"Za? " ucap seseorang di dekat pintu.
"Vian? Ayo masuk. "
"Ada apa? "
"Kamu tau semuanya. "
"Yang mana? "
"Tentangku dengan adikmu. "
"Oh yaa aku tau. "
🎄
Gadis yang beranjak dewasa itu membuatku nyaman membuat hatiku kembali percaya akan sebuah rasa setelah tragedi dimana wanitaku berkhianat, saat itu aku mulai menutup hatiku namun saat aku mengambil pekerjaan sampingan sebagai guru, aku mulai menemukan seseorang yang bisa membuatku merasa lebih baik.
Menemukan dia dengan segala tingkahnya, membuatku nyaman dan tidak ingin kehilangan perlahan hatiku mulai menerima.
Aku trauma akan kehilangan pernah juga kecewa, maka dari itu aku tidak ingin kembali merasakan trauma atas Kehilangan. Maafkan jika aku menggengammu Aku hanya tidak ingin kamu pergi begitu saja aku memahami kamu.
Namun di saat aku menerima semua itu perlahan kenyataan membuatku terdiam dengan segala takdirku.
Aku bukan di takdirkan untuk dia, ucapku waktu itu kala mengetahui bahwa aku dan dia berbeda.
Bukan berbeda tentang harta tapi berbeda tentang keyakinan yang siapapun akan sulit mengubahnya, kepercayaan yang sudah aku yakinkan aku tidak bisa begitu saja meninggalkannya begitu pula dengan dia.
Disini kita sama-sama terluka, aku yang bodoh memberinya harapan lalu menjatuhkannya, dan kembali lagi aku menjadi pria yang tidak bisa membahagiakan wanitaku.
Siang itu aku ada meeting disebuah restoran saat hendak masuk aku melihat teman gadisku, namanya Syila kalau tidak salah.
Sebelum dia melihatku aku langsung berbalik ke mobil " Pak maaf meetingnya diundur, " ucap asistenku menelepon.
"Kamu masih di sana Mia? " ucapku lewat telepon pada asisten yang bernama Mia.
"Iyaa pak ada apa? "
"Bantu saya, " kataku lalu menceritakan Mia sempat menolak sebelum aku menjelaskan satu hal tapi setelah menjelaskan hal itu Mia mau membantuku.
"Terima kasih Mia. "
"Sama-sama Pak. "
"Dimana Syila, " ucapku mencari keberadaan Syila tanpa membuat curiga, setelah ku temukan dimana letak Syila aku kembali menelepon Mia untuk merubah posisi duduknya menjadi seberang Syila lebih tepatnya terhalang 5 meja diposisiku, dan itu tidak terlihat jelas mungkin diposisi Syila itu masih bisa terlihat jelas.
Aku mengeluarkan cincin yang seharusnya aku pasang di jari manis Amora gadisku ketika kami menikah, namun harapan itu tinggal bayangan ketika kita tak bisa bersama.
"Maafkan aku menyakitimu Mor. "
"Miaa? " ucapku.
"Mia maaf, " ucapku kemudian Mia menganggukkan kepala lalu aku menciumnya tepat dikeningnya.
"Dia mulai keluarkan ponselnya Pak, " ucap Mia setelah melirik ke arah Syila dengan hati-hati.
"Ini untukmu, " ucapku berakting lalu Mia mengambilnya dan aku mengizinkan mia memelukku.
"Maaf pak mungkin ini saatnya. "
"Baik, " kataku lalu berjongkok seperti sedang melamar Mia lalu memasangkan cincin itu di tangan Mia, Mia berusaha bahagia dan berusaha menutupi kepura-puraan bahwa mereka sedang bersandiwara.
"Ibunya datang pak, " ucap Mia lalu kami duduk hanya 5 menit kami duduk setelah itu kami keluar dari restoran itu.
"Bapak baik-baik saja, " tanya Mia kepadaku.
