Piket

"Rein, apa ini nyata?"

"Tentu saja. Kenapa?"

"Aku merasa, terlalu bahagia untuk menerima ini semua."

"Aku juga sangat bahagia."

"Berjanjilah padaku, untuk setia selamanya."

"Baiklah, aku berjanji."

Reyn menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Elena. Mereka berdua saling melempar senyuman tulus dan bahagia.

***

"Hey, El, sadar. Udah waktunya pulang, nih."

Elena tersadar dari lamunannya. Dan langsung membereskan alat tulis dan bukunya.

"Sorry, sorry!"

"Lo kenapa, sih? Ngelamun aja dari tadi sambil ngeliatin si Rey. Mentang-mentang baru jadian lo."

Saly terlihat sebal.

"Jangan-jangan lo lagi mikirin yang jorok-jorok."

"Ih, nggak lah. Gue masih waras, tau."

"Habisnya."

Vino langsung beranjak dari bangku, ketika sudah selesai membereskan barang-barangnya. Namun, ditahan oleh Reyn.

"Eit, lo mau ke mana?"

Vino menyeringai.

"Hehe."

"Lo gak akan gue biarin kabur lagi. Kayak kemarin-kemarin. Gue cape piket sendirian mulu."

"Ok, gue gak bakalan kabur. Tapi, lepasin gue napa."

Reyn melepaskan genggaman tangannya dari bahu Vino.

Evan menepuk bahu Vino seraya berlalu. Serta meledeknya.

"Semangat buat bersih-bersih."

Vino memasang muka sebal ke arah Evan.

Dani menghampiri Elena ke mejanya. Vino dan Reyn memperhatikan percakapan mereka.

"El, lo piket hari ini ya? Gantiin Ana yang gak masuk. Jadi, besok lo gak usah piket lagi. Biar Ana yang piket."

Elena sedikit melihat ke arah Reyn. Reyn sedikit mengangguk.

"Ya udah."

"Ini uang buat beli pembersih lantainya. Lo beli dulu, soalnya udah abis."

"Ok."

Dani berlalu meninggalkan mereka.

Reyn tersenyum ke arah Elena. Merasa senang bisa piket bersama dengan Elena. Elena membalas senyumannya.

Vino menyadari sikap Reyn tersebut. Lalu, menegurnya.

"Oy, sadar. Kapan kita mulai piketnya? Kalo lo berdua malah saling tatap kayak gitu."

"Eh, sorry, Vin. Ya udah kita angkat-angkatin dulu kursinya ke atas meja."

Reyn dan Vino langsung bekerja. Namun, Reyn sedikit salah tingkah. Sehingga bangku yang diangkatnya hampir terjatuh. Vino kembali menegurnya.

"Yang bener napa."

"Iya, iya."

Elena tertawa melihat tingkah mereka berdua. Lalu, Saly pamit pada Elena.

"Ya udah, El, gue pulang duluan. Daah!"

"Daah!"

"Rein, aku mau beli pembersih lantai dulu."

"Tunggu. Jangan!"

"Kenapa?"

"Vin, lo aja yang beli."

"Kok, gue?"

"Gak pa-pa, kok."

"Tuh, pacar lo aja gak pa-pa."

"Udah sana lo yang beli. Atau gue laporin sama Dani kalo lo sering kabur saat piket."

Reyn sedikit mengancamnya.

"Ih, gak seru. Pake ancam-ancaman segala."

Vino berjalan menghampiri Elena dan mengambil uang dari tangan Elena. Serta menggerutu.

"Sini uangnya! Dasar, bilang aja mau dua-duaan."

Elena hanya tertawa malu.

"El, kamu nyapu, ya. Biar nanti si Vino yang ngepel."

Elena mengangguk. Lalu, mengambil sapu di sudut belakang kelas. Dan mulai menyapu.

Reyn kembali mengangkat kursi-kursi yang lainnya ke atas meja. Saat keluar dari barisan bangku, karena berjalan sambil melihat ke arah lain, Reyn tidak sengaja menyenggol Elena.

"Eh, maaf-maaf. Aku gak liat kalo kamu udah sampai sini nyapunya."

"Iya, gak pa-pa."

Beberapa saat Reyn sudah selesai mengangkat semua kursi ke atas meja. Sedangkan, Elena masih menyapu. Lalu, Reyn berinisiatif untuk membantunya. Reyn menyapu lantai di jajaran bangku terakhir.

"Yang ini biar aku aja yang lanjutin sampe keluar."

Elena hanya mengangguk. Tiba-tiba Elena mengingat sesuatu.

"Eh, iya. Vino, kok, belum balik-balik juga."

