BAB 25: What Can Go Wrong, Will Go Wrong

Tidak terasa, hari ini adalah hari terakhir kelas Bridging program. Teman-teman sekelas merasakan tekanan yang begitu berat, karena ujian sebentar lagi akan dimulai. Adelia sebenarnya ingin cepat-cepat memulai belajarnya, namun sayang sekali malam ini dan Jum'at esok, ia masih harus bekerja di Maya Masala. Setelah pamit dengan Malik, Adelia dan Lisa berjalan pulang menuju KV.

"Del, kurasa cowokmu itu agak seram lah? Macam mafia kutengok gayanya. Kaya sih kaya, ganteng sih ganteng, tapi macam bandit gak? Kok tumben dia akhir-akhir ini muncul trus kek dominasi kau kali loh. Gak ngerasa kau?", Lisa kepo pengen tahu. Adelia mengangguk-angguk. Ia juga menyadari bahwa sejak kejadian di Subiaco, entah kenapa Hisyam menjadi terlalu berhati-hati. Apakah ia mengetahui hubungannya dengan Justin akhir-akhir ini? Sejak Fremantle, ia belum pernah bertemu lagi dengan Justin.

"By the way kan, enak kali parfummu ini Del, kok ganti parfum kau? Ga suka lagi sama wangi mawar itu? Buatku ajalahh!", pinta Lisa sambil melompat-lompat memohon. Sejenak Adelia merasa bersalah kepada Lisa. Andaikan cewek itu tau kalo parfum yang ia pakai sekarang ini adalah couple-an sama bang Justin.

"Mau? Ayo ambil aja. Sekalian yok ke flat aku bentar. Masih siang ini, minum teh kita sebentar. Aku ntar harus ke maya masala juga nih", ajak Adelia. Lisa menggangguk setuju. Mereka berjalan menuju flat 27. Namun, ketika mereka mendekati flat 25, Adelia dapat melihat sesosok perempuan tinggi, dengan rambut sepanjang dirinya, berkulit sawo matang keluar dari flat 25. Adelia tidak pernah melihat dia sebelumnya, tapi Adelia pernah melihat jaket itu sebelumnya! Jaket kulit dengan aksen berbulu di bagian lehernya. Persis seperti miliknya, jaket coulple dengan Hisyam. Siapa dia?

"Siapa Del?", tanya Lisa, ketika melihat temannya itu terperanjat menatap seorang perempuan. Adelia menggeleng. Alih-alih meneruskan ke flat 27, Adelia memutar arah dan menuju ke flat 25 dan memencet belnya. Ia tau tidak mungkin mencegat perempuan berjaket kulit itu. Setidaknya ia bisa bertanya sesuatu dengan Hisyam.

"Kamu tunggu disini ya Lis", perintah Adelia. Lisa menurut dan menunggu di depan pintu flat 25. Tapi sebenarnya hatinya was-was. Belum pernah ia melihat teman mungilnya itu semarah ini. Salah satu teman seflat Hisyam membukakan pintu, dan Adelia tidak menunggu lama untuk langsung masuk menerobos dan membuka pintu kamar Hisyam. Cowok itu hanya mengenakan celana boxer dan tampak sangat lusuh. Ia baru saja akan masuk ke kamar mandi.

"Siapa perempuan itu?", tanya Adelia. Hisyam tertawa lirih dan mengangkat-angkat bahunya. "What are you talking about girl? Perempuan siapeee?", tanyanya.

"Perempuan yang punya jaket yang sama dengan aku. I'm not a fool Hisyam. Dia baru keluar dari sini. Siapa dia? Kirra?", tanya Adelia berani. Hisyam melotot dan tangannya mengepal. "Don't say too much girl. Don't ask question, where you don't want to hear the answer", katanya masih dengan nada bencanda.

"I need an explanation, or, I'm leaving... now!", ancam Adelia. Hisyam menggeretakkan giginya dan memandang Adelia dengan marah. Ia kemudian menerjang Adelia dan mencampakkan gadis itu ke dinding kamarnya. Dinding dengan tekstur popcorn itu sangat kasar dan berhasil membuat punggung Adelia kesakitan. Gadis itu meringis. Hisyam menggenggam kedua pergelangan tangan Adelia dengan kencang, seakan-akan darah gadis itu terhenti sejenak di cengkeraman itu! Ia memaku kedua pergelangan tangan Adelia dengan kedua tangannya. Hasil tempelan itu membuat kedua tangan Adelia sakit luar biasa.