"Yaa Mia terimakasih untuk bantuannya, dan Maaf. "
"Sama-sama, tak apa pak. "
"Ohh ini cincinnya saya kembalikan. "
"Aku sudah menyakitimu Mor, " ujar Alvian setelah Mia meninggal Alvian.
"Maafkan Aku. "
🍃
"Jadi? "
"Iyaa itu hanya sandiwara Za," ucap Alvian kepada Eza ketika selesai menceritakan apa yang sudah terjadi.
"Minta maaflah, tapi ketika tidak ada papah. "
"Lebih baik aku meminta maaf bersamamu. "
"Kenapa Vian, kamukan pria " ujar Eza menolak bukan tidak ingin membantu hanya saja Eza tidak terlalu ingin melihat bagaimana terlukanya Liza.
"Aku hanya takut Papahmu kecewa sebelum aku minta maaf kepada Liza. "
"Baiklah kita pulang sekarang. "
"Siapkan hatimu, Alaiza tidak mudah mengikhlaskan semua yang terjadi dia terlalu kekanak-kanakan karena Papah dan aku selalu memanjakannya. "
"Baik. "
🏡
"Abang sudah pulang? " tanya Liza kepada Eza yang baru saja tiba dirumah.
"Bukannya Abang mau le... "
"Mor? " ucap pria dibelakang Eza, Liza terdiam menormalkan suasana ia berharap ini bukan mimpi.
"Selesaikan semuanya, jangan menunda. "
"Abang keatas dulu yaa, " ucap Eza lalu pergi.
"Ayo masuk Vian. "
"Iya. "
"Mor? " ucap pak Alvian pelan.
"Bapak mau minum apa? "
"Ada air putih, mau jus atau apa? "
"Saya minta ma___"
"Buahnya ada tapi gulanya tidak ada jadi jusnya abis, " ucap Liza tanpa memberi celah.
"Mor dengarkan sa____"
"Atau mau makan? Biar saya siapkan. "
"Mor tidak u____"
"Ada nasi goreng atau mau mie instan biar saya buatkan Pak. "
"Saya datang ke____"
"Atau mau makanan ringan tar saya ambil yaa Pak, " ucap Liza lalu berdiri.
"Morr deng___" ucap Pak Alvian lalu ia potong lagi.
"Atau mau sama min__"
"Berhenti, aku minta maaf " ucap Alvian berdiri dibelakang Liza, ia terdiam airmata yang dirinya tahan mulai jatuh perlahan ini yang Liza takutkan, menangis dihadapannya seperti terlihat lemah.
"Aku minta maaf, maafkan aku. "
"Ini bukan salah Bapak, ini sudah takdir, lagi pula kita tidak ada hubungan apa-apa jadi apa yang____."
"Bohong jika kamu berkata tidak ada perasaan apa-apa kepada saya. "
"Memang tidak ada, " ucap Liza tegas memperkuat diri.
"Bohong, aku tau kamu mencintaiku Mor dan akupun mencintaimu. "
"Kamu yang berbohong, berbicara seakan-akan aku adalah wanita yang kamu inginkan padahal disana ada wanita yang sudah kamu ikat, " ucap Liza tak tahan lagi pertahanannya hancur, suaranya mulai bergetar karena menangis, sungguh ini menyakitkan lebih sakit dari yang ia bayangkan sebelumnya.
"Maafkan aku, " ucap Alvian kemudian menghapus air mata Liza, namun belum juga tangan Alvian menghapus Liza lebih dulu menepisnya lalu menghapus air matanya sendiri.
"Aku sudah memaafkan Bapak silahkan pergi. "
"Aku tidak akan pergi sebelum kamu memaafkanku. "
"Morr? "
"Pulang Pak semuanya telah berakhir, " ucap Liza dengan sesak di dadanya menahan rasa sakit.