"Eh, iya, ya. Jangan-jangan tuh anak kabur lagi. Nyesel aku nyuruh dia buat beli pembersih lantainya."

"Gak pa-pa, kita beli aja lagi. Aku masih ada uang jajan."

"Ya udah, habis ini aku yang beli."

Lantai sudah disapu semuanya. Termasuk teras. Dan datanglah Vino sambil berlari, nafasnya tidak teratur.

"Hah, ini, mm, pembersih lantainya."

"Lo belinya di mana, sih? Lama banget."

"Gue belinya di warung yang di deket sungai. Yang di depan sekolah gak ada."

"Pantes. Ya udah giliran lo yang piket. Tinggal ngepel lantai yang belum."

Vino mengeluh.

"Ah, elah. Gue cape lari-larian, langsung disuruh buat ngepel."

"Mau gue laporin?"

"Ya, jangan lah!"

"Udah, biar aku aja yang ngepel. Kasian Vino, cape."

Vino menyeringai.

"Hehe. Dengerin pacar lo, tuh. Pacar lo pengertian. Gak kayak lo."

"Lo tetep harus ngepel yang di luar. Awas aja kalo kabur."

Vino kembali tampak mengeluh.

Beberapa saat kemudian Reyn tengah membawa ember berisi air ke dalam kelas. Elena langsung menuangkan pembersih lantai ke dalam air tersebut. Dan mulai membasahi alat pelnya dengan air tersebut.

Elena mulai mengepel lantai dari belakang kelas. Reyn melihat ada satu alat pel lagi. Lalu, ia mengambilnya.

Elena berhenti sejenak ketika Reyn hendak melewatinya untuk mengambil alat pel tersebut.

Elena memperhatikan Reyn yang tengah membasahi alat pel tersebut. Lalu, Reyn mulai mengepel lantai. Sama dari belakang kelas, namun di jajaran di sebelah Elena.

Reyn menyadari kalau dirinya diperhatikan oleh Elena. Ia pun melihat ke arahnya dan tersenyum. Elena seketika tergugup, mengalihkan pandangannya dan kembali mengepel lantai tersebut.

Elena mengepel lantai di barisan bangku yang sama dengan Reyn. Alhasil, mereka saling bertatapan satu sama lain. Dan berbicara hampir berbarengan.

"Biar aku aja..."

"Aku aja yang..."

Elena sedikit menundukkan kepalanya. Tersipu malu. Dan beralih ke barisan bangku yang lain. Reyn lanjut mengepel lantai di barisan tersebut, seraya tersenyum.

"Oy, lama bener, dah. Dari tadi baru sampe situ."

"Sabar napa," ketus Reyn.

"Sini biar gue yang ngepel. Pacaran mulu lo berdua."

Vino berjalan masuk melewati ember yang airnya tampak berceceran bekas memeras kain pel. Tiba-tiba Vino tergelincir dan jatuh.

"Aduuuhh!"

Elena dan Reyn seketika tertawa.

"Makanya sabar napa, lo kan bagiannya di luar. Pake masuk segala."

"Au ah. Bukannya nolongin malah ngetawain."

***

Sekarang giliran Vino yang mengepel teras. Sedangkan, Elena dan Reyn duduk di bangku teras membelakangi Vino seraya mengobrol.

Vino punya ide untuk mengganggu mereka. Lantas, ia pun mengepel bangku yang tengah diduduki mereka.

"Awas, awas. Mau gue pel juga ini."

Reyn dan Elena langsung berdiri. Reyn kesal dengan yang dilakukan oleh Vino.

"Oy, bagian itu juga belum, udah ke sini aja."

"Gue liat-liat bagian ini kotor banget. Jadi, yang ini duluan."

Elena hanya tertawa geli melihat tingkah mereka.

Setelah beberapa saat, semua bagian teras sudah di pel. Vino mengusap keringat di keningnya. Lalu, melihat Reyn dan Elena yang masih asyik mengobrol.

Vino membawa ember berisi air kotor tersebut dan menjatuhkannya di hadapan mereka. Sontak Reyn emosi karena airnya mengenai celananya.

"Oy, apa-apaan, sih? Kena celana gue, nih."

"Sorry-sorry, gue sengaja."

Reyn merangkul leher Vino dengan kasar seraya menekan kepalanya dengan kepalan tangannya. Merasa kesal dengan ulahnya.

"I-iya, udah ampun. Gue gak bakal gitu lagi. Ayolah!"

Reyn tidak melepaskannya.

Elena tidak menyangka Reyn sekasar itu pada temannya. Ia pun menghentikan perbuatan Reyn pada Vino.

