius. Rata-rata mereka menghabiskan waktu 6 sampai 8 jam untuk belajar satu hari, bahkan diluar jam perkuliahan mereka! Jadi bila mereka tidak ada kuliah di pagi hari, mereka akan bekerja (itu istilah mereka untuk belajar) sampai waktunya makan siang. Sepulang kuliah, mereka akan mampir di perpustakaan untuk mencari buku referensi, bekerja kelompok atau mencicil tugas mereka. Hal itu akan mereka hitung sebagai working (belajar). Begitu juga bila mereka hanya ada kuliah pagi, mereka akan menghabiskan waktu sepulang kuliah untuk bekerja (belajar) sampai 6-8 jam sehari. Semua itu dilakukan diluar dari bekerja beneran seperti menjadi pelayan restoran, pencuci piring, atau pekerjaan buruh lainnya.

Ketika weekend datang, mereka akan mencampakkan buku-buku itu, dan berpesta habis-habisan sampai hari Sabtu benar-benar selesai. Minggu pagi adalah waktu mereka menjadi zombie. Mereka akan merasa pengar karena pengaruh alkohol berlebihan, bangun pukul 10 pagi, makan brunch (breakfast & lunch), dan istirahat sebanyak-banyaknya. Ketika sore menjelang malam, mereka sudah di stamina yang baik sambil mempersiapkan materi-materi kuliah mereka pada minggu berikutnya. Jadi ketika ujian mid-term, ujian semester atau tugas harus dikumpulkan, mereka tidak terlalu kaget. Tugas-tugas sudah mereka cicil setiap hari, dan materi-materi perkuliahan sudah mereka pahami dengan mengulangnya berkali-kali setiap hari. Luas biasa bukan? Pantas saja mereka pintar-pintar dan fokus.

Satu-satunya mahasiswa Indonesia yang melakukan hal yang sama adalah Maretha. Kinerjanya akan selalu di evaluasi oleh sang pemberi beasiswa, karena itu ia harus berusaha keras. Selain bekerja, Maretha menghabiskan waktu hampir setiap hari dari pagi sampai malam di kampus. Ia membawa bekal makanan yang cukup untuk sarapan, makan siang bahkan malam. Ia bahkan membawa baju ganti! Ia hanya akan absen bila ia ada giliran bekerja di restoran, yang terjadi hanya pada 3 hari makan siang dalam seminggu. Begitu selesai bekerja, ia akan langsung ke kampus.

Sejak "date" mereka di restoran Indonesia itu, Maretha dan Bastian selalu duduk bersama selama perkuliahan. Mereka akhirnya memiliki gank Asia beranggotakan 5 orang yang mengambil mata kuliah identik dengan Bastian dan Maretha. Nico dan Sam dari Singapore, dan Lia dari Jakarta adalah anggota tambahan mereka. Mereka berlima terlibat dengan berbagai kerja kelompok, diskusi bareng, sampai makan malam bareng sesudah kuliah. Selain itu, Bastian dan Maretha sering janjian untuk berbelanja bareng, ke perpustakaan bareng, atau sekedar mengerjakan tugas bareng di computer lab campus. Mereka hampir tidak terpisahkan di sekitar kampus.

Beberapa teman mereka mulai menjodoh-jodohkan mereka berdua. Maretha kelihatan sama sekali tidak keberatan. Ia tidak berusaha menyembunyikan rasa sukanya dengan Bastian, dengan mengikutinya kemana-mana bila ada kesempatan. Tidak terhitung banyaknya ia mengunjungi flat Bastian tanpa pemberitahuan, untuk sekedar memasakkan sesuatu atau mengerjakan tugas bersama. Biasanya ia akan mengganggu tidur siang Bastian dan mengajaknya belajar sampai waktunya mereka harus masuk ke kelas. Ketika perkuliahan selesai, sering kali mereka masih bersama untuk sekedar makan atau minum kopi. Bastian dengan setia akan mengantarkan Maretha ke halte bus, dan berjalan 3km menuju flatnya. Begitu terus...

Sekarang, setiap Minggu sore sampai malam, Maretha dan Bastian memiliki rutinitas baru. Sudah 2 minggu ini mereka bekerja di perpustakaan kampus mulai pukul 5 sore sampai 10 malam. Mereka bertugas merapikan buku-buku dan membersihkan rak-rak serta mengatur atribut-atribut yang berada di tempat itu. Bayarannya lebih tinggi dari pada kerja di restoran, namun mereka hanya diperbolehkan bekerja 5 jam seminggu, agar memberi kesempatan kepada mahasiswa lain untuk pekerjaan yang sama.