"Mor, maafkan saya. "
"Saya sudah bilang saya memaafkan Bapak , pergilah adanya bapak membuat hati saya semakin sakit " sambil memegang dadanya yang terasa sesak sungguh ini menyakitkan.
"Jangan menangis, " ucap pak Alvian, Liza dengan segera menghapus air matanya dengan kasar.
"Aku harus apa? Harus tertawa ?" ucap Liza menahan tangis lalu tertawa.
"Hahahha. "
"Bukan seperti itu. "
"Kumohon pergi. "
"Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu Mor. "
"Apa? Apa menjelaskan Hiks bahwa kamu akan menikah iya? " dengan nada sedikit tinggi.
"Bukan Mor, " ucap Alvian memegang tangan Liza namun lagi-lagi ia lebih dulu Liza hempaskan.
"Pergilah bersamanya, aku tak apa Tuhan kita berbeda dan kita tidak cocok. "
"Mor ?" ucap pak Alvian melemah.
"Aku akan menikah, " ucap pak Alvian tiba-tiba membuat Liza terdiam dengan air mata yang masih mengalir.
"Inilah yang kutakutkan, terima kasih untuk setiap waktu serta perhatiannya kasihmu akan berarti untukku namun aku percaya semua rasaku akan hilang, aku akan belajar melupakan dirimu. "
"Selamat, " ucap Liza sambil mengulurkan tangan.
"Pergilah, " ucap Liza menarik tangan yang aku ulurkan.
"PERGIIIIII , " sambil mendorong punggung Alvian untuk keluar dari rumahnya.
"Papah, " ucap Liza kaget kala melihat Papah berada di pintu utama dengan wajah memerah.
"Pergilah nak Alvian, biarkan Putriku tenang. "
"Pah, " ucap Liza melemah, papah segera memeluk Liza tidak membiarkan ia melemah dan menangis karena pria.
"Ini yang Papah takutkan. "
"Maafkan Adik Pah. "
"Mana Abangmu, " ucap papah menahan amarah, sepertinya papah tau ada abang disini karena mobil abang terparkir di halaman rumah.
"Bukan salah Abang , dia sendiri yang datang kesini saat abang beristirahat. "
"Benarkan Bang , " ucap Liza saat melihat abang mendekat kearah sofa tempat dimana papah menenangkan dirinya, Eza mengangguk. Jujur ia tidak ingin Eza ikut dalam masalahnya walaupun ia tau Ezalah dalang dibalik datang nya Alvian.
"Ada apa?kenapa bertengkar? "
"Hanya masalah kecil Pah, " ucap Liza menyembunyikan kebenaran.
"Papah tau kamu bohong. "
"Abang ceritakan, " ucap Papah sambil menatap Eza dan kemudian menatapku, aku mengangguk pelan isyarat bahwa aku setuju membiarkan abang menceritakan.
"Ala dan Alvian beda agama Pah, " ucap Abang membuat papah kaget.
"Betulkah, jadi keputusan apa yang kamu ambil sayang? " tanya papah kepadaku.
"Meninggalkan. "
"Itu lebih baik, meminta lah kepada Tuhanmu agar menguatkan hatimu dan teguhkan keyakinanmu jangan goyah, Papah percaya Abang dan Adik bisa memegang keyakinan ini. "
"Iyaa Pah. "
"Sayang, lihatlah putrimu tumbuh dewasa dan mulai mengerti Cinta namun saat Cinta mereka berbeda keyakinan terpaksa mau tidak mau mereka harus berpisah, katamu bukankah tidak seharusnya kita memaksa agar mereka mengikuti keyakinan mempercayai Islam, dan katamu islam mengajarkan kedamaian tidak memaksa seseorang untuk mempercayainya karena paksaan bukan?, dan itu telah putrimu lakukan dari pada memaksa prianya masuk islam lebih baik dia kehilangan cintanya dari pada kehilangan Tuhannya. "
"Aku belajar banyak tentang Tuhan darimu sayang terima kasih, "