[April 2013]
Reyn mengetuk pintu rumah Elena.
"Permisi."
Tidak berselang lama Elena membuka pintu. Ia terlihat berantakan dengan rambut yang kusut, wajahnya masih kusam dan masih mengenakan piama. Sudah kuduga, pikir Reyn.
"Eh, Rein, kamu mau ngapain?"
Elena berpura-pura tidak tahu maksud dari kedatangannya.
"Kamu jangan pura-pura gak tau, deh."
Reyn terlihat kesal.
"Tapi, Rein,"
Elena memikirkan sesuatu.
"Oh iya, aku baru inget, sebentar lagi mau ke rumah Saly. Mau ngerjain PR."
Elena menyeringai.
"PR apa? Kan, kemarin gak ada Guru yang ngasih tugas apa-apa."
Elena terdiam.
"Mmm..."
"Kamu kenapa, sih? Setiap aku ajak buat lari pagi selalu nolak."
Reyn terlihat kesal.
Terdengar suara Mama Lina dari dalam rumah.
"Di luar ada siapa, Sayang?"
Elena terlihat sedikit sebal saat Mamanya keluar.
"Eh, ada Rey."
Mama Lina memperhatikan setelan yang di pakai oleh Reyn.
"Kamu mau ngajak Elena lari, ya?"
"Iya, tante."
Reyn melihat ke arah Elena yang dari tadi cemberut sejak mamanya keluar.
"Tapi, kayaknya Elena gak bisa, deh."
"Loh, kok gitu, sayang? Kamu kenapa nolak ajakan Rey? Kamu juga harus olahraga, biar sehat."
"Tapi Mah, aku kan..."
"Kamu jangan gitu, sayang. Kasian Rey, udah jauh-jauh nyamperin kamu ke sini."
"Ya udah, kalo gitu tunggu sebentar!"
***
Tidak lama, Elena kembali keluar. Ia memakai kaos putih polos, celana training hitam selutut dan sepatu olahraga warna paduan putih dan biru gelap. Rambutnya juga diikat. Hanya saja, ia terlihat masih kesal.
"Aku udah siap, nih. Ayo, cepetan! Malah ngobrol," ketus Elena saat melihat Reyn tengah mengobrol dengan Mamanya.
"Nah, gitu dong, sayang. Olahraga, biar kamu sehat."
"Iya, Mah."
Jawab Elena dengan sedikit jutek.
"Kalo gitu, kami berangkat, Tante. Mari," Reyn berpamitan kepada Mamanya Elena seraya mereka berlalu
"Iya. Hati-hati!"
***
Elena baru menyadari, ternyata arah yang dituju berbeda dari yang dipikirkannya.
"Rein memangnya kita mau ke mana? Kok, ke sini? Orang-orang biasanya, kan, ke arah sebaliknya. Ke Jalan Anyar. Lebih rame, lagi."
"Kalo ke Jalan Anyar, memang cuma rame. Tapi, banyak polusi juga. Soalnya, banyak orang-orang yang make kendaraan buat pergi ke sana. Sama aja bo'ong kalo lari ke sana.
Mending kita keliling jalan perkampungan aja. Udaranya lebih segar dan pastinya, lebih menyehatkan."
"Apa?! Itu kan jauh, Rein. Dan lagi, banyak tanjakannya."
Elena mengeluh.
"Lebih jauh mana sama ke Jalan Anyar?"
"Lebih jauh ke Jalan Anyar, sih."
"Nah, ya udah. Daripada ngeluh, kita mulai joging dari sekarang."
Reyn meninggalkan Elena yang masih terdiam.
"Iiihhh... Rein, tunggu!"
***
Saat melewati area pemakaman, Elena sedikit merasa takut. Ditambah Reyn juga menakut-nakutinya. Sehingga Elena berlari paling depan. Reyn tertawa melihat tingkahnya tersebut.
***
Elena melihat banyak sekali anak kecil yang bermain di pinggir jalan saat mereka melewati pemukiman. Ia menyapa mereka sambil melambaikan tangan dan anak-anak itu terlihat sangat senang. Reyn juga ikut melakukan hal yang sama.
***
Sekarang mereka tengah melewati sebuah tanjakan yang cukup terjal. Sehingga Elena kesulitan berlari. Ia pun hanya bisa melangkah pelan seraya nafasnya terengah-engah. Reyn menggandeng tangan Elena dan mereka melangkah bersama-sama saling menyemangati.