Bekerja berdua membuat suasana tidak membosankan dan penuh canda tawa. Apalagi pada Minggu malam, perpustakaan sangat sepi. Hanya beberapa mahasiswa pasca sarjana yang hanya memiliki waktu saat weekend yang datang untuk mencari buku atau bekerja kelompok di ruang-ruang meeting yang tersedia di gedung itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9.45, mereka sudah menyelesaikan pekerjaannya. Maretha dan Bastian menyusuri buku-buku yang memuat novel-novel lama berbahasa Indonesia. Maretha mengambil beberapa novel dan menunjukkannya kepada Bastian. Ia adalah penggemar sastra Indonesia, dan menyukai bacaan-bacaan pujangga baru. Maretha adalah sosok romantis dan puitis, ia terlihat begitu indah ketika ia membaca bait demi bait puisi dari buku yang ia pegang. Bastian merinding. Kok ada ya perempuan yang sempurna seperti ini?

Ia menatap gadis yang selama ini telah mengisi hari-harinya dengan begitu nyaman dan menyenangkan. Ia sempat mengira, Adelia adalah jawaban untuk rasa sepi dan gundahnya selama ini. Tapi mungkin saat itu ia terlalu terpana pada keadaan. Nyatanya, ternyata ada orang lain yang bisa membuka hatinya. Mungkin bahkan Maretha bukan satu-satunya! Bolehkan ia berharap untuk sekali ini saja, ia ingin memiliki seseorang. Untuk pertama kalinya, Bastian ingin berada pada sebuah status. Ia ingin memiliki secara posesif, ingin dimiliki secara posesif. Walau tidak banyak cowok yang melirik Maretha, satu orang saja akan membuatnya (mungkin) cemburu berat. Ia tidak ingin membagi Marethanya.

Gadis itu bersandar di salah satu rak. Ia masih memakai celemek hitam panjang, yang memberi tanda kepada orang lain bahwa ia dan Bastian adalah salah satu petugas perpustakaan yang sedang bekerja. Rambutnya ia ikat seadanya, tanpa make-up, atau aksesoris berlebih. Kulitnya tidak seputih dan terawat seperti Adelia atau gadis-gadis lain yang pernah mendekatinya. Tapi ia kelihatan begitu cantik dan menarik. Konon kata orang, gadis cantik, cerdas dan baik itu akan terlihat begitu memukai. Seperti Maretha mungkin.

Bastian refleks melangkahkan kakinya menuju Maretha. Mungkin karena ia kurang fokus, kakinya saling beradu, yang menyebabkan Bastian jatuh terjerembab ke depan. Refleks bagusnya membuat ia menyangga badannya dengan kedua tangannya memegang rak buku. Hal itu membuat Maretha terkurung di hadapannya! Bastian terhenyak, Maretha kaget luar biasa. Tubuh Maretha menegang, dan jantungnya berpacu gila. Bibirnya kering, dan gadis itu secara refleks menyeka bibirnya sehingga warnanya mengkilap.

Mata Bastian melotot menatap bibir yang mengkilap itu. Apakah itu sebuah undangan? Ia masih menyangga tubuh limbungnya di rak itu, namun ia memperbaiki posturnya. Ia melangkah lebih dekat ke arah Maretha, namun tetap mengurung gadis itu. Secara slow motion ia semakin mendekatkan tubuh bagian depannya ke arah Maretha, sambil terus menatap mata gadis itu. Tidak ada rasa takut atau galau dimatanya. Gadis itu tersenyum, dengan bibirnya, dengan matanya. Ia kelihatan rileks dan mengundang.

Ingin rasanya Bastian terus maju, namun bibirnya justru mengerut. Ia menggigit bagian dalam bibirnya, seakan tidak ingin membukanya. Namun wajah Bastian semakin dekat dan dekat, sehingga sekarang hidung mereka hanya berjarak 3 cm. "Aku belum siap", batin Bastian sambil menatap Maretha yang sudah menutup matanya. Sebuah undangan yang lebih terang berderang… tapi Bastian belum siap.

"Are you finished guys?", suara supervisor Bastian dan Maretha terdengar mendekat. Kontan Bastian menjauhkan dirinya dari Maretha dan mulai mendorong trolley buku yang sudah kosong itu. Maretha segera mengembalikan buku-buku berbahasa Indonesia yang sejak tadi ia peluk dengan erat. Untung saja sang supervisor tidak melihat apa-apa. Mereka berdua tersenyum ketika sang supervisor mengontrol pekerjaan mereka.

Mereka bergegas bersiap-siap dan meninggalkan gedung perpustakaan bersama dengan mahasiswa lain yang juga bekerja di perpustakaan. Seperti biasa, Bastian mengantarkannya sampai ke terminal bus, dimaa saat ini tidak seramai biasanya. Untung saja antara perpustakaan dan terminal tidak begitu jauh, dan mereka berjalan bersama-sama mahasiswa lainnya. Bastian bisa menghindari percakapan yang sangat kikuk akibat insiden yang hampir terjadi tadi.

Sejenak sebelum Maretha naik ke bus nomor 77 itu, ia membisikkan sesuatu... "Nanti kita lanjutin lagi ya...", katanya dengan wajah sedikiittt nakal. Sedikit saja, namun tidak membuat Bastian muak. Mungkin ia sedikit menyesal karena tidak menyelesaikannya.