Belajar Bersama

Pintu rumah ada yang mengetuk. Elena seketika  beranjak dari sofa untuk membuka pintu untuk orang tersebut. Dan itu adalah Reyn, yang sudah ia tunggu dari tadi.

"Masuk, Rein."

"Iya."

Mereka langsung menuju ruang tengah.

"Kamu mau minum apa?"

"Gak usah. Kita langsung belajar aja."

"Oh, oke. Kalo gitu kita ke atas."

"Ke kamar kamu?"

Reyn sedikit tergugup.

"Bukan. Ada ruangan khusus buat kita belajar di atas."

"Oh."

Reyn tampak menghela nafas lega.

***

"Kita belajar di sini, aku udah siapin dua meja kecil buat kita belajar."

Terlihat dua meja kecil lesehan di sebuah ruangan terbuka yang terbilang cukup luas. Kira-kira ukurannya 3x4 meter. Yang berada di antara kamar satu dan dua. Terdapat rak buku di salah satu sisi dinding, berisi beberapa buku bacaan. Dan sisi sebelahnya terdapat jendela yang cukup besar sebagai sumber cahaya.

"Kamu tunggu di sini, aku mau ngambil tas aku dulu."

"Iya."

Reyn berjalan menuju rak buku dan melihat-lihat. Lalu, ia tertarik dengan satu buku. Ia pun membuka buku tersebut dan membacanya.

Elena kembali dan memberikan pendapat tentang buku yang sedang dibaca oleh Reyn.

"Aku udah baca buku itu sampai tamat. Kisahnya menarik dan endingnya bikin ketawa. Sebenernya ada dua buku, itu seri pertamanya."

"Seri keduanya? Di mana?"

"Dipinjem sama Saly."

"Aku boleh pinjem yang ini gak?"

"Boleh."

"Makasih."

Reyn segera duduk di depan meja satunya di hadapan Elena. Lalu, mengeluarkan buku dan alat tulisnya dari dalam tas.

"Kita kerjain tugas masing-masing dulu."

"Oke."

Mereka tampak sangat serius mengerjakan tugas mereka, namun Reyn cukup terlihat santai. Tidak dengan Elena.

"Selesai."

"Eh, kamu kok udah selesai aja?"

"Kamu pasti kebingungan di soal yang ke lima? Jadinya lama."

"Iya, soalnya rumusnya gak ada."

"Sudah kuduga."

Reyn menunjukkan hasil pekerjaannya.

"Rumusnya ada, kok. Meski yang dicari beda sama yang di contoh, rumusnya tetep yang ini. Tinggal masukin aja variabelnya ke sini, lalu selesaikan kayak biasanya."

"Oh, ternyata gitu. Aku pikir beda rumus lagi. Eh, tumben kamu pake rumus lengkap?"

"Aku emang gak terpaku sama rumus. Tapi, kalo ada soal yang bener-bener harus pake rumus, ya aku pake rumusnya."

"Aku harus banyak belajar dari kamu, deh."

Elena tersenyum kagum.

"Udah, kamu kerjain soal terakhirnya. Nanti kita bandingin."

"Iya, iya."

Reyn memperhatikan Elena. Namun, fokusnya teralihkan ke bagian dada Elena yang cukup terbuka. Karena, Elena memakai gaun tidur yang cukup terbuka bagian atasnya. Dan sekarang ia merasa risih dengan pemandangan tersebut. Beberapa kali ia merubah posisi duduknya, karena merasa tidak nyaman.

Elena menyadari tingkah aneh yang dilakukan oleh Reyn.

"Rein, kamu kenapa? Aku liat-liat kamu kayak gak nyaman gitu duduknya."

"Enggak, aku gak pa-pa, kok. Cuman gatel aja."

Reyn berusaha bersikap tenang.

"Oh."

Reyn sedikit merasa lega.

"(Untungnya dia cukup polos untuk menyadari kerisihanku ini.)"

"Aku udah selesai nih."

"Ok, coba aku bandingin sama punyaku."

