Pelangi

Pagi ini tidak secerah biasanya. Karena, turun hujan berintensitas sedang. Reyn keluar dari rumah dengan mengenakan jaket parasut, sebagai pelindung diri dari hujan.

Saat akan berjalan, Riandra memanggil.

"Rey, tunggu!"

Riandra menghampiri Reyn setengah berlari sembari membawa payung.

"Eh, Ri. Aku kira kamu gak bakal sekolah."

"Ya sekolah lah, masa kamu sekolah aku nggak."

Reyn sedikit mengulas senyuman.

"Sini biar aku yang bawa payungnya."

Riandra tersenyum senang dengan perlakuan Reyn tersebut.

Mereka pun berjalan berbarengan. Menembus hujan.

Ada sebuah mobil yang melaju pelan. Melewati mereka berdua. Dan di dalam mobil itu ada Elena. Dari dalam mobil, Elena memperhatikan mereka berdua dengan tatapan muram.

"Ada apa, sayang?"

"Mm, nggak ada apa-apa, kok, Mah."

Elena sedikit merenung setelah melihat pemandangan tersebut.

***

Di waktu istirahat pun hujan tidak juga reda. Banyak siswa yang memilih untuk diam di dalam kelas. Ada yang mengobrol. Bermain game. Dan ada yang tertidur seraya tengah dijahili oleh teman-temannya. Mereka berdua memasukan sesuatu ke dalam mulut siswa yang tidur tersebut. Sehingga terbangun.

"Fuh, fuh. Apa, nih?"

Teman-temannya tertawa dan siswa tersebut membalasnya dengan memukuli kedua temannya itu.

"Iya-iya, ampun."

Elena melihat ke arah ketiga siswa yang ribut tersebut. Karena, sedikit terganggu. Lalu, kembali menundukkan kepalanya di atas meja. Ia duduk sendiri, karena Saly sedang berada di meja yang lain.

Dari arah pintu, Vino, Reyn dan Evan baru kembali dari kantin. Tubuh mereka cukup basah, apalagi bagian kaki dan sepatu mereka. Alhasil, lantai jadi licin dan Vino pun terjatuh.

"E-e-eh, Awh."

Evan dan Reyn tertawa, begitu juga beberapa siswa yang melihat mereka.

Vino kesal karena Reyn mau pun Evan tidak membantunya untuk berdiri. Ia pun berdiri sendiri.

"Ah, elah. Bukannya bantuin malah diketawain."

"Itu, berdiri sendiri bisa. Ngapain harus kita bantuin."

"Dah, lah."

Vino berjalan ke meja lebih dulu. Disusul Evan. Namun, Reyn tetap di tempatnya sembari melihat ke arah Elena, yang tampak sedikit tertawa. Dan Reyn tersenyum ke arahnya.

Elena menyadari kalau Reyn memperhatikannya. Lalu, ia berpaling ke arah berlawanan. Dan menahan malu.

***

Saat pulang hujan masih turun, namun sudah lebih reda dari sebelumnya. Dan sinar mentari mulai menyeruak di sela-sela awan yang sudah menipis.

Reyn dan Riandra berjalan berbarengan menuju gerbang. Evan lewat mengendarai sepeda motor. Lalu, menawari Riandra untuk pulang bersamanya.

"Ri, mau bareng gue, gak? Biar cepet sampai rumahnya."

Melihat Riandra menatap Reyn. Evan pun meminta izin kepada Reyn.

"Boleh, kan, Rey?"

Reyn mengizinkan.

"Boleh."

"Kamu gak pa-pa pulang sendirian?"

"Gak pa-pa. Yang penting kamu bisa pulang lebih cepet."

"Ya udah, aku duluan, ya."

Riandra naik ke atas sepeda motor. Lalu, Evan melajukan sepeda motornya.

Riandra melambaikan tangannya kepada Reyn, dan dibalas oleh Reyn.

"Dah, Rey!"

"Daah!"

Reyn melihat Elena tengah diam di depan pos penjagaan. Dan tampak kedinginan.

Elena sedikit kaget tiba-tiba ada yang memakaikan jaket ke tubuhnya. Lalu, melihat ke arah orang tersebut.

"Udah, pake aja. Biar lo gak kedinginan."

Elena sedikit menunduk malu.

"Kenapa lo masih di sini?"

"Gue lagi nungguin Mama."

"Oh."