"Let me go Hisyam! Sakit tauuuuu!!", teriak Adelia. Ia berharap ada yang mendengar. Tapi ia ingat kata RA di awal-awal ia tinggal di asrama ini, pintu kamar mereka sound-proof, fire –proof dan mungkin juga help-proof. Hisyam semakin liar dan emosi mendengar teriakan-teriakan Adelia. Ingin ia membungkamnya namun kedua tangannya sedang dipakai untuk memerangkap Adelia.

"Shut up BIT*H! Shut UP!", teriaknya persis didepan wajah Adelia, matanya melotot dan memerah. Gadis itu bisa merasakan nafas cowok itu yang panas dan tubuhnya bau, seperti baru selesai berolahraga keras. Ia masih terus mencengkeram pergelangan tangan malang itu. Ketika akhirnya Adelia berhasil menginjak kaki Hisyam, cengkeramannya sedikit terbuka dan gadis itu mampu melepaskan diri. Ia bersyukur ia masih mengenakan sepatu kets dan menjatuhkannya di kaki telanjang Hisyam. Seketika cowok itu semakin murka dan dengan refleks ia menampar Adelia! Kekuatannya tidak dapat ia atur, sehingga ada sedikit luka di ujung bibir cewek itu.

Adelia terkejut dan tangisannya berhenti, ia bisa merasakan pipinya antara panas, namun kemudian searasa mati rasa. Mati rasa itu pun menjalar ke hatinya. Kengerian menjalar ke seluruh tubuhnya, bagai ribuan kelabang menyemuti tubuhnya. Ia tidak berani berkata-kata, dan yang ia inginkan hanya lari secepat mungkin dari kamar itu. Tamparan itu membuat Hisyam sadar dari kegilaannya sejenak, kemudian berdiri tegak dan tersenyum lembut.

"Nah, lihat yang I dah buat. I don't mean...", Hisyam berusaha berkata sesuatu, dan detik itu juga Adelia berhasil membuka kenop pintu kamar Hisyam dan lari secepat mungkin menuju pintu keluar sambil menangis. Lisa yang menyaksikan perubahan fisik dari Adelia terkejut dan mulai histeris! Adelia tidak memperdulikan Lisa, ia cepat-cepat berlari menuju flatnya sendiri. Lisa mengejar Adelia dengan tatapan panik. Kedua gadis itu berlari seakan sedang di kejar oleh hantu.

"Del! Kenapa muka kau! Siapa yang bikin! Biar kubunuh kepar*t itu!", Lisa mulai emosi. Adelia terus berhenti berlari dan mulai berjalan kearah flatnya. Ia sadar Hisyam tidak akan mungkin mengerjarnya dengan menggunakan boxer itu.Namun Lisa terus menghentikannya dan mengguncang-guncang tubuh Adelia. Gadis itu terus-menerus menangis. Tanpa mereka sadari, Bastian memperhatian dari balkon common room flatnya. Ia melihat dengan jelas, pipi Adelia memerah dan memar, ia menangis histeris dan sahabatnya berusaha meminta penjelasan. Namun ia melihat Adelia mengusir sahabatnya itu, seakan-akan mengatakan semua baik-baik saja. Apakah sahabat perempuan itu menamparnya?

"Lis, lu pulang aja dulu. Aku gak apa-apa", perintah Adelia kepada Lisa. Lisa ragu, tapi entah kenapa ia paham. Gadis itu menurut dan pergi menuju Japan House. Adelia berjalan cepat menuju flatnya. Ketika ia akan menaiki tangga, ia berpapasan dengan Bastian. Cowok itu sudah rapi, sepertinya ia ada kuliah sore ini. Cowok itu diam dengan tatapan iba. Adelia tidak berselara mengatakan apapun. Ia terus menaiki tangga menuju flatnya. Bastian mengikutinya!

Ketika Adelia sudah membuka pintu flatnya, Bastian merebut pintu itu dari belakang, membukanya lebih lebar agar mereka berdua bisa memasuki flat. Ia menarik tangan Adelia dengan lembut dan menuntun gadis itu memasuki kamarnya. Ia mendudukkan Adelia di tempat tidur, sedangkan Bastian duduk di kursi belajar Adelia. Ia menggenggam kedua tangan Adelia, dan menatap gadis itu dengan serius. Adelia terus menunduk. Ia malu, takut, marah, panik, trauma dan ngeri menjadi satu! Bastian menggosok-gosokkan jempolnya ke punggung tangan Adelia sambil masih menatap lembut gadis itu.

"Del, siapa yang bikin kamu begini? Ngomong sama aku!", perintah Bastian. Adelia menggeleng dan mulai menangis sambil menunduk.