***
Setengah perjalanan sudah mereka tempuh. Keringat sudah terlihat cukup membasahi wajah dan tubuh mereka. Sekarang, mereka memilih untuk berjalan santai saja.
Elena tengah mengelap wajahnya dengan saputangan. Lalu, ia menyadari sesuatu saat melewati sebuah sekolahan.
"Ini, kan, sekolahku waktu SMP. Aku baru sadar, loh."
"Kamu juga sekolah di sini?"
"Iya. Kamu juga! Tapi, kok, kita gak pernah ketemu?"
"Mungkin, karena terlalu banyak murid yang bersekolah di sini. Jadi, kecil kemungkinan buat kita ketemu."
"Iya, sih. Dulu juga aku gak banyak temen, dan gak mau punya banyak temen. Karena, kebanyakan dari mereka cuman manfaatin aku buat dicontek aja."
Reyn mengusap punggung Elena seraya menenangkannya.
"Udah, gak usah dipikirin lagi. Kita istirahat aja dulu, beli minum. Ya?"
Elena sedikit mengulas senyuman dan mengangguk.
***
Elena duduk di bangku, sedangkan Reyn membeli minuman.
"Bu, air mineralnya dua botol. Yang biasa, jangan yang dingin."
"Iya, tunggu sebentar."
Ibu penjaga warung tampak mengambil dua botol air mineral dari dalam etalase.
"Ini, Jang, mangga."
"Makasih, Bu. Ini uangnya."
Reyn memberikan satu botol air mineral itu kepada Elena, dan ia duduk di sebelahnya.
Elena langsung meneguknya tanpa jeda. Sampai airnya tersisa setengah.
"Aaahh! Segernya."
"Kamu minum apa bocor botolnya? Kok, cepet banget habisnya?"
"Iiihh! Apa sih gak usah ngeledek, deh. Aku haus banget, tau. Cape, udah ngelewatin banyak tanjakan dan turunan!"
Reyn hanya tertawa menanggapinya reaksi Elena.
***
"Kita ambil jalan pintas aja, biar cepet sampai."
"Ok."
Mereka mengambil rute jalan setapak melewati pemukiman pinggir sekolah. Lalu, jalan tersebut menembus pesawahan. Elena terlihat menikmati pemandangan hamparan sawah hijau tersebut. Dan angin sepoi-sepoi menerpa badan mereka. Elena pun membuka kedua tangannya.
"Sejuk sekali anginnya."
Reyn tersenyum memperhatikannya.
***
"Rey, kamu mau pergi sama siapa?"
Ibu Rena cukup heran dan penasaran dengan perempuan yang tengah menunggu Reyn di depan rumah.
"Dia, Bu. Yang udah bikin aku kembali ceria."
"Terus, Riandra gimana?"
"Maaf, Bu. Aku belum ngasih tau Ibu soal ini. Tapi, nanti aku ceritain semuanya sama Ibu."
"Iya, Nak, gak pa-pa."
Ibu Rena cukup memaklumi keputusan anaknya. Tapi, ia masih penasaran apa alasan Reyn memilih perempuan itu daripada Riandra.
"Aku pergi, ya, Bu. Assalamualaikum!"
"Wa' alaikumsalam!"
"Kakak, belikan aku oleh-oleh!"
"Iya, Nay. Nanti kakak beliin."
Reyn mengusap rambut Naila. Lalu, berpamitan kepadanya.
"Daah!"
"Daah, kakak!"
***
Mereka berdua berjalan saling bergandengan tangan. Elena terlihat sangat senang. Sedangkan, Reyn tampak fokus memperhatikan jalan yang mereka lalui.
Jalanan cukup macet dan penuh polusi. Sehingga, sesekali mereka menutup hidung mereka. Lalu, mereka menyeberang setelah jalanan tampak lengang. Dan mereka masuk ke sebuah supermarket.
***
Saat menaiki tangga, Reyn bercerita hal yang lucu. Dan itu membuat Elena tidak berhenti tertawa.
***
Setibanya di tempat permainan, mereka langsung membeli beberapa koin. Reyn melihat tidak ada permainan yang kosong. Semua orang tampak memenuhi tempat tersebut.
"Rein, lihat. Ada yang kosong."
Elena menunjuk ke permainan bola basket yang baru saja ditinggalkan oleh beberapa orang.
"Ayo Rein, kita main bola basket!"
Elena menarik tangan Reyn dengan semangat.
"Ayo! Siapa yang dapat skor tertinggi, dia boleh meminta sesuatu dari yang kalah. Gimana, berani?"