Elena tampak sedikit memajukan tubuhnya ke depan untuk ikut memperhatikan.

Lagi-lagi Reyn kehilangan fokusnya. Apalagi pemandangan itu tepat di depan matanya.

"El?"

"Ya."

"Kamu bisa gak, gak usah kayak gitu ngeliatinnya."

"Emangnya kenapa?"

"(Jangan terlalu polos napa, sih!)"

"Aku gak bisa fokus kalo diliatin kayak gitu."

"Oh, maaf."

Elena kembali duduk dengan posisi seperti semula. Namun, kemudian ia beranjak duduk di sebelah Reyn.

"Kalo gini?"

"(Malah mendekat.) Y-ya, udah, deh."

Reyn tidak berani lagi untuk menegur Elena. Alhasil, ia kembali merasa gelisah dan "tegang". Namun, ia berusaha untuk tetap tenang.

***

"Nah, kalo kamu nemu soal cerita kayak gini. Apalagi, di saat ujian. Kamu langsung baca aja pertanyaannya. Biar langsung ketemu poin yang dimaksud dalam soal tersebut. Dan biar gak buang-buang waktu."

"Maksudnya gimana?"

"Gini, kamu kan biasanya baca dulu soal cerita lalu ke pertanyaan. Karena kamu masih bingung, kamu baca lagi soal ceritanya. Jadi dua kali, kan, bacanya?

Di kali pertama, kamu baca soal cerita terebut tanpa tau poin masalahnya. Di kali kedua, saat kamu sudah tau poin masalahnya kamu baca lagi buat nyari si poin masalah tersebut. Jadinya buang-buang waktu.

Nah, kalo kamu langsung baca pertanyaannya. Kamu cuma butuh membaca soal ceritanya satu kali sekaligus mencari poin masalahnya."

"Oh, Oke. Aku ngerti sekarang. Makasih!"

Elena tersenyum ke arah Reyn membuat Reyn sedikit tersipu malu.

"S-sama-sama."

***

Elena menaruh buku yang ia baca, karena sudah merasa jenuh. Lalu, memperhatikan Reyn yang masih belajar.

Reyn menyadari kalau ia diperhatikan oleh Elena. Elena tampak terpaku padanya sambil menaruh dagunya di atas kedua tangannya.

"El?"

"Kamu jadi makin ganteng kalo lagi serius belajar."

Tiba-tiba Reyn tersipu malu mendengar pujian tersebut.

"K-kamu bisa aja."

"Hehe, tapi mungkin karena aku jarang merhatiin kamu lagi belajar di sekolah. Jadi, ya…, gitu deh."

Elena sedikit malu karena keceplosan memuji Reyn.

Tiba-tiba Elena mendengar bunyi perutnya sendiri.

"Oh, iya. Kamu laper gak?"

"Sebenernya, udah dari tadi. Aku mau ngomong, tapi takut ganggu kamu yang serius banget belajarnya."

"Ya udah, kita udahan belajarnya."

Elena membereskan barang-barangnya, lalu beranjak seraya mengajak Reyn.

"Yuk, kita ke dapur buat masak!"

Reyn masih membereskan barangnya.

"Ayo!"

"I-iya."

***

Reyn memperhatikan Elena yang sedang memotong daun bawang, bawang putih, cabai rawit serta tomat.

"Ternyata kamu bisa masak."

"Gini-gini, aku suka merhatiin mama masak sama bantu-bantu sedikit. Jadi, bisa lah masak yang gampang-gampang mah."

"Oh."

"Tolong ambilin wajan yang itu."

Reyn mengambil wajan yang dimaksud dari rak piring. Lalu memberikannya kepada Elena.

"Ini, El."

Elena meletakkannya di atas kompor, lalu menyalakan kompornya. Menuangkan minyak goreng secukupnya. Dan lanjut mengocok telur.

Setelah dirasa minyaknya cukup panas. Elena memasukkan bawang, cabai dan tomat terlebih dahulu. Lalu, ia tumis sampai keluar aroma harum dari bumbu tersebut.

