Elena terlihat selalu di dekat Reyn. Di mana ada Reyn, pasti di sisinya ada Elena. Hampir di setiap kegiatan sekolah mereka terlihat bersama.
Reyn dan Elena masuk ke dalam kelas seraya bergandengan tangan.
"Ciee... Mesra banget, sih."
"Apaan, sih?" Tanggap Elena setengah tertawa.
"Kenapa gak duduk barengan aja, sih?"
"Lo udah bosen sebangku sama gue? Ya udah, gue tuker tempat duduk sama Vino, kalo gitu."
"Eh, jangan, jangan! Gue gak mau sebangku sama dia."
"Ya, makanya jangan suka ngeledek."
"Ya, maaf."
***
"Besok, kan, tanggal 14. Pasti lo berdua ada rencana jalan berdua?"
"Mau tau aja lo."
Saly mencoba menggoda Elena.
"Halah, ngaku aja napa. Gue gak bakal cerita sama siapa-siapa, kok."
"Kepo."
Saly mulai sebal dengan tanggapan Elena. Dan Elena tertawa mendapati reaksi Saly yang sebal dengannya tersebut.
***
Elena sudah berpenampilan cantik sekali hari ini. Memakai gaun warna merah dan tengah bercermin. Hatinya begitu berbunga-bunga, terlihat dari pancaran keceriaan dari wajahnya.
Namun, wajahnya terlihat kesal saat mencari-cari sepatunya di lemari. Ia tidak menemukannya. Meski sudah mencari ke segala tempat.
"Mah! Mama liat sepatuku gak?"
Mamanya datang.
"Sepatu yang mana, sayang?"
"Sepatu pestaku."
"Itu apa?"
Mama Lina menunjuk ke arah belakang Elena, tepat ke bawah ranjang.
"Ah, ini dia."
"Makanya carinya yang bener, dong."
"Iih, aku udah cari ke mana-mana, Mah. Eh, taunya ada di bawah kasurku."
Mama Lina menggelengkan kepalanya dan berlalu dari kamar Elena.
***
'Aku mungkin agak telat datangnya, ada urusan sebentar sama temen-temen.'
Elena sedikit mengeluh mendapat pesan dari Reyn.
"Ya udah, aku tunggu aja, deh."
Satu jam berlalu, Reyn tak kunjung datang. Elena sudah mulai kesal. Dan suasana alun-alun mulai semakin ramai oleh orang-orang.
Elena mencoba menelepon Reyn, tapi tidak ada jawaban darinya.
"Angkat, dong, Rein!"
Elena mencobanya sekali lagi.
"Aaah, nyebelin!"
Elena sudah sangat kesal. Reyn yang mengajak, tapi dia sendiri yang tidak datang.
Elena pergi dari sana seraya menelepon Sally.
"Sal, gue ke rumah lo, ya."
***
"Apa? Kenapa? Cerita sama gue."
"Rein, ternyata nyebelin. Ngajakkin jalan tapi gak datang."
"Ah, udahlah. Cowok emang begitu. Suka PHP. Lo harus sabar aja ngadepinnya."
"Gue keselnya itu, dia gak ngasih alasan apa-apa sama gue."
Elena terlihat begitu kesal.
"Baru jadian udah gini. Apalagi nanti."
"Udah, tenangin diri lo."
Saly mengusap kedua bahu Elena seraya mendekapnya.
***
Di sekolah Elena bersikap cuek pada Reyn. Ia tidak menatapnya sedikit pun saat melewati bangkunya.
"Pacar lo kenapa, tuh?"
Evan bertanya.
"Ah, anjer. Gue lupa ngasih dia alesan kenapa gue gak jadi jalan sama dia kemarin."
"Emangnya lo ke mana, kemarin?"
"Temen-temen SMP gue, maksa banget ngajakkin gue main. Gue kira cuman sebentaran, ternyata sampe malem."
"Nah, loh! Liat tuh, si Elena keliatan kesel bangat sama lo."
"Kayaknya lo belum terbiasa punya pacar. Jadi prioritas lo masih kacau."
"Ya, baru kali ini gue pacaran."
"Ya udah, sana lo minta maaf."
Namun, bel berbunyi dan seorang Guru masuk ke dalam kelas. Reyn pun mengurungkan niatnya. Raut wajah Elena benar-benar terlihat sangat berbeda hari ini.
***
"Elena, tunggu!"
Elena berhenti dan bersikap datar.
"El, gue duluan kalo gitu."
Saly pamit dan berlalu.
Tanpa basa-basi Reyn langsung meminta maaf kepada Elena.
"Aku minta maaf, gak sempet ngasih tau kamu kalo acara kita batal."
"Gak pa-pa."
"Ya udah, kamu boleh marahi aku sepuas kamu."
"Aku gak marah."
"Tolong, jangan bikin aku tersiksa dengan sikap kamu itu."
"Salah sendiri."
Elena lanjut berjalan meninggalkan Reyn. Meninggalkan Reyn yang mulai frustrasi.
***
Bel waktunya pulang berbunyi. Semua siswa langsung membereskan barang-barang mereka. Termasuk Elena dan Saly.
Elena beranjak dari tempat duduknya dan hendak melangkah, namun dicegah oleh Reyn.
"Awas! Aku mau lewat."
"Rey udah, deh, jangan ganggu dia dulu."
"Gak. Sebelum aku dapat maaf darimu."
Elena mendelik.
"Ya udah, gue gak mau ikut campur."
Saly pergi meninggalkan mereka.