Reyn menantang Elena dan Elena menerimanya.
"Ok, siapa takut."
Mereka sudah dalam keadaan bersiap-siap sambil masing-masing memegang bola basket.
"Kita mulai di hitungan ketiga. Satu, Dua, Tiga!"
Mereka pun mulai memasukkan bola tersebut ke keranjang. Cukup cepat, namun ada beberapa bola yang meleset. Reyn cukup mengungguli skor di ronde pertama.
"Haha, aku menang."
"Belum. Ini masih ronde pertama."
Ronde kedua berlangsung. Reyn sesekali mengganggu Elena dengan menggelitikinya. Elena juga tidak mau kalah, ia mendorong Reyn ketika Reyn akan melempar bola. Elena tertawa puas karena lemparan Reyn meleset.
Mereka berdua tidak lolos ke ronde selanjutnya, karena skor mereka tidak mencapai skor minimal di ronde kedua. Namun, tetap saja Reyn yang unggul dengan perbedaan skor yang cukup jauh.
"Yah, gak lolos ronde dua."
"Skorku masih unggul, dong."
"Kamu curang. Jadi, dianulir kemenangannya."
"Bilang aja, gak mau nerima kekalahan."
Reyn meledek Elena.
"Issh, kalo kamu gak curang aku bisa menang, tau."
"Ya udah, kita main yang lain lagi. Dan akumulasikan siapa yang menangnya paling banyak."
Mereka lanjut memainkan beberapa permainan. Mulai dari main tembak-tembakan, semacam permainan memukul tikus, hingga beberapa permainan lainnya yang tak kalah seru.
Dan hasilnya, Reyn tetap yang menang. Skor mereka 4-2.
"Nyebelin banget, deh."
"Hehe, sesuai janji, siapa yang menang boleh minta sesuatu sama yang kalah."
"Ya udah, kamu minta apa dari aku? Awas, jangan yang aneh-aneh!"
"Aku mau kamu..."
"Apa?"
"Itu... Anu..."
"Udah aku bilang jangan yang aneh-aneh."
Elena menyubit bahu Reyn sehingga Reyn meringis kesakitan.
"Iya-iya gak aneh-aneh, kok. Cuman malu aja ngomongnya."
"Apaan, sih?"
Reyn mendekatkan wajahnya ke telinga Elena.
"Aku mau kamu jadi miliku selamanya."
Elena tersipu malu mendengar perkataan Reyn. Pipinya terlihat memerah. Reyn juga tersenyum setelah membisikan hal tersebut.
"Ya udah, kita pulang yuk!"
Elena mengangguk, masih dalam keadaan tersipu. Reyn menggandeng tangannya dan mereka berjalan bersamaan.
***
Naila baru saja membuka kotak boneka pemberian dari Elena. Ia sangat suka dengan boneka tersebut.
"Makasih, Kak. Bonekanya. Jadi bonekaku yang ini ada temennya, deh."
"Sama-sama."
Ibu Rena terlihat senang melihat Naila dapat hadiah dari Elena. Dan ia pun baru mengingat sesuatu.
Ibu Rena mengajak Reyn untuk sedikit menjauh dari mereka.
"Reyn, sekarang katakan sama Ibu kenapa kamu memilih Elena daripada Riandra."
"Aku..., Aku tau dengan pilihanku Riandra pasti terluka. Tapi, aku gak bisa bohongin diri aku sendiri, Bu. Kalo aku mencintai Elena daripada Riandra."
"Lalu, alasanmu?"
"Karena, Elena yang udah bikin aku semangat lagi, Bu. Ngasih aku semangat baru."
"Dan, Riandra?"
"Dia tetep jadi sahabat aku, Bu. Aku yakin dia baik-baik aja. Karena, kita sebelumnya sudah saling mencurahkan isi hati kita. Gak ada yang ditutupi lagi."
"Syukurlah, kalo gitu. Ibu udah merasa lega sekarang. Apa pun keputusanmu, akan selalu Ibu dukung."
"Makasih, Bu."
"Kak, ayo sini ikut main!"
Reyn dan Ibu Rena menoleh ke arah Naila.
"Ya udah, kamu temenin mereka main."
"Iya, Bu."
Ibu Rena sedikit kecewa dengan pilihan Reyn. Tapi, ia tidak bisa melarang anaknya dekat dengan siapa pun. Yang terpenting, Reyn sudah kembali ceria dan mempunyai semangat baru. Itu sudah cukup baginya.