Dan sekarang waktunya memasukkan telur yang sudah dikocok tadi. Ia aduk sampai semua bahannya tercampur rata. Tidak lupa ia memasukan garam dan penyedap rasa secukupnya.

Setelah beberapa saat Elena menyicipi sedikit masakan tersebut.

"Udah pas bumbunya."

Ternyata Reyn sudah membawakan mangkuk untuk wadah masakan tersebut.

"Makasih."

Elena menuangkan masakan tersebut ke dalam mangkuk dan telur orek buatannya pun siap disantap.

"Baunya harum banget, jadi makin lapar, deh."

"Ya udah, kita langsung ke meja makan."

***

Elena menaruh mangkuk tersebut di tengah meja makan dan mereka duduk saling berhadapan.

Reyn langsung mengambil sedikit telur orek tersebut dan menyantapnya bersama nasi hangat.

"Aku coba, ya."

Elena terlihat antusias saat Reyn hendak mencoba masakannya tersebut.

"Gimana rasanya? Enak gak?"

Reyn tengah merasakan makanan tersebut dengan saksama.

"Enak, lembut dan pulen."

"Iiihh, bukan nasinya, tapi telur oreknya, Rein."

Reyn sedikit tertawa.

"Iya aku belum selesai ngomong, El. Udah kamu potong aja."

Elena terlihat kesal.

"Kalo telurnya, sih, keasinan. Kamu terlalu banyak masukin garam kayaknya."

"Ah masa?"

Elena tidak percaya dengan kata-kata Reyn, ia pun mencobanya sendiri.

"Iih, enak, kok. Pas semua bumbunya. Lagian tadi aku cicipin dulu sebelum dituangin ke mangkuk."

"Iya-iya enak. Aku Cuma becanda, kok. Maaf."

Reyn tertawa puas sudah berhasil mengerjai Elena.

"Iiih sebel ah, aku gak mau makan kalo gitu."

Elena membuang muka.

"Yah, ngambek."

Reyn bergumam.

Lalu, terdengar bunyi perut Elena yang kelaparan. Dan kali ini Reyn juga sedikit mendengarnya.

"Udahan ngambeknya, ayo makan. Kasian, perut kamu udah teriak-teriak kelaparan, tuh."

Elena tetap bergeming, namun sesekali melirik ke arah Reyn.

"Kalo di kartun, perutmu pasti udah bilang gini "tolong, isi aku dengan makanan. Aku sudah tidak kuat. Aku harus mencerna makanan. Tolong!""

Reyn memasang ekspresi yang menggelikan saat bicara seperti itu. Alhasil, membuat Elena sedikit terhibur dan tertawa.

"Ngapain sih, kamu? Geli tau aku liatnya."

"Ya udah makanya makan, biar perutnya gek teriak "tolong, aku butuh makanan.""

"Iya-iya aku makan."

Elena menyantap makanan tersebut dengan lahap. Dan Reyn merasa lega karena Elena tak lagi marah padanya.

***

Reyn melihat jam di tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 20:13.

"Eh, iya. Aku baru sadar. Mama kamu ke mana?"

"Oh, iya aku lupa cerita sama kamu. Kalo Mama itu lagi jemput Papa ke bandara. Dan Mama berangkatnya pas kamu ke sini. Paling tiga atau empat jam lagi mereka pulang."

Sekarang Elena terlihat memohon kepada Reyn.

"Karena itu, aku minta kamu buat belajar di rumahku. Biar aku ada temennya sampai mereka pulang. Jadi, kamu jangan pulang dulu, ya!"

Reyn merenung. Baginya, ini pertama kalinya ia berada di rumah seorang perempuan sampai selarut ini. Dan tanpa pengawasan orang tuanya. Tapi, ia tidak bisa menolak permintaan Elena. Karena merasa kasian, kalau harus meninggalkan Elena sendirian di rumahnya.

"Ya udah, aku temenin sampai Mama dan Papa kamu pulang."