Elena balik bertanya kepada Reyn.

"Lo ngapain malah ikut diem di sini?"

"Gue juga lagi nungguin."

"Nungguin siapa?"

"Nungguin lo dijemput sama Mama lo."

Elena semakin menahan rasa tersipu malunya.

"Ngapain nungguin gue?"

"Biar ada jaminan ke Mama lo, kalo lo gak kenapa-napa selama nunggu beliau."

Elena semakin menunduk, dan perasaannya tak karuan.

Tiba-tiba hujan kembali menjadi lebat. Elena dan Reyn seketika agak mundur dan hampir menempel ke tembok.

Seorang penjaga keluar dan melihat ada dua orang siswa yang tengah berteduh. Lalu, ia mengajak mereka untuk masuk ke dalam pos penjagaan.

"Di dalam aja neduhnya, Nak Rey."

"Iya, Pak."

Reyn mengiyakan tawaran dari penjaga sekolah tersebut.

"Ayo, El."

Reyn menuntun tangan Elena untuk ikut masuk ke dalam, lalu mereka duduk di bangku.

Penjaga tersebut tengah merokok.

"Maaf, ya. Bapak sambil merokok, soalnya dingin."

Reyn hanya mengangguk.

Elena merasa terganggu dengan asap rokok. Beberapa kali ia mengibas-ngibaskan tangannya, agar asap rokok itu terpecah dan menjauh dari hadapannya.

Reyn merasa kasian dengan Elena yang terganggu oleh asap rokok tersebut. Syukurlah, hujan terdengar mereda kembali. Jadi, ada alasan untuk Reyn mengajak Elena pergi dari ruangan tersebut.

"El, kita terobos aja hujannya. Mama lo juga belum dateng sampe sekarang."

Elena sedikit ragu, karena takut dimarahi Mamanya atau nanti malah sakit.

"Gak pa-pa, biar gue yang jelasin sama Mama lo. Ayo, hujan kayak gini gak bakal cepet-cepet reda."

"Ya udah."

Reyn dan Elena keluar dari dalam pos penjagaan. Dan langsung menerobos hujan, yang sudah kembali mereda tersebut. Mereka berdua berjalan agak cepat.

Setelah beberapa saat hujan pun benar-benar reda. Sinar mentari menyeruak dari sela-sela awan tipis. Sekarang jalan yang mereka tempuh, melewati area pesawahan di kanan kirinya.

Langkah mereka melambat dan Elena melihat ke arah kiri. Tampaklah sebuah pelangi yang menghiasi langit. Elena terdiam dan berdecak kagum.

Reyn sedikit heran kenapa Elena diam. Namun, saat melihat ke arah yang sama. Ia pun ikut tersenyum melihat keindahan tersebut.

"Rey, pelanginya indah, ya?"

Reyn melihat ke wajah Elena yang agak basah oleh air hujan. Menatap tepat ke arah matanya. Seakan pelangi itu juga memancar dari mata Elena.

"Iya."

Elena tiba-tiba melihat ke arah Reyn, lalu Reyn langsung tergugup.

"Rein."

Reyn mengangkat kedua alisnya.

"Hmm?"

"Boleh, gak, Gue panggil lo Rein?"

"Boleh. Tapi kenapa?"

"Karena, nama lo Reyn. Hampir mirip sama hujan. Dan karena, kayaknya lo gak takut sama hujan."

"Oh, ya udah. Boleh."

Elena tersenyum ke arah Reyn, begitu juga sebaliknya.

***

"Tunggu."

Reyn meminta Elena untuk berhenti ketika mereka sudah sampai di depan Rumah Reyn.

"Gue mau ngambil sepeda dulu."

"Buat apa?"

Reyn tidak menjawab. Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Dan kembali membawa sepeda.

"Ayo, gue anterin lo pake sepeda."

"Gak usah gue bisa sendiri, kok."

"Gak pa-pa. Gue juga lagi pengen sepedaan, kalo lagi habis hujan kayak gini."

Elena mengangguk, lalu menaiki sepeda tersebut. Dan berpegangan ke pundak Reyn.

Reyn melajukan sepedanya. Awalnya, sedikit berat. Namun, lama-lama tidak begitu terasa berat.

Saat melewati polisi tidur, Elena semakin mengeratkan pegangannya ke pundak Reyn. Dan meminta Reyn untuk hati-hati.

"Hati-hati, Rein."