"Kamu gak perlu takut! Ada aku, ada RA, ada satpam! Kamu cuma perlu nunjuk, siapa yang udah bikin kamu kayak gini!", Bastian berusaha mengorek keterangan dari gadis itu, tapi Adelia terus menangis dan masih menggeleng. Ia mencoba melepaskan genggaman tangan Bastian. Ia menarik-narik tangannya agar genggaman itu terlepas, tapi gagal. Ia ingin menutup mukanya yang sudah penuh oleh air mata dan keringat bercucuran. Seumur hidup, ia belum pernah di pukul oleh siapapun. Bahkan kedua orangtuanya. Saat ini hatinya terpukul dan hancur.

"I'm fine Tian, don't worry", kata Adelia akhirnya. Ia mencoba mengatur nafasnya. "Aku mau siap-siap kerja dulu", katanya sambil beranjak berdiri. Ia akhirnya berhasil melepaskan diri dari Bastian. Ia membuka pintu dan mempersilahkan Bastian keluar. Cowok itu berdiri tapi enggan untuk keluar.

"Aku nunggu di dapur. Aku anter kamu ke stasiun bus. Mana kita tau orang gila itu gak nunggu kamu diluar sana!", katanya serius. Gadis itu terperanjat. Adelia tidak terpikir sampai kesana. Iya juga ya. Apa ia harus bolos kerja dulu hari ini?

"Sayangnya aku ada kuliah sore ini. Kalo engga, aku udah anterin kamu kesana. Tapi aku janji Aku yang akan jemput kamu. Aku beres kuliah jam 8, aku akan langsung ke northbridge. Ok? Just this one time, biarin aku bantuin kamu. Demi mama papa Adnan. Ok?", pintanya. Adelia langsung terenyuh ketika nama orangtuanya di sebut. Tiba-tiba ia rindu pelukan mereka. Walaupun mereka bukan keluarga yang hangat, tapi mereka tidak pernah memperlakukan Adelia dengan kasar. Ia juga yakin keluarga Abraham juga begitu kepada Bastian, sehingga cowok itu sama shock dengan dirinya saat ini. Adelia refleks menggangguk. Bastian menepuk-nepuk puncak kepala Adelia.

"Ya udah sana cepetan. Aku tunggu di common room, nanti aku anter he halte 34", jelasnya. Adelia kembali menggangguk.

-----

Bastian buru-buru mengemas seluruh buku-buku dan laptopnya ke dalam tas. Ia harus bergegas karena ia kuatir perjalanan menuju northbridge akan macet. Ia sudah berjanji kepada Adelia bahwa ia akan menjemputnya malam ini di depan maya masala. Ah sial! Ia ternyata masih lupa mencatat nomor HP Adelia! Ia ingin mengabari cewek itu kalau ia akan segera berangkat menjemputnya.

"Bastian, kamu mau kemana buru-buru? Makan malam dulu yuk!", pinta Maretha. Bastian lupa bila setiap pulang kuliah, ia harus mengurus gadis itu. Entah itu makan bersama, mengantarnya jalan ke halte bus, ataupun mengantarnya langsung ke Victoria park, rumah gadis itu. Tapi tidak hari ini, karena ia sudah berjanji kepada Adelia untuk mengurusnya. Tapi Bastian tau ia tidak mungkin mengatakannyakepada Maretha. Gadis itu ternyata sangat posesif. Ia bahkan tidak membiarkan Bastian duduk bersama mahasiswa perempuan yang lain. Apalagi ini, menjemput temen asrama yang dari Indonesia.

"Aku ada yang perlu di ambil di city", jawabnya sedikit berbohong. Maretha menatapnya curiga.

"Dengan siapa?", tanyanya. Bastian berfikir dengan cepat.

"Temen papa, baru sampe Perth. Ternyata mama tuh ada nitipin kayak makanan gitu buat aku. Jadi aku harus ambil dulu kesana", bohongnya lagi. Maretha tidak percaya begitu saja. Ia memeluk lengan Bastian dan menuntunnya keluar dari kelas mereka.

"Kalo gitu sekalian aja anterin aku pulang. Toh rumahku ke city udah gak jauh lagi kok!", pintanya. Bastian menimbang-nimbang. Bila ia terus berkelit, ia mungkin tidak akan bisa keluar dari jerat gadis ini. Mungkin memang sebaiknya ia antar saja. Dengan begitu, ia sudah merasa aman Maretha di rumahnya, jadi ia tidak perlu merecoki Bastian lagi malam ini. Ketika akhirnya Bastian menggangguk, Maretha dengan sumringah memeluk lengan cowok itu lebih erat dan menuntunnya menuju tempat parkir.