"Udah, Rein. Jangan kayak gitu. Kasian Vino."

Akhirnya Reyn melepaskan rangkulannya dari Vino.

"Ah, elo kebiasaan banget, dah."

"Habisnya. Lo bikin gue kesel."

"Ya, gak sampe segitunya juga, Rein. Aku ngeri, tau, liatnya."

"Eh,"

Reyn merasa bersalah sudah bersikap kasar kepada Vino di depan Elena.

"Maafin aku, El."

"Udah kasih dia hukuman aja, El. Pacar kamu emang suka kasar kalo lagi kesel."

Reyn ingin memaki-maki Vino, tapi ia tidak ingin menambah jelek nilainya di mata Elena.

Elena menatap tajam ke arah Reyn. Dan Reyn mengerti, ia harus melakukan apa.

Reyn menghembuskan nafas berat.

"Gue minta maaf, Vin. Udah kasar sama lo."

"Ya udah, gue maafin. Tapi, dengan satu syarat."

Dalam hati Reyn, ia sangat kesal. Karena, Vino jadi punya kesempatan untuk mengerjainya.

"Gue mau ditraktir makan bakso. Laper, habis ngepel."

Reyn memasang muka sebal, sedangkan Vino terlihat puas bisa mengerjai Reyn.

"Ayo kita ke kantin sekarang."

Vino berjalan melewati Reyn dengan raut wajah semringah.

***

Ibu Kantin tengah bersih-bersih meja. Lalu, datang Vino yang langsung duduk di meja tersebut.

"Bu, baksonya masih ada, kan?"

"Tumben, jam segini masih di sekolah."

"Habis piket, Bu. Laper. Ya udah, ke sini buat jajan bakso."

"Ya udah, pesan bakso apa?"

Vino berpikir sejenak.

Reyn dan Elena duduk di hadapan Vino.

"Makan bakso aja pake mikir," celetuk Reyn.

Elena tergelak tawa.

"Bakso besar aja, Bu. Satu porsi."

"Siap."

Ibu Kantin menawari Reyn dan Elena juga.

"Kalian mau pesen juga?"

"Aku mau nyoba bakso besar juga, deh."

"Rey?"

"Kalo saya nggak, deh, Bu. Teh botol aja satu."

"Ditunggu kalo gitu."

"Iya."

"Akhirnya, bisa makan bakso besar juga."

"Dasar, lo. Mentang-mentang ditraktir."

"Hehe, salah sendiri. Jadi orang, tuh, jangan kasar-kasar sama temen."

"Heleh."

***

Vino tampak lahap sekali memakan bakso tersebut. Reyn cukup kesal melihat pemandangan tersebut.

Elena menawari Reyn untuk mencicipi bakso tersebut.

"Rein, mau? Kalo mau aku suapin, nih."

Elena tengah memotong kecil bakso tersebut, dan siap menyuapi Reyn.

"Aa', Rein."

Reyn membuka mulutnya dan masuklah suapan Elena ke mulutnya. Reyn berlaga manja saat mengunyah makanan tersebut.

"Mmm, enak banget."

Vino tampak kesal dengan tingkah Reyn.

"Cih."

Reyn memasang wajah puas bisa memanas-manasi Vino.

"Lagi, dong."

Elena kembali menyuapi Reyn.

"Nih."

"Mmm. Aku baru tau, loh, bakso besar rasanya seenak ini."

"Oh, ya? Emangnya kamu baru kali ini makan bakso besar?"

"Yups!"

"Hmm, aku juga. Dan emang beneran enak."

"Kamu haus gak? Nih, minum teh botol punyaku aja."

Reyn memegang botol dan sedotannya, lalu mendekatkannya ke mulut Elena. Elena menyedot teh botol tersebut secara perlahan.

"Aah, makasih, Rein."

"Iya, sayang."

Vino semakin kesal melihat kemesraan Reyn dan Elena.

***

Elena menggandeng tangan Reyn seraya mereka berjalan. Serta saling melempar canda tawa. Vino yang melihat mereka dari belakang, merasa sebal dengan tingkah kedua temannya tersebut.

Saat sampai di pertigaan Reyn menengok ke belakang untuk memberi salam kepada Vino. Namun, Vino langsung melengos begitu saja. Tidak berpamitan kepada Reyn.

"Oy, hati-hati di belokan yang lurus."

Vino menanggapinya dengan ketus.

"Basi, basi, basi."

Reyn hanya tertawa mendapati reaksi Vino tersebut.

Mereka berdua kembali berjalan. Elena menyandarkan kepalanya ke bahu Reyn. Terlihat mesra.