Saly berhenti tepat di pintu gerbang, melihat ke arah Reyn dan Elena yang berjalan berduaan. Ia bingung, bukannya mereka sedang ada masalah?
"Hmm kalian tuh, aneh."
"Aneh apanya?"
Elena bertanya.
"Kemarin kalian bermasalah, sekarang keliatan baik-baik aja."
"Kita emang baik-baik aja. Gak ada masalah apa-apa."
"Hish, aneh!"
Saly berlalu meninggalkan mereka berdua. Sedangkan, mereka saling melempar tawa.
***
[Maret 2013]
"Over Sini, Van."
Evan memberi umpan lambung kepada Reyn. Reyn menahannya dengan dada dan langsung ia tendang ke gawang lawan.
"Goooollll...." teriak Reyn bersorak sambil berlari ke arah teman-temannya. Mereka saling berpelukan.
Di waktu jam pelajaran olahraga, kelasnya Reyn dan kelas lain yang sama jadwalnya, selalu tanding futsal. Jika kegiatan olahraga mereka sudah selesai dan masih ada waktu sebelum jam pelajaran selanjutnya di mulai.
"Aah akhirnya kita membalas kekalahan kita minggu lalu."
"Yo'i."
"Gimana lanjut lagi gak?"
"Udahan aja kita cape."
"Ya udah, kita juga cape."
"Thanks, ya! Jangan kapok main futsal ngelawan kita."
Reyn berterima kasih pada mereka.
"Ya nggak lah. Seru malahan."
"Ok."
Reyn dan teman-teman yang lain berjalan kembali ke kelas mereka.
"Eh, gue mau nyimpen bola dulu ke gudang."
"Siap."
Dani berlalu meninggalkan mereka.
Mereka semua sampai di depan kelas. Beberapa di antara mereka, termasuk Evan, terlihat membaringkan tubuh mereka di teras. Sedangkan Reyn, hanya duduk sambil meluruskan kakinya.
Elena datang dan menawarkan minuman kepada Reyn.
"Ini, kamu pasti kehausan."
Reyn sedikit terdiam. Lalu, tersenyum saat mengambil botol air mineral tersebut.
"Makasih!"
"Sama-sama," balas Elena sambil tersenyum gemas.
"El, buat kita gak ada?"
Vino juga menginginkan minuman tersebut.
"Bagi napa, Rey."
"Gak. Lo beli aja sendiri sana."
"Pelitnya," keluh Vino.
"Nih, buat lo."
Saly memberikan botol air mineral kepada Vino.
"Saly?"
Vino malah terdiam.
"Ambil kalo mau. Vin, mau gak?"
"Eh, iya-iya mau."
Vino langgung menenggak minuman tersebut.
Saly menaruh beberapa botol minuman lagi dalam kantung plastik di antara mereka.
"Nih, buat kalian juga. Bagi-bagi!"
"Ok, makasih Saly."
Mereka semua tampak senang mendapatkan minuman tersebut.
Saly kembali berlalu hendak masuk ke dalam kelas.
"Sal," panggil Vino menghentikan langkahnya.
"Apa?"
"Makasih, ya!"
Saly sedikit mengulas senyuman sesaat, lalu masuk ke dalam kelas.
"Ciee, mulai tumbuh benih-benih cinta, nih," goda Evan.
Lalu, disambut gelak tawa oleh yang lain. Dan Vino sedikit membuang muka karena malu.
Reyn terlihat hendak mengelap keringatnya menggunakan kaos yang ia pakai.
"Jangan pake baju ngelapnya."
Elena melarang Reyn.
"Sini, biar aku lap pake saputanganku aja."
Elena mengelap kening, lalu pipi dan seluruh wajah Reyn dengan saputangan miliknya, yang berwarna merah muda.
"Van, lo nyalain TV ya?"
"Lah? TV?"
"Itu, ada tayangan FTV depan kita."
"Oh, iya anjir."
Mereka semua kembali tertawa sambil mencoba menggoda Reyn dan Elena.
"Yang satu tadi episodenya baru mulai, sekarang yang ini episodenya terus berlanjut."
Elena sedikit menundukkan kepalanya, merasa malu.
"Udah, sini biar aku aja yang lanjutin ngelap keringetnya. Kamu masuk aja."
Elena mengangguk dan bergegas masuk ke dalam kelas.
"Yaah, udah bersambung aja. Baru aja mulai."
"Udah-udah, ah. Cape ketawa terus."
Evan melihat ada Riandra di kejauhan sedang memperhatikan mereka. Pasti dia melihat kejadian tadi, pikir Evan. Raut wajahnya sedikit menyiratkan kesedihan. Lalu, Riandra terlihat berlalu pergi. Evan merasa sedikit khawatir padanya.