Sepanjang jalan, Maretha berusaha mengajak Bastian mengobrol tentang persiapan ujian mereka. Bastian menanggapinya dengan setengah-setengah. Entah kenapa ia kuatir luar biasa dengan keadaan Adelia, apalagi ia sudah berjanji untuk menjemputnya malam ini. Ia sedang memikirkan situasi-situasi terburuk yang mungkin terjadi malam ini, ia tidak menyangka bila sesuatu yang buruk mungkin terjadi, ternyata bisa terjadi. Tepat ketika Bastian sudah sampai di depan rumah Maretha, ia baru menyadari bahwa salah satu roda di mobilnya itu kempes!

Bastian mulai cemas. Ia membuka bagasinya untuk mengambil ban cadangan. Padahal seumur-umur, ia belum pernah mengganti ban mobil! Dalam kegelapan, ia bisa merasakan bahwa ban cadangan itu pun sedang dalam keadaan setengah kempes! Ia mulai frustasi dan menjambaki rambutnya. Kalau kejadiannya di Indo, ia bisa langsung menelfon supirnya dan semua ini beres. Tukang tambal ban ada di setiap jalan, atau ia dengan mudah akan memanggil ojek. Tapi ini Perth, apalagi keadaan sudah sangat malam. Sedangkan ia sedang berada di salah satu kawasan yang tidak begitu aman!

"Ya udahlah Tian, besok aja pulangnya. Kamu nginep aja dulu malam ini disini. Lagian paket itu penting banget gak sih? Besok aja diambilnya. Makan malam aja dulu yuk!", usul Maretha ramah. Sepertinya gadis itu sama sekali tidak sedih dengan musibah yang menimpa Bastian. Sebenarnya ia merasa gelagat pacarnya agak aneh malam ini. Ia bersyukur, ban kempes ini sebuah solusi dari kecemasannya.

"Yuk ah, kita masuk dulu. Nanti kita telfon mekanik yang bisa ngerjain ini. Kalo uda beres, kamu pulang deh. Ok?", ajak cewek itu sambil menyeret Bastian masuk. Bastian sungguh berharap agar masalah ban ini cepat selesai. Ia tidak bisa membayangkan bila Adelia harus menunggunya. Ia untuk kesekian kali menatap jam di pergelangan tangannya. "Adelia…tunggu aku ya…", batinnya.

-----

Adelia telah menyelesaikan shiftnya malam ini. Sesuai instruksi Bastian, ia harus menunggu di depan restoran, agar bila terjadi sesuatu, pihak restoran dapat membantunya. Adelia setuju. Untung saja udara malam ini tidak dingin, malah justru panas kerontang. Ia meraba pipinya sebelah yang lebih bengkak akibat tamparan Hisyam. Ia meringis. Ia masih belum ada rencana apa yang akan ia lakukan bila ia bertemu cowok itu lagi. mungkin malam ini akan dia bahas dengan Bastian apa yang…

Sebuah mobil sedan berhenti di hadapannya, siap menjemput Adelia. Pihak restoran dapat melihat Adelia telah di jemput dan sang manajer melambai kepadanya. Namun Adelia tidak ingin bergerak, ia tidak ingin memasuki mobil itu. Tapi ia tidak kunjung dapat berkata tidak, berteriak atau apapun. Pintu restoran yang terbuat dari kaca itu sudah tertutup. Kalau Adelia berteriak, adakah yang akan mendengar dan menolongnya? Cowok itu turun dari mobilnya dengan langkah mantap. Ia tersenyum sumringah ketika melihat Adelia menatapnya. Dengan begitu santai dan lembut, memeluk Adelia dengan erat dan mencium dahi Adelia. Gadis itu diam saja, dan tidak mampu berkata apa-apa. Ia menuntun cewek itu memasuki mobil BMW-nya.

-----

Waktu menunjukkan pukul 10 malam ketika Bastian tiba di restoran Maya Masala. Ia bertanya kepada satu-satunya orang yang masih berada di restoran, sang pemilik. Pria paruh baya itu mengatakan bahwa ia melihat sendiri Adelia sudah pulang di jemput oleh pacarnya. Ia mengenalinya, karena hampir setiap Adelia pulang kerja, cowok itu akan menjemputnya. Bastian lemas. Adelia memang belum mengatakan siapa yang telah menyakitinya tadi siang, namun Bastian berharap semoga bukan pacar yang menjemputnya tadi. Ia kembali memasuki mobilnya dan melaju mobilnya dengan cepat menuju KV.

"Adelia, aku harap kamu gak apa-apa... sorry banget Del...", gumamnya panik.