"El, maafin aku."
Elena tidak bereaksi menanggapi permohonan dari Reyn.
"Aku tau, aku salah. Aku bodoh. Malah lebih mentingin temen-temen aku daripada kamu."
Elena berbicara.
"Ini kesalahan pertama kamu, dan sudah sefatal ini. Aku gak tau, kamu bakal ngelakuin kesalahan apa lagi nantinya."
Reyn berlutut di hadapan Elena.
"Aku mohon, maafin aku! Aku gak akan ngulangin kesalahanku itu. Aku akan menebusnya, aku janji!"
"Dengan apa?"
Reyn terdiam.
"Sudah aku duga."
Elena pergi meninggalkan Reyn yang masih dalam posisi berlutut. Terdiam dan termenung.
***
"Sore ini Rein mau ke rumah gue, katanya mau nebus kesalahannya itu."
"Bagus, dong."
"Ya terus, gue harus gimana? Apa gue harus tetep bersikap datar sama dia?"
"Kalo menurut gue, sih, lo tetep harus kayak gitu. Sampe dia bener-bener hampir menyerah memohon sama lo. Biar dia jera dulu, baru lo maafin dia."
Elena berpikir, saran dari Saly ada benarnya juga. Supaya Reyn tidak mengulangi kesalahannya lagi.
***
"Kamu mau apa lagi sekarang?"
Elena dan Reyn saling berhadapan di depan pintu rumah.
"Gak ada gunanya aku minta maaf terus-terusan sama kamu."
Elena sedikit terkejut.
"Aku tau kamu marah, kamu kesal sama aku. Maka, luapin aja amarahmu itu. Jangan ditahan!"
"Aku..."
Elena sedikit menunduk.
"Aku kecewa sama kamu, aku benci! Aku udah berharap, hari valentine ini, bisa jadi hari istimewaku sama kamu. Ternyata kamu malah tidak datang. Aku benci!"
Reyn sedikit menutup matanya menerima semua makian tersebut.
Elena mulai menangis.
Reyn hendak menghapus air matanya. Namun...
"Jangan sentuh aku!"
Reyn diam dan Elena semakin terisak.
Setelah beberapa saat, Reyn terlihat tersenyum.
"Kenapa? Kenapa kamu malah tersenyum?"
"Kamu gak inget, kalo hari ini hari ulang tahunmu?"
Elena terkejut dan tidak bisa berkata-kata melihat kado yang ditunjukkan oleh Reyn. Yang dari tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya.
"Selamat ulang tahun!"
Reyn tampak tersenyum lebar. Elena kembali menangis, tapi kini tangis haru yang ia rasakan.
"Rein."
Elena membuka kado tersebut dan terdapat gelang dari benang yang dianyam. Perpaduan warna merah muda dan biru muda. Di tengahnya ada hiasan perpaduan huruf dan lambang hati. "E(LOVE)R".
Elena mengambil gelang tersebut.
"Lihat, aku juga memakai gelang yang sama."
Reyn menunjukkan gelang yang baru saja ia pakai di tangan kanannya. Gelang milik Reyn perpaduan warnanya lebih tegas. Merah dan biru. Dan tulisannya "R(LOVE)E".
"Rein, kamu..."
Elena memeluk Reyn dengan hangat. Ia merasa bahagia, tidak peduli lagi dengan kesalahan yang sudah diperbuat oleh Reyn.
Mama Lina datang membawa kue ulang tahun.
"Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun, Elena! Selamat ulang tahun!"
"Mama!"
Elena langsung melepaskan pelukannya dari Reyn. Reyn terlihat sedikit menahan malu.
"Mama juga."
"Selamat ulang tahun, sayang! Buat harapan dan tiup lilinnya."
Elena memejamkan kedua matanya sejenak, lalu meniup lilin tersebut sampai apinya mati.
"Berbahagialah! Maaf ya, acara kemarin sengaja aku batalin."
Ternyata Reyn sengaja membatalkannya, pikir Elena.
"Iiih, jahat. Kamu jahat banget!"
Elena memukul bahu Reyn beberapa kali.
"Udah sayang, mama yang nyuruh dia buat batalin. Biar kita rayain aja hari ulang taunmu. Mama juga pengen ikut bahagia bersama kalian."
"Aaaahh, Mamaaa!"
Reyn tertawa.
"Aku berharapnya bisa ngerayain hari Valentine sama kamu. Taunya malah..."
"Tapi kamu tetep seneng, kan?"
Reyn menggoda Elena.
"Seneng tapi juga kesel! Nih rasain!"
Elena mengoleskan cukup banyak krim kue ke wajah Reyn.
"Yah, kok gitu, sih."
"Biarin! Weee!"
Elena berlari saat Reyn hendak mengejarnya. Reyn berhasil mengejar Elena dan mengoleskan krim yang ada di wajahnya ke wajah Elena. Elena berusaha menolak.
"Aah, jangan! Ampun!"
"Gak. Kamu harus kena juga."
"Aaaaahh. Ok, kalo itu maumu."
Elena balik mengejar Reyn. Mereka saling kejar kejaran.
Mama Lina terlihat ikut bahagia melihat anaknya bahagia bersama laki-laki pilihannya. Reyn. Reyn terlihat baik dan peduli dengan Elena. Semoga mereka bisa bahagia seterusnya, doa Mama Lina dalam hati.
***
Elena tak hentinya memandangi gelang pemberian Reyn. Kebahagiaan terpancar di wajahnya.
"Rein, jangan kecewain aku, ya!"