Namun, Reyn malah melajukan sepedanya semakin cepat. Alhasil, saat melewati kubangan air yang cukup luas. Airnya terbelah dan terciprat cukup tinggi serta sebagian menciprat ke tubuh mereka. Sehingga membuat Elena sedikit menunduk serta memejamkan matanya.

Setelah melewati kubangan tersebut Elena mengeluh.

"Rein, udah gue bilang hati-hati malah dikencengin, sih?"

"Tapi, seru, kan?"

Elena tidak bisa bohong, jika hal tersebut memang mengasyikan.

"Iya, sih. Baru kali ini lagi gue ngerasain serunya naik sepeda saat hujan."

Satu kubangan air lagi yang mereka lewati. Kali ini Elena membuka kedua tangannya ketika melewati kubangan tersebut. Dan tampak tertawa senang. Begitu juga Reyn.

***

Akhirnya sampai juga di rumah Elena. Reyn menghentikan sepedanya tepat di depan gerbang rumahnya. Dan Elena turun dari sepeda. Mereka berdua tampak cukup basah kuyup.

"Lo mau masuk dulu, gak?"

"Gak usah, makasih. Gue langsung balik aja."

"Gue gak mau bilang hati-hati, nanti lo malah kebut-kebutan lagi."

Reyn tertawa mendengar penuturan Elena.

"Gue pamit. Dah!"

"Dah!"

Elena melambaikan tangannya ke arah Reyn yang berlalu pergi.

Elena membuka gerbang, lalu duduk di teras seraya membuka sepatunya yang basah kuyup tersebut.

***

Pintu rumah terbuka dan Mama Lina terbangun dari tidurnya. Seketika terkejut dan menghampiri Elena.

"Aduh, sayang. Maaf, Mama lupa jemput kamu. Tadi Mama nonton tv, gara-gara hujan, jadi ketiduran, deh. Maaf ya!"

Elena tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena ia dalam keadaan senang.

"Gak pa-pa, Mah."

"Kamu pulang sendiri? Terus ini jaket siapa?"

"Aku dianterin sama temen, Mah. Dan ini jaketnya dia."

"Oh, ya udah. Kamu mandi air hangat terus istirahat. Biar Mama bikinin minuman coklat hangat."

Elena berjalan menuju kamarnya, sedangkan Mama Lina berjalan menuju dapur.

***

Reyn memacu sepedanya cukup kencang, dan saat melewati kubangan air ia melepas tangannya dari setang sepeda. Membuka kedua tangannya seraya menikmati cipratan air yang cukup tinggi dan membasahi tubuhnya. Keceriaan Reyn lepas keluar dari raut wajahnya.

Reyn kembali memegang setang sepeda ketika merasa laju sepedanya agak tidak menentu. Raut muka Reyn terus memancarkan keceriaan.

***

Elena tengah mengerjakan PR-nya malam ini. Lalu, Mamanya masuk ke dalam kamar.

"Sayang, kamu tadi pulang sama siapa, sih?"

"Ih, Mama Kepo."

"Kamu ini."

Mama Lina duduk di atas kasur di belakang Elena yang tetap fokus belajar.

"Kamu udah punya pacar, ya?"

Elena terkejut dan berhenti menulis.

"Mama, kok, bisa ngomong kayak gitu?"

"Soalnya, jaket yang dipinjemin sama temen kamu itu, jaket cowok, loh."

Elena sedikit was-was akan dimarahi Mamanya.

"Dan masa iya, kalo dia Cuma temen kamu, mau minjemin jaketnya sama kamu. Pasti dia cowok yang baik dan perhatian."

"Mama gak marah, kan?"

Mama Lina tersenyum.

"Kenapa harus marah, sih? Mama bukan Papa, yang suka ngelarang kamu deket-deket sama cowok."

Elena berbalik badan menghadap Mamanya.

"Tapi, beneran, Mah, aku sama dia Cuma temenan."

"Temenan aja udah sweet gitu, apalagi jadi pacar."

"Iih, Mama..."

Elena sedikit sebal dengan godaan Mamanya tersebut.

Mama Lina berdiri dan meminta Elena untuk segera tidur.

"Udah, udah. Cepet selesaiin PR-nya, habis itu langsung tidur."

"Iya, Mah."

Mama Lina keluar dari kamar, dan Elena kembali mengerjakan PR-nya. Namun, Elena tiba-tiba teringat sesuatu.