***
"Hey, gue boleh duduk di sini?"
"Duduk aja, Van. Pake minta izin segala."
"Ya, siapa tau lo gak mau diganggu."
"Gak, pa-pa. Duduk aja."
Evan duduk dan memperhatikan Riandra yang sedang makan. Riandra menyadarinya, lalu ia memelankan tempo makannya. Namun, tiba-tiba ia tersedak saat hendak menelan makanan tersebut.
"uhuk, uhuk!"
"Eh, ini cepetan minum."
Riandra langsung minum dengan Evan yang memegangi gelasnya. Sekarang Riandra merasa lebih baik. Namun, Evan masih memegangi gelas tersebut di depan muka Riandra.
"Udah, Van."
"Eh, iya."
Evan kembali menaruh minuman tersebut.
Mereka berdua tampak terdiam dan saling menatap satu sama lain.
"Lo baik-baik aja, kan?"
"Gue udah enakkan, sekarang."
"Bukan itu, tapi..."
Riandra tahu apa yang dimaksud oleh Evan dan ia sedikit tidak senang akan hal itu.
"Gue baik-baik aja, kok."
"Gak. Yang gue liat lo masih terluka."
Riandra terdiam dan terlihat tidak senang. Lalu, ia hendak pergi. Namun, Evan menahannya.
"Tunggu! Gue tau, gue terlalu berani sama lo. Tapi, gue mohon, biarin gue bantu lo nyembuhin luka lo itu."
"Lepasin tangan lo, Van. Gue gak butuh bantuan apa-apa, gue cuman butuh waktu buat sendiri aja."
Riandra pergi meninggalkan Evan yang terdiam.
***
"Gimana, lo berhasil?"
"Gak, Rey. Kayaknya dia memang gak bakal buka hatinya buat gue."
Reyn menepuk pundak Evan seraya memberinya semangat.
"Lo jangan putus asa. Terus coba dan berusaha. Gue yakin, lama-lama dia bakal buka hatinya buat lo."
***
Reyn tengah memandangi saputangan milik Elena. Dalam pikirannya terus terbayang kejadian tadi di sekolah.
"Rey, ada pakaian kotor gak? Mau Ibu cuci sekarang."
Reyn langsung terlihat antusias.
"Sebentar, Bu."
Reyn mengambil pakaian kotornya, lalu membuka pintu kamarnya.
"Sini, Bu, biar aku aja yang nyuci."
Reyn mengambil alih keranjang cucian dari tangan Ibunya. Lalu, Reyn berlalu membawa keranjang cucian tersebut.
Ibu Rena sedikit heran namun senang dengan perubahan sikap Reyn yang semakin ceria, seperti sedia kala. Itu membuatnya merasa lega dan bahagia.
***
Saat semua pakaiannya sudah kering, juga Reyn yang menyetrikanya. Ibu Rena memperhatikannya dari arah pintu. Dan Ibu Rena melihat Reyn sedang menyetrika saputangan merah muda.
"Oh, karena itu kamu mau nyuci dan nyetrika semua bajunya."
Reyn hanya menyeringai menanggapinya.
"Syukurlah, kamu udah bisa buka hatimu buat dia."
Reyn sedikit tertegun, karena orang yang dimaksud Ibunya itu berbeda dengan yang sebenarnya.
Reyn ingin mengatakan yang sebenarnya, namun ia menunggu waktu yang tepat. Dan ini bukan saatnya.
"Iya, Bu."
"Ya udah, ibu tinggal ya."
Reyn masih termenung saat ibunya sudah pergi.
***
Reyn tengah mengunci pintu pagar rumahnya. Lalu, ia dikagetkan oleh Elena dari belakang.
"Hey!"
"Ah, kamu, bikin aku kaget aja."
"Hehe."
"Eh, iya. Ini, saputangan kamu."
Elena mengambil saputangan tersebut.
"Makasih."
Reyn tersenyum tulus, begitu juga Elena.
Lalu, mereka berdua berjalan bersama.
"Ngomong-ngomong, soal saputangan, aku baru kali ini liat kamu pakai saputangan."
"Iya, soalnya ini pemberian Ibu saat aku ulang taun kemarin. Ya, buat ngegantiin saputangan aku yang dulu ketinggalan saat pindah ke sini."
"Oh, pantes aku baru liat."
***
Mereka berdua bertemu dengan Riandra, yang baru saja keluar dari ruang guru. Riandra terlihat sedikit menahan kesedihan saat menatap ke arah mereka berdua.
"Ri?"
Riandra berlalu begitu saja.
"Riandra!"
Meski Riandra sudah merelakan Reyn untuk Elena. Namun, tidak bisa dipungkiri jika hatinya masih terluka.
'Jika kau memang bukan untukku, kenapa rasa sakitnya belum juga